URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 8 users
Total Hari Ini: 64 users
Total Pengunjung: 6224166 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
DEFINISI ASWAJA 
Penulis: Pejuang Islam [ 21/3/2019 ]
 
DEFINISAI AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH

ASWAJA, adalah istilah yang sangat masyhur di kalangan umat Islam Indonesia, yaitu singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Apa arti Aswaja ?

Adapun Aswaja sebagai ajaran adalah suatu madzhab dalam beraqidah tauhid, dan bersyariat ibadah maupun muamalah,
serta berakhlaq sopan santun yang merupakan pelestarian dari ajaran Rasulullah SAW, sesuai pemahaman para Sahabat – Salaf Shalih.

Adapun yang dimaksud Madzhab?
pengertiannya adalah jalan yang dilewati/dilalui atau tata cara untuk dijadikan pegangan atau sesuatu yang menjadi tujuan seseorang.

Sesuatu itu dikatakan madzhab jika dapat menjadi ciri khas bagi pengamalnya.

Jadi, Madzhab Aswaja adalah pilihan seseorang untuk menjalani tata cara beragama Islam sesuai dengan ciri khas Aswaja sebagaimana yang disepakati oleh para ulama.

Defenisi Aswaja menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80

“Yang dimaksudkan dengan Sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau SAW). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian Jamaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Al- Khulafa’ Al-Rasyidin yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”.

Dalil-dalil Sunnah

Rasulullah SAW bersabda:
"Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian dari ahli kitab itu terpecah
menjadi 72 golongan, sedangkan umat(ku) ini akan terpecah menjadi 73 golongan, dan yang 72 golongan itu akan masuk neraka, sedangkan yang 1 golongan akan masuk sorga, yaitu Aljamaah." 
(HR. Abu Dawud dan lainnya, dan dishahihkan oleh Imam Hakim, Imam Assyathibi dan Imam Al-Iraqi).

Dalam hadits riwayat Imam Attirmidzi disebutkan, mereka (para shahabat) bertanya: Siapa (yang selamat) itu wahai Rasulallah SAW?
Beliau SAW menjawab: “Yaitu golongan yang mengikuti aku dan para shahabatku”

Dari Sy. Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku kepada kebatilan (kesesatan), dan (kekuasaan/keberkahan dari) Allah itu (diberikan) kepada Jama’ah.

Barangsiapa yang terpisah (dari golongan mayoritas), maka akan perpisah (atau tersesat) ke neraka” (HR. Attirmidzi).

Secara praktek di lapangan, aqidah Aswaja dewasa ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakan dengan golongan lain, yaitu di dalam bermadzhab fiqih ibadah dan muamalat selalu beristiqamah mengikuti salah satu Empat Madzhab Fiqih Mu’tabar,
yaitu Madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Yang mana ke-empat Imam ini hidup antara tahun 80 H hingga 241 H.

Ajaran ke-empat imam mujtahid mutlaq dalam berfiqih inilah yang disepakati oleh para ulama dunia, sebagai ciri khas madzhab Aswaja, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Dengan demikian, jika ada pihak-pihak yang menolak untuk mengikuti salah satu dari ke-empat madzhab ini,
atau berusaha menambah madzhab ke-lima, semisal kelompok yang mengklaim sebagai madzhab Ja’fari (kelompok Syi’ah Imamiyah Jakfariyah Khomeiniyah),
maka sudah dapat dipastikan jika mereka itu bukan termasuk warga Aswaja.

Dengan batasan empat madzhab ini pula, maka Aswaja secara otomatis akan menolak kelompok-kelompok yang tidak bermadzhab,
sekalipun mereka menamakan diri sebagai kelompok yang berpegang teguh dengan Alquran dan Assunnah, semisal beberapa cabang dari kelompok Wahhabi Salafi, atau kaum liberal yang hanya mengandalkan akal pikirannya saja karena mengikuti metode kaum orientalis Barat.

Sedangkan khusus untuk umat Islam yang berdomisili
di Asia Tenggara (wilayah Nusantara), maka mayoritas
warga Aswaja lebih berpegangan kepada ajaran
fiqih menurut madzhab Syafi’i, baik dalam tata cara beramal ibadah kepada Allah, tata cara bermuamalah dengan sesama manusia, maupun dalam menyampaikan dakwah islamiyah di tengah masyarakat.

*Asal Usul & Awal Mula Perintisan Aswaja*

Aswaja di dalam beraqidah tauhid, selalu istiqamah mengikuti madzhab Asya’irah yang dirintis oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (260 – 330 H) dan madzhab Maturidiyah yang dirintis oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi (238 – 333 H) sebagai landasan berpijak.
Untuk lebih mudah diingat adalah aqidah yang mengajarkan 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, dan 1 sifat jaiz bagi allah. Serta mengajarkan 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 sifat mustahil bagi Rasul, dan 1 sifat jaiz bagi Rasul.

Dengan demikian, Aswaja menolak ajaran Trilogi Tauhid ala Wahabi Salafi yang mengajarkan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa Shifat.

Termasuk ciri khas madzhab Aswaja yaitu bertumpu pada al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

Dalam mensitir ayat atau hadist yang akan dijadikan argumentasi, maka warga Aswaja melakukannya secara bertahap, sebagaimana yang selalu terapkan oleh Imam Asy’ari.
Yaitu mengambil makna
dzahir dari Nash (teks al-Quran dan Hadist), namun dengan sangat berhati-hati serta tidak menolak penakwilan terhadap nash tersebut, sebab memang ada nash-nash tertentu yang memiliki pengertian sama, namun tidak dapat diambil dari makna dhahirnya,
tetapi harus ditakwilkan untuk mengetahui pengertian yang dimaksud.

Aswaja juga tidak menolak
penggunaan akal, karena Allah menganjurkan agar umat Islam selalu melakukan kajian rasional.

Pada prinsipnya warga Aswaja tidak memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang
dilakukan kaum mu’tazilah,

sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks agama).

Jadi Aswaja itu menjadikan akal dan naql itu saling membutuhkan dan melengkapi.

Naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat, dengan akal kita akan bisa meneguhkan Naql dalam membela Islam.

Dalam ajaran Aswaja juga diperkenalkan Ilmu Tasawwuf, yaitu ilmu akhlaq yang mengajarkan tata cara serta adab sopan santun beribadah kepada Allah serta tata cara dan adab sopan santun dalam bermasyarakat, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia”

Adapun warga Aswaja bersepakat mengikuti ilmu Tasawwuf berbasis Syariat sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama Shufi seperti madzhab Imam Junaid Albaghdadi, (210-298 H).

Beliau sangat masyhur sebagai penggagas utama teori Tasawwuf Berbasis Syariat, beliau mengatakan: “Pengetahuan kami ini terikat dengan Alquran dan Assunnah”, (sumber: Ithaf al-Dhaki. Oman Fathurrahman, 256).

Beliau juga mengatakan: “Apabila kami mengetahui suatu ilmu yang lebih besar dari Tasawwuf, tentu kami pergi mencarinya,
sekalipun harus merangkak” (sumber: Belajar Mudah Tasawwuf, Syeikh Fadhlullah Haeri, 127)

Serta mengikuti Tasawwuf Imam Al-Ghazali (450-505 H), pengarang kitab Ihya Ulumiddin. Termasuk juga mengikuti ajaran Syekh Abdulqadir Aljailani (470-561
H), pengarang kitab Alghunyah.

Serta mengikuti ajaran Alhabib Abdullah bin Alwi Alhaddad (1044-1132 H) pengarang kitab Nashaihud Diniyah, sekaligus mengikuti para pemuka Shufi lainnya, yang senafas dengan teori Imam Junaid Albaghdadi.
Tasawwuf Aswaja itu adalah Tasawwuf berdasarkan syariat dan secara berjenjang sampai pada tingkat ma’rifat billah.

Jadi syari’at dan tasawwuf Aswaja itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena corak tasawuf ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Ajarannya menekankan aspek pembinaan akhlak yang terpuji dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya.

Ajarannya diselaraskan sepenuhnya dengan ilmu syari’at.

Ajarannya tidak mengandung syathahat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut para ulama syari’at.

Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan Hadits.

Dalam ajaran tasawwuf Aswaja masih terlihat jelas perbedaan antara ‘abid dan ma’bud serta khaliq dan makhluk, sehingga tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam aqidah maupun dalam ibadah.”

Keyakinan inilah yang pada akhirnya dilestarikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan para pendiri NU lainnya,
sehingga Aswaja dengan pemahaman ini sudah menjadi trade merk bagi aqidah warga NU yang tidak dapat diganggu-gugat.

Pada hakikatnya ajaran Tasawwuf berbasis Syariat inilah yang sesuai dengan ajaran para Walisongo
sebagai penyebar agama Islam pertama kali di wilayah Nusantara yang wajib dilestarikan oleh segenap warga Aswaja yang lurus aqidahnya.

Saat ini sudah ada pihak-pihak yang berusaha membuat definisi Aswaja Gaya Baru, dengan cara mengbongkar-pasang definisi Aswaja yang telah dirumuskan oleh para ulama Salaf dan dilestarikan oleh KH. Hasyim Asy`ari sebagaimana tersebut di atas.

Pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab inisengaja membuat semacam kritikan, sekalipun dengan istilah kajian ulang terhadap definisi Aswaja. Lantas mereka membuat rumusan Aswaja yang lebih inklusif, dengan tujuan agar warga Aswaja dapat mengakomodir kelompok Syiah atau Liberal bahkan kelompok Wahhabi, dalam definisi Aswaja Gaya Baru ini.

Untuk itu, perlu kiranya warga Aswaja, khususnya warga Nahdliyyin untuk mewaspadai intrik-intrik dari pihak-pihak perusak aqidah tersebut dan menolak segala bentuk kebohongan publik yang mereka lakukan, sekalipun dikemas dengan bahasa ilmiah menurut standar mereka.

Dirangkum oleh tim dari “Kajian Aswaja Bersama”

– KH. Luthfi Bashori
– KH. Idrus Ramli
– Buya Yahya Zainul Ma`arif
   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam