Sublimitas Al-Quran dan Inspirasi Sastra
BANG OEMAR
Dalam pernyataannya, D Zawawi Imron beberapa waktu yang lalu, sewaktu hadir sebagai pembicara di kampus UIN Maliki Malang, si penyair “Clurit Emas” tersebut menegaskan bahwa pemahaman dan penafsiran al-Quran bukanlah monopoli orang hukum (fuqahâ), ulamâ, kiai, ilmuwan an sich. Akan tetapi lebih dari itu, al-Qurân juga milik komunitas lain dari umat Islam, yaitu para sastrawan. Dengan pembacaan kaum sastrawan, kandungan sublimitas sastrawi al-Qurân dapat dinikmati, diresapi, dihayati, dan bahkan jadi sumber inspirasi. Maka, pemahaman terhadap teks al-Qurân tidak hanya melahirkan produk-produk hukum yang “kaku” dan “formal” tanpa mengindahkan nilai-nilai “rasa” dan “sastrawi” dari pesan-pesan Qurâni, tetapi juga mampu melahirkan proses dialektika antara al-Qurân dengan “rasa” pembaca.
Sastra sebagai hasil olah budaya yang padu dengan seni dan estetika adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sastra lahir sebagai penyelaras irama kehidupan sehingga membentuk harmonika yang indah dan tidak menjemukan. Dari perpaduan rasa sastra, seni, dan realitas budaya kemudian lahir karya-karya estetik yang berwujud dalam bentuk puisi, orasi, narasi, prosa, soneta, kidung, lagu, dan berbagai karya estetik lainnya.
Al-Qurân dalam konteks ini dituntut untuk mampu menyikapi dan atau memenuhi berbagai kebutuhan manusia yang bersifat estetik. Lalu, pertanyaannya kemudian, sejauh mana peran al-Qurân dalam memenuhi kebutuhan estetik, dan bagaimana menggali nilai-nilai sublimitas al-Qurân sebagai sumber inspirasi sastrawi yang akan mewarnai kebutuhan estetika umat manusia?
Dalam konteks sastra Arab [penulis menggunakan sastra Arab karena al-Qurân lahir di Arab dan menggunakan bahasa Arab], terdapat empat unsur pembangun sastra yang kemudian karya tersebut dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Yaitu, susunan kalimat (al-uslűb), kedalaman makna (al-ma’nâ), daya imajinasi (al-khayâlî), dan sensitifitas (al-âthifah). Sementara al-Qurân, pada hakikatnya tidak hanya mencakupi tuntutan teoritis tersebut, tetapi jauh di atas segalanya. Maka nilai-nilai sublimitas al-Qurân berada pada level tertinggi dari berbagai jenis karya sastra umat manusia.
Al-Uslűb; susunan kalimat (ayat) al-Qurân yang begitu indah dengan pilihan kata (diksi) yang tepat melahirkan irama (nadzam) yang harmonis. Paduan bunyi dari setiap kalimatnya membentuk langgam yang enak untuk dilagukan dan didengar, sehingga pembaca dan pendengar tidak merasa jenuh dengan al-Qurân. Bahkan pembaca—atau bisa jadi juga pendengar—akan sangat mudah menghafalnya dengan utuh. Hal ini bukan berarti al-Qurân itu sebuah karya yang berbentuk puisi (al-syiir) ataupun prosa (al-saj’).
Syiir memiliki bait-bait yang selaras dalam panjangnya (jumlah, panjang, dan posisi suku kata, yang disebut Bahar). Sementara Saj’ adalah prosa yang mana kalimat-kalimat serta frase-frasenya ditekankan yang bersanjak yang berlangsung selama prosa tersebut. Al-Qurân bukanlah salah satu dari keduanya. Al-Qurân tidak dikekang oleh aturan-aturan di atas, atau mengorbankan kefasihan demi memenuhi aturan-aturan tersebut (dzarűrat al-syiir). Sebaliknya, al-Qurân dengan bebas menggunakan aturan-aturan tersebut guna mencapai kefasihan tertinggi yang tak akan bisa ditiru sama sekali. Maka al-Qurân disebut al-natsr al-muthlaq, atau prosa bebas mutlak.
Al-Ma’nâ; al-Qurân terdiri dari kata dan frase yang mengungkapkan makna dengan tepat sekali. Pengucapan dan pilihan kata (diksi)-nya selalu tepat dan sempurna. Kalau ada yang menambahi, walaupun sedikit, malah merusak makna dan menjadi tidak indah. Demikian pula seandainya ada satu kata dihilangkan akan merusak alur dan makna ayat tersebut. Perubahan apapun hanya akan mengancam pemaknaan dan pemahaman. Aliran kata-kata al-Qurân memberi muatan ketegangan dan pengharapan yang sangat besar, dan kemudian kepuasan yang sangat besar pula. Kata dan frase al-Qurân mengungkap makna-maknanya dengan kaya dan kuat dalam bentuk yang seringkas mungkin. Namun demikian, al-Qurân tidak selamanya ringkas. Ada tempat-tempat di mana al-Qurân perlu mengulang-ulang untuk mempertegas makna (taukid).
Al-Khayâliyah; unsur imajinatif dalam al-Qurân bukan imajinasi fiktif semata yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Semua perkabaran al-Qurân tentang masa lalu, masa kini [saat diturunkan], dan masa depan dapat dibuktikan dengan kajian-kajian ilmiah seiring kemajuan pengetahuan dan tehnologi manusia. Ketika al-Qurân mengabarkan tentang jasad Fir’aun yang ditenggelamkan di Laut Merah, informasi tersebut kemudian terbukti setelah beberapa abad berlalu dari diturunkannya al-Qurân. Begitu pula prediksi-prediksi peradaban umat manusia di masa yang akan datang, akhir-akhir ini mulai nampak kebenarannya berdasarkan temuan ilmiah.
Al-Qurân juga mengandung nilai “aura” (Haibah) yang sangat dahsyat. Dalam sejarah Arab kita tahu, bagaimana para penyair Arab—yang termasyhur dengan kepiawaiannya dalam menggubah syair—terkagum-kagum dan bahkan “shock” ketika dibacakan ayat al-Qurân. Bagaimana pula sayyidina Umar ra., yang terkenal keras hati dan gagah perkasa, gemetar bercucur keringat ketika pertama kali mendengar lantunan al-Qurân yang dibacakan saudarinya. Akhirnya, sebagian penyair Arab, begitu pula sayyidina Umar merasa tersedot oleh daya magnetik yang maha dahsyat dan menyeret kesadaran mereka untuk kemudian menerima seruan al-Qurân yang berupa ajaran Tauhid. Ini sisi lain dari kesublimitasan al-Qurân.
Berpijak pada eksistensi keluhuran nilai-nilai sastrawi al-Qurân, maka layaklah jika al-Qurân diposisikan pada level tertinggi dalam deretan karya sastra manusia dengan tanpa mengesampingkan nilai keluhuran yang lain. Karena bagaimanapun juga, al-Qurân bukanlah karya mahluq (Nabi Muhammad), sebagaimana tuduhan orang-orang di luar Islam, tetapi ciptaan Sang Pencipta manusia (Khaliq). Sebab tidak mungkin manusia (Nabi Muhammad) mampu membuat karya sastra yang begitu tinggi semisal al-Qurân. Bukankah Nabi Muhammad itu seorang yang ummi, yang tidak pernah membaca karya-karya sastra, ilmu pengetahuan, sejarah, dan filsafat? Sementara al-Qurân adalah informasi komprehensif dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan—termasuk karya sastra—yang mencakup segala aspek kehidupan manusia lintas ruang dan waktu.
Dalam beberapa ayat, al-Qurân sengaja menantang manusia untuk men-ciptakan karya yang serupa dengannya. Sayembara itu tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga bangsa jin. Bahkan jika jin dan manusia bersatu untuk mem-buat yang serupa dengan al-Qurân, niscaya tidak akan pernah mampu. (al-Isrâ: 88)
Keluhuran nilai-nilai sastrawi al-Qurân, secara otomatis telah menjadi sumber inspirasi agung para sastrawan dalam mengekspresikan potensinya untuk mencipta sebuah karya. Para penyair Arab, setelah kehadiran Islam, mulai mengacu kepada model bahasa al-Qurân dalam setiap menggubah syair. Demikianlah berlanjut hingga Islam kemudian merambah ke berbagai penjuru dunia.
Di lingkungan kita, ekspresi seni dan sastra yang bertolak dari kandungan al-Qurân kian marak dan variatif. Berbagai even (musâbaqah) al-Qurân yang digelar dalam skala nasional ataupun lokal selalu menampilkan ragam apresiasi seni dan sastra al-Qurân. Demikian halnya fenomena puisisasi al-Qurân, sebuah model penerjemahan al-Qurân dengan gaya bahasa puitis yang digagas oleh seorang kritikus sastra HB Yasin—yang kemudian mendapat kecaman dari sebagian besar umat Islam—tidak lain adalah wujud apresiasi kesublimitasan sastrawi al-Qurân. Dengan kata lain pula bahwa al-Qurân mampu menjadi sumber inspirasi sastra lintas ruang dan waktu.
Maka di penghujung tulisan ini, perlu ditegaskan kembali bahwa al-Qurân tidak hanya mengandung informasi sejarah dan seperangkat tatanan hukum formal, atau perkabaran tentang masa depan (uhrâwi), tetapi juga mengandung nilai-nilai estetis yang menembus dinding sensitifitas bagi para pembaca—sastrawan—yang nantinya akan mampu memunculkan imajinasi uluhiyah sebagai jalan untuk menemukan pencerahan Tuhan. Ini adalah bagian dari sisi kemukjizatan al-Qurân (i’jâz al-Qurân), dimana ia mampu berdialog dengan segala karakteristik umat manusia.
Dengan demikian, pemahaman apresiatif terhadap al-Qurân oleh para ahli hukum (fuqahâ) yang mengabaikan eksistensi para sastrawan justru—dikhawatirkan—akan mengancam sisi kemukjizatan al-Qurân. Sebaliknya, peran para sastrawan (muslim) dalam “menerjemahkan” al-Qurân menjadi sebuah terjemahan yang sarat nilai estetika tinggi merupakan upaya penggalian mutiara-mutiara Qurâni yang terpendam di dasar samudera hikmah.
Dari pembacaan ini, tidaklah berlebihan jika si Clurit Emas menegaskan bahwa al-Qurân bukanlah konsumsi para ilmuwan, agamawan, dan pakar hukum an sich, tetapi juga juga konsumsi para sastrawan (muslim). Dengan begitu umat Islam akan mampu menikmati kandungan al-Qurân dari berbagai dimensi. Dan misi al-Qurân akan terealisasi, yaitu sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.[shadaqallâhu al-‘adzim].