LARANGAN MEMANDANG SESEORANG
YANG BUKAN MAHRAMNYA
Luthfi Bashori
Hubungan pria dan wanita di dalam ajaran Islam itu terikat oleh hukum syariat, yang bila mana dilanggar, maka merupakan sebuah dosa yang seharusnya dihindari oleh setiap muslim.
Hidup di negara yang belum melaksanakan aturan syariat secara sempurna, tentu sangat menyulitkan bagi umat Islam, karena tidak sedikit kemaksiatan yang sulit untuk dihindari, bahkan oleh seorang yang sangat shaleh sekalipun.
Namun sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengetahui batasan mana saja yang boleh dan mana saja yang dilarang oleh syariat, agar umat Islam dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan syariat agama yang dianutnya.
Sy. Abdullah bin Mas’ud RA mengabarkan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadist Qudsi, ternyata Allah berfirman, “Memandang lawan jenis (yang bukan mahram) merupakan anak panah Iblis. Barang siapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, niscaya Aku menggantinya dengan iman yang manisnya itu dirasakannya di dalam hati.” (HR. Ath-Thabarani dan Al- Hakim).
Dalam hadits lain, Sy. Abi Umamah RA menegaskan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim itu memandang kecantikan seorang wanita (yang bukan mahramnya), kemudian ia pejamkan matanya, kecuali Allah menggantinya dengan ibadah yang manisnya dapat dirasakan di dalam hatinya.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).
Ternyata memandang wanita yang bukan mahramnya itu bukanlah hal yang positif menurut syariat, bahkan termasuk perbuatan yang dapat menambah dosa. Lantas bagaimana jika ada seorang wanita yang sengaja memandang wajah pria yang bukan mahramnya?
Berikut ini salah satu dari istri Rasulullah SAW yang bernama St. Ummu Salamah RA mengisahkan, saat beliau dan St. Maimunah berada di sisi Rasulullah SAW, kemudian datanglah Sy. Abdullah bin Ummi Maktum (seorang pria yang buta). Peristiwa itu terjadi setelah Rasulullah SAW memerintahkan para wanita untuk menutup aurat. Lantas Rasulullah SAW bersabda kepada St. Ummu Salamah dan St. Maimunah, “Tutuplah pandanganmu dari padanya.”
“Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang pria yang buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami,” jawab St. Ummu Salamah.
Rasulullah SAW menjawab, “Apakah kamu berdua buta ? Bukankah kalian dapat melihatnya ?” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Ternyata dalam masalah ini, para wanita juga mendapatkan aturan hukum yang sama dengan aturan syariat yang wajib diterapkan oleh kaum pria. Bahkan untuk batasannya pun telah diterangkan secara jelas oleh Rasulullah SAW.
Sy. Jabir RA menceritakan, aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pandangan secara kebetulan. Beliau menjawab, “Palingkan penglihatanmu.” (HR. At-Tirmidzi dan Muslim).
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW memberi petuah kepada Shahabat Sy. Ali bin Abi Thalib RA, Beliau SAW berkata, “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan kedua. Karena yang diperbolehkan untukmu adalah pandangan yang pertama, sedangkan pandangan yang kedua diharamkan bagimu.” (HR. Muslim).
Dengan mengetahui batasan seperti ini, maka diharap setiap muslim/muslimah untuk berusaha meminimalisir pelanggaran yang paling rawan terjadi ini, bahkan sangat sulit untuk dihindari, teruma saat hidup di era modern. Namubn dengan menyadari kesalahan yang sering kali dilakukan, diharap agar setiap muslim/muslimah untuk lebih giat membaca istighfar dan memohon ampunan kepada Allah.