URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 5 users
Total Hari Ini: 207 users
Total Pengunjung: 6224319 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
Puasa, Zakat, Dan Silaturrahim 
Penulis: BANG OEMAR [19/8/2010]
 
Puasa, Zakat, Dan Silaturrahim
MENAKAR KESHALEHAN RITUAL DAN KESHALEHAN SOSIAL

Oleh: BANG OEMAR

“Silaturrahim itu bukan hanya saling mengunjungi.
Tetapi silaturrahim adalah menyambung sesuatu yang terputus

Tolok ukur keuniversalan Islam adalah karena ajarannya tidak hanya berkutat pada tataran doktrin teoritis saja, tetapi mampu merambahi segala dimensi kehidupan. Sehingga agama Islam bukanlah merupakan agama “langit” semata yang tidak peduli dengan kebutuhan “bumi”.

Keuniversalan Islam (syuműlatul Islam) nampak pada beberapa ajarannya yang mengandung pesan vertical-horisontal, “langit dan bumi”. Ajaran Islam, pada satu sisi mengarahkan manusia sebagai hamba (mahluk) untuk senantiasa berhubungan intim dan mengabdi kepada Penciptanya (Khâlik), Allah Azza wa Jalla. Di sisi lain, ajaran Islam menuntun manusia untuk membangun hubungan yang harmonis dengan sesamanya.

Sebagai contoh adalah ibadah puasa dan zakat. Kedua ibadah ini memiliki dua muatan keshalehan seorang hamba. Pertama, keshalehan dalam dimensi ritual yang merupakan media untuk mendekatkan diri dan taat kepada Allah. Kedua, keshalehan dalam dimensi sosial, yang mengajarkan manusia untuk memiliki kesadaran dan kepekaan sosial yaitu peduli terhadap lingkungan sekitarnya.

Puasa

Puasa adalah bentuk ketaatan seorang hamba kepada Allah sang pencipta. Perintah puasa datang dari Allah. Demikian pula pahala puasa adalah jaminan khusus dari Allah untuk hamba-Nya.

Secara doktrinir, puasa diperintahkan untuk meningkatkan derajat seorang hamba di mata Allah. Yaitu dari derajat iman (mukmin) menjadi takwa (muttaqin). Dengan derajat takwa, maka seorang hamba akan memiliki kedudukan yang istimewa disisi-Nya. Sebab, pada hakikatnya Allah tidak akan melihat penampilan fisik seorang hamba, tetapi pada tingkat ketakwaannya.

Dengan demikian, pelaksanaan puasa akan membentuk pribadi yang memang siap untuk menjadi hamba pilihan. Hamba yang siap bertemu dengan Tuhannya, Allah Rabbul Izzati. Dari sinilah tolak ukur ibadah puasa yang memiliki misi pembetukan pribadi yang shaleh dimensi ritual.

Keshalehan sosial yang dapat dipetik dari perintah puasa adalah ketika kita sudah merasakan lapar atau dahaga di siang hari selama sebulan penuh. Sebulan penuh kita menahan lapar dan haus adalah ibarat perjalanan menyusuri suatu negeri yang ditimpa wabah kelaparan dan kekurangan. Dan kita sendiri adalah pelaku atau korban dari wabah tersebut.

Jika kita seorang hamba yang dikaruniai oleh Allah kemurahan rizki, kecukupan kebutuhan, dan kelimpahan harta, tentu tidak pernah membayangkan—apalagi merasakan—bagaimana rasanya tidak makan selama satu hari atau lebih. Kita tidak pernah bingung dengan apa yang akan kita makan besok atau lusa, bahkan untuk satu abad ke depan. Sebab kekayaan kita sudah berlimpah dan terjamin.

Namun, disadari atau tidak, ternyata disekitar kita ada orang-orang yang merintih karena tidak makan seharian. Belum lagi ia harus memikirkan, entah apa yang di buat makan untuk besok?. Hari-harinya diliputi kecemasan dan kekhawtiran. Karena tidak menjumpai sesuap nasi, terpaksa ia harus berpuasa. Itupun belum cukup untuk mengurangi beban yang menghimpitnya. Sebab menjelang buka, ia masih harus berpikir, apa yang akan dimakan untuk berbuka puasa? Maka menurut Saya inilah orang yang berpuasa sesungguhnya yang hendak dipertontonkan oleh Allah dalam Safari Ramadlan kita.

Untuk itu, sudilah kiranya kita berjalan keluar dari rumah kita yang mewah, menyusuri gang-gang atau perkampungan yang dihuni oleh orang-orang mustad’ifin (lemah). Disitulah kita akan menemukan saudara-sauadar kita yang berpuasa tidak hanya pada bulan Ramadlan, tetapi tiap hari dalam kehidupannya.

Setelah kita menyadari hal itu, maka hati dan jiwa akan lebih peka dan lembut. Kepekaan jiwa dan kelembutan hati mengantarkan seseorang untuk mudah menangkap pesan-pesan ilahiyah. Sehingga ketaatan dalam beribadah menjadi total dan optimal.

Zakat

Secara kebahasaan (lughawi) zakat berarti penyucian. Penyucian yang dimaksud disini adalah upaya untuk membersihakan diri kita dari noda-noda dosa yang akan menghalangi kedekatan dan keintiman dengan Allah. Subhanallah!

Sebagai seorang hamba, tentu kita akan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat mengabdikan diri (beribadah) secara total kepada Allah. Harapan kita semoga ibadah kita diterima dan menyebabkan keridlaan Sang Pencipta. Sedangkan proses penghambaan kita, haruslah dilalui dengan penyucian diri. Jika tidak, maka ibadah kita besar kemungkinan akan ditolak oleh Allah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Suci yang menerima hamba-Nya yang suci pula.

Ketika Allah memerintahkan kita untuk berzakat, tiada lain adalah sebagai media untuk mendukung jalan takwa kita. Sebab harta atau kekayaan yang kita peroleh terkadang masih banyak kandungan-kandungan kotoran. Baik kotoran itu akibat dari proses dalam memperolehnya, atau karena kita tidak mampu menjaga kesucian harta tersebut. Sehingga harta tersebut menjadi kotor dan bercampur dengan yang bersih.

Apabila harta yang kita gunakan sehari-hari sudah terkontaminasi kotoran, maka akan berpengaruh terhadap hati kita. Bila hati dipenuhi noda, proses penghambaan kita pun akan terganggu. Allah akan semakin jauh dari kita. Naudzubillah!

Sangatlah pas ketika Allah memerintahkan kita berzakat pada saat puasa. Sebab di sana ada kesinambungan emosi dan pencerahan jiwa. Puasa yang intinya adalah pengendalian diri secara non materi, sedangkan zakat adalah pengendalian diri secara materi. Kesemuanya bermuara pada penghambaan kepada Allah. Disinilah nilai keshalehan ritual akan semakin mantap tertanam dalam kepribadian kita untuk menuju kepada insan bertakwa.

Dalam konteks sosial, zakat adalah wujud kepedulian terhadap orang-orang sekitar kita. Zakat adalah pembelajaran untuk memahami kondisi orang lain untuk kemudian kita sikapi secara praktis dan bijak, yaitu dengan memenuhi kebutuhannya.

Setelah kita menyusuri negeri yang dilanda kelaparan, tentu hati juga merasakan penderiataan saudara-saudra kita. Lalu, tentu kita tidak boleh tinggal diam dengan hanya ”merasakan” saja. Tetapi perlu disikapi secara konkrit, yaitu dengan menyalurkan sebagian hak milik kita. Agar orang lain juga merasakan kebahagiaan sebagaimana yang kita rasakan.

Apalagi pemberian zakat dianjurkan pada akhir-akhir Ramadlan atau menjelang Idul Fitri. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung kesejahteraan sosial dan nilai-nilai kebersamaan.

Kita tahu, Idul Fitri adalah saat-saat yang paling menggembirakan. Karena pada saat itu kita seakan baru pulang dari medan pertempuran yang dahsyat, dan kita memperoleh kemenangan. Selayaknyalah kita untuk mensyukurinya semeriah mungkin.

Pada saat Idul Fitri ungkapan syukur itu terekspresikan dalam bentuk baju baru, makanan yang cukup dan melebihi hari-hari biasanya, serta atribut yang menunjukkan perasaan suka cita.

Namun, ternyata ada saudara kita yang tidak bisa merasakan kebahagiaan secara total di hari kemenangan tersebut. Walaupun dia telah mampu berpuasa dengan sempurna, tetapi dia tidak dapat mengekspresikan kemenangan dan kesenangan selayaknya kita. Mereka adalah kaum du’âfa, fakir miskin yang nasibnya tidak seberuntung kita. Karena pada hari itu, jangankan baju baru, untuk makan saja dia masih harus mencari.

Disitulah zakat menajdi penting didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan menjelang Idul Fitri. Agar saudara-saudara kita juga dapat merasakan kemenangan sebagaimana yang kita rasakan.

Silaturrahim

Silaturrahim adalah menyambung ikatan persaudaraan. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk senantiasa melakukan silaturrahim. Rasulullah saw mewanti-wanti agar kita umatnya senantiasa menyambung persaudaraan dan jangan sekali-kali memutuskannya. Bahkan bagi orang yang gemar bikin ulah sehingga menjadikan ikatan persaudaraannya terputus, maka dia tidak akan masuk sorga.

Antara puasa, zakat, dan silaturrahim, terdapat korelasi yang sangat erat, baik dalam dimensi keshalehan ritual maupun keshalehan sosial.

Kesadaran bahwa kita sesama muslim adalah saudara akan muncul ketika kita sudah memahami saudara kita yang lain. Walaupun kita tercipta dalam status, kondisi, keberuntunagn yang berbeda. Namun, diantara kita sesama muslim beradadalam satu panji Islam. Apapun priofesi dan kedudukkannya, kita adalah satu yang terikat dalam dua kalimat syahadat.

Puasa yang secara sosial menumbuhkan kepekaan yang mendalam, karena kita telah menyadari penderitaan orang lain; demikian zakat yang merupakan aplikasi material dari kesadaran tersebut, telah memantappkan jiwa seorang muslim bahwa sesama muslim adalah saudara. Maka silaturrahim adalah tidak lanjut dari kesadaran-kesadaran di atas.

Bagaimananpun, kita akan merasa terpanggil untuk saling mengunjungi ketika diantara kita sudah terjalin ikatan emosional. Hati kita akan lapang karena masing-masing kita saling mamahami. Tidak ada terbersit rasa saling curiga, antara yang miskin dengan yang kaya, antara yang lemah dan yang jaya.

Momentum Idul Fitri, adalah puncak dari perjalanan kita menyusuri jalan spritual menuju Allah, sekaligus media untuk mengaplikasikan kesadaran sosial kita. Pada saat itu, semua umat Islam merasa satu. Tidak dibedakan oleh nasib atau nasab, profesi atau jabatan, miskin atau kaya, lemah atau jaya.

Pada saat itu, kefitrahan kita akan nampak. Sebab sebagaimana kita awal pertama lahir ke dunia, tidak ada dosa yang kita panggul. Begitupula tidak ada kesalahan terhadap sesama yang kita bawa. Semua bersuka cita atas kedatangan dan keberadaan kita. Karena kita adalah mahluk yang bersih, yang fitrah, yang tiada dosa, sebagaimana bayi yang baru lahir. Taqabbalallâhu minnâ wa minkum.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam