WAJIB TAQLID BAGI SELAIN MUJTAHID
(Bedah Pemikiran Mbah Hasyim Asy`ari)
Taqlid (Arab: تقليد) adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Yang dibolehkan bertaqld adalah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari`at. Ia boleh mengikuti pendapat orang yang mengerti dan mengamalkannya. Adapun orang yang alim yaitu mengerti dan sanggup mencari sendiri hukum-hukum syari`at dengan syarat-syarat tertentu sesuai kesepakatan para ulama, maka harus berijtihad sendiri. Tetapi bila waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain (dalam persoalan ibadah) maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti ijtihad orang lain.
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, dilaksanakan oleh kalangan para ulama untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun Hadits dengan syarat-syarat tertentu, serta menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Dalam hal ini, KH. Hasyim Asy’ari menerangkan, “Menurut para Ulama Ahli Tahqiq, orang yang tidak memiliki kapasitas untuk melakukan ijtihad secara mutlak, meskipun dia memiliki sebagian ilmu yang diperlukan dalam ijtihad, maka wajib bertaklid kepada pendapat para mujtahid dan mengikuti fatwa mereka, agar ia keluar dari beban kewajiban bertaklid kepada salah satu mereka (para mujtahid) yang dikehendakinya. Karena Allah SWT berfirman yang artinya: “Maka bertanyalah kepada orang-orang (alim) yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).
Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah SWT mewajibkan bagi orang awam yang tidak mempunyai pengetahuan itu untuk bertanya kepada orang alim yang mempunyai pengetahuan luas, dan ini berarti keharusan taklid kepada para mujtahid.
KH. Hasyim Asy’ari melanjutkan, “Karena ada ijma’ yang menyatakan bahwa orang-orang awam pada zaman shahabat, tabi’in, dan setiap kemunculan orang-orang yang berseberangan senantiasa meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti mereka dalam memahami hukum-hukum syara’. Mereka juga mengikuti para ulama, karena para ulama itu langsung menjawab pertanyaan mereka tanpa merujuk kepada dalil, dan mereka juga tidak melarang hal itu tanpa ada yang menentangnya. Dengan demikian terjadilah ijma’ yang mengharuskan orang awam mengikuti mujtahid.”
Jadi, tidak dibenarkan jargon ‘AYO KEMBALI KEPADA ALQURAN & HADITS’ disebarluaskan di kalangan masyarakat awwam. Jargon ini secara bahasa memang benar, tapi praktek di lapangan sangat menyesatkan bagi kalangan awwam, karena untuk memahami ayat-ayat Alquran maupun Hadits-hadits Nabawi secara benar itu memerlukan banyak syarat.
Di antara syarat yang harus dimiliki seseorang yang akan akan mengambil hukum secara langsung dari Alquran dan Hadits minimal:
1. Mampu menguasai ilmu bahasa Arab secara baik dan benar, seperti mendalami ilmu nahwu, sharaf, bayan, balaghah,’urudh, qawafi dan sebagainya. Sebagai contoh untuk memahami ayat:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka (Alfatihah:7), tetapi jika an’amta أَنْعَمْتَ di baca jadi an’amtu أَنْعَمْتُ , maka berubah makna jalan orang-orang yang Aku beri nikmat kepada mereka, maka rusaklah kemurnian teks Alquran tersebut.
2. Harus dapat memilah-memilahkan ayat Alquran dan mahir dalam menentukan yang mana di antara ayat-ayat tersebut yang umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayyan, yang mutlak, yang muqayyat, yang dzahir, yang nash, yang mansukh, yang nasikh, yang muhakkam, yang mutasyabihah dan dan sebagainya.
3. Harus mampu saat berdalil langsung dari Alquran dan Hadits, terbayang tentang isi kandungan 30 juz dari Alquran serta teks-teks Hadits Nabawi, mana saja yang ada kalimat perintah, larangan, berita, dan hukum. Karena jika ia tidak mampu membedakan apakan suatu kaliamat itu mengandung berita (cerita), lantas dianggap semuanya sebagai vonis hukum, tentu akan menghancurkan aturan syariat yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan manusia.
4. Harus mengetahui Asbabun Nuzul suatu ayat Alquran atau Asbabul Wurud suatu Hadist, karna setiap ayat turun itu mempunyai kejadian yang terjadi di masa rasul, bukan di turunkan sekaligus 30 juz, karna turunnya ayat untuk menjawab situasi yang terjadi di sekeliling rasul, demikian juga dengan Hadits. Maka jika seseorang itu tidak mengetahui Asbabun Nuzul dan Asbabul Wurud tersebut, mustahil ia dapat memahami ajaran Islam secara baik dan benar, misalnya ayat:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh, karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertaqwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertaqwa dan berbuat kebajikan, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Almaidah, 93)
Jika orang tersebut tidak mengetahu Asbabun Nuzul ayat ini mereka akan berpendapat misalnya arak itu halal, bahkan seluruh jenis makanan yang hukumnya haram akan dihalalkan semuanya bagi kalangan orang-orang shaleh, padahal ayat ini tidak seperti itu pengertiannya.
Tapi, ketika arak belum diharamkan, banyak di antar shahabat Nabi yang meminum arak, maka turunlah surat Albaqarah ayat 219 yang memerintah agar umat Islam tidak meminum arak lagi. Lantas mereka yang terlanjur banyak minum arak bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana dengan kami yang telah banyak meminum arak?.” Maka turunlah surat Almaidah ayat 93 ini.
5. Harus menguasai Kutubus sittah sekurang-kurangnya, yaitu kitab Shahih Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Sunan Nasai, Sunan Abi Daud, dan Sunan Ibnu Majah, selain itu masih banyak lagi hadis-hadis yang lain seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Daraqudni, Ibnu Hibban, Thabrani, dll.
6. Harus bisa mengetahui derajat keabsahan setiap hadits yang terdapat di berbagai kitab hadits yang ada, mana hadits yang Mutawatir, Shahih, Hasan, Dhaif dan hadits palsu yang di buat oleh musuh Islam.
7. Harus mengetahui mana saja hukum yang telah sepakat para ulama. Karena suatu hukum jika telah sepakat para ulama dalam satu masa, akan berlaku hingg akhir jaman, agar tidak rancu dengan ijtihad yang baru muncul belakangan.
Untuk itulah KH. Hasyim Asy’ari menandaskan, “Karena apa yang dipahami oleh orang awam dari Al-kitab dan As-Sunnah tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, apabila tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh para ulama besar pengusung kebenaran. Sebab, semua pelaku bid’ah yang sesat itu kebanyakan berasal dari cara memahami hukum-hukum yang diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah secara batil. Mereka mengambil hukum secara langsung dari Al-kitab dan As-Sunnah, tetapi pada kenyataannya pemahaman itu tidak mengandung kebenaran sedikitpun.”