Indahnya Lebaran Bersama Rasulullah
Al-Insan al-Kamil
Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, sebagai pertanda berakhirnya Ramadhan. Saat itu pula Rasulullah bersiap-siap menyambut Idul Fitri. Bagaimana Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam merayakan hari Lebaran?
Pada hari Kemenangan itu, fadha’il (keutamaan-keutamaan), keberkahan, dan rahmat masih disisakan oleh Allah untuk melengkapi keutamaan ibadah Ramadhan. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seluruh sahabatnya baik laki-laki, perempuan, tua, dan muda untuk memburu keberkahan di hari suci tersebut.
Beranjaknya Ramadhan bukan berarti tidak ada keutamaan. Rahmat dan berkah dari Allah akan melimpah di hari Lebaran. Allah masih menyediakan kesempatan untuk menyempurnakan pahala Ramadhan di hari suci ini. Semuanya tak lain untuk mengejar predikat manusia "fitri".
Idul Fitri berasal dari dua kosa kata bahasa Arab, ‘aid dan fitrah. Dalam bahasa Arab, cukup diucapkan al-\aid yang berarti hari raya. Secara harfiah al-`aid berarti ‘kembali’ atau ‘berulang’. Maksudnya, untuk mengembalikan perasaan bahagia. Atau dikatakan juga kembali kepada kesucian, ibarat bayi yang baru dilahirkan. Sedang kata fithrah berarti ‘berbuka’, maksudnya berbuka setelah berpuasa. Dapat pula diterjemahkan dengan arti suci.
Dari dua kata ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hari raya Idul Fitri merupakan anugerah luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Karena setelah menjalani ibadah puasa, umat Islam berbahagia, bergembira, dan diperintah untuk makan dan minum. Dosa-dosanya dibersihkan, laksana bayi yang baru dilahirkan.
Oleh karenanya, sejak matahari terbenam pada akhir Ramadhan, Rasulullah SAW memerintahkan kepada keluarga dan segenap sahabatnya untuk menyiapkan segala sesuatu. Ada di antara sahabat yang mempersiapkan sedekah, ada yang menyiapkan makanan untuk makan pagi menjelang shalat Id, dan sahabat yang lain bersiap-siap untuk keperluan shalat.
Perasaan para sahabat Nabi ketika itu bercampur antara sedih dan bergembira. Ada semacam perasaan rindu terhadap Ramadhan, padahal baru saja ditinggalkan. Diantaranya sampai meneteskan air mata seraya lisannya terucap harap untuk mendapatkan kesempatan menikmati ibadah di bulan Ramadhan tahun depan. Bergembira karena mereka yakin akan janji Allah SWT bahwa dosa-dosanya dilebur, serta bisa menikmati makananan dan minuman.
"Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kebahagian. Kebahagiaan saat berakhirnya ibadah puasa (diperbolehkan makan dan minum) dan kebahagiaan saat bertemu Allah Shubhanahu wa ta’ala kelak,\" sabda Rasulullah saw kepada para sahabatnya.
Pada malam Idul Fitri, dzikir, takbir, dan lantunan ayat al-Qur\`an menggema di rumah-rumah para sahabat. Bacaan dzikir dan takbir di zaman Rasulullah SAW tidak dibaca dengan berkeliling di jalan-jalan seperti di negara kita. Tapi cukup dibaca di rumah atau di masjid. Seusai shalat Maghrib, para sahabat sibuk menyiapkan makanan pokok untuk membayar Zakat. Tapi ada beberapa sahabat yang mengejar keutamaan, yaitu mengeluarkan zakat fitrah menjelang shalat \`Ied pada pagi hari setelah shalat Subuh.
Abu Sa\`id al-Khudri meriwayatkan, bahwa ia bersama sahabat yang lain biasanya mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha\` gandum, kurma, atau kismis (anggur kering). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah ini kepada semua sahabat, baik orang yang merdeka, budak, bayi maupun orang tua. Kepada para sahabat, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah zakat fitrah, yaitu untuk membersihkan jiwa. Atau sebagai pembersih dari pembicaraan kotor serta perbuatan yang tidak pantas dilakukan pada saat puasa.
"Rasulullah shallallahu \`alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah, sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari pembicaraan kotor dan perbuatan dosa, lagi sebagai makanan orang-orang miskin." (HR. Abu Dawud).
Diharapkan setelah mengerjakan puasa, para sahabat tidak menyisakan dosa sekecil apapun dalam jiwanya.
Setelah seluruh para sahabat membayar zakat, malam pun semakin larut. Lantunan dzikir, takbir, dan ayat-ayat al-Qur`an masih riuh terdengar. Di malam lebaran itu, Rasulullah menganjurkan shalat malam (qiyamul lail). Dir
iwayatkan oleh Abu Darda\` radhiallahu \`anhu Rasulullah bersabda yang artinya:
"Barang siapa yang melaksanakan shalat malam pada dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati manusia".
Luar biasa, qiyamul lail di malam Lebaran laksana puncak dan penutup shalat Tarawih (qiyamul lail di bulan Ramadhan). Lengkap sudah pahala shalat tarawih selama sebulan dijalankan.
Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiap-siap melaksanakan shalat `Ied. Di hari yang berbahagia tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin, tua, dewasa, anak-anak, budak, orang merdeka, laki-laki, dan wanita bahkan wanita yang sedang haid pun diajak keluar menuju tempat shalat. Perintah ini tidak lain agar semuanya dapat merengkuh berkah hari Raya.
Ummu `Atiyah meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
"Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami untuk mengajak keluar para gadis dan wanita yang haidz pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wanita yang haidz maka mereka dipisahkan dari tempat shalat dengan tetap menyaksikan kebaikan (pada hari raya) dan mendengar doa kaum muslimin. Aku bertanya: Wahai Rasulullah di antara kami ada yang tidak mempunyai jilbab. Rasulullah menjawab: hendaknya saudara perempuannya memberi jilbab" (HR. Muslim). Hadis tersebut mengandung ketentuan bahwa, pada hari Raya wanita diperbolehkan keluar bersama-sama ke masjid atau lapangan dengan syarat, tidak bersolek, tidak memakai perhiasan yang berlebihan atau mamakai hal-hal yang menimbulkan fitnah. Wanita pada zaman Rasul tidak ada yang berhias diri ketika keluar, mereka memakai jilbab besar dan pakaian tertutup yang sangat sederhana. Pendapat ini mengikuti sahabat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Umar radhiallahu`anhum.
Dalam kitab Syarh al-Muslim, Imam muslim memaparkan bahwa wanita zaman sekarang keadaannya sudah berbeda. Oleh karenanya sebagian Ulama` mengharamkan, dikhawatirkan timbul fitnah. Pendapat ini didasarkan oleh riwayat Aisyah radhiallahu `anha yang artinya:
\"Seandainya Rasulullah Shallahu \`alaihi wa sallam melihat keadaan yang terjadi pada wanita (sekarang), beliau pasti melarang ke luar masjid sebagaimana dilarangnya wanita Bani Isra\`il\". Maksudnya, pada zaman sahabat saja (sesudah Rasulullah wafat) penampilan wanitanya sudah berubah, apalagi sekarang. Adapun bila tidak dikhawatirkan terjadi fitnah, wanita boleh keluar, sebab mereka juga berhak mencari berkah dan kebaikan hari Raya – dengan syarat bisa menjaga kehormatan, tidak bercampur dengan laki-laki.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa, keluarga Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan wanita berjalan bersama-sama menuju lapangan untuk menunaikan shalat \`Ied. Selama dalam perjalanan ke lapangan di sunahkan membaca takbir. Wanita yang sedang haid juga tetap dianjurkan mengumandangkan takbir, baik ketika malam hari Raya maupun ketika berjalan menuju tempat shalat.
Mengapa Rasulullah Shallahu `alaihi wa sallam shalat `Ied di lapangan, bukannya di masjid? Imam Muslim memberi alasan bahwa shalat `Ied dilaksanakan di lapangan karena masjid Nabawi tidak mampu menampung jama\`ah yang sangat besar. Sedangkan kaum muslimin di Makkah sejak awal melaksanakannya di Masjid. Para sahabat tidak ada yang melarang ketika penduduk Makkah melaksanakannya di dalam Masjid bukan di lapangan sebagaimana kebiasaan Rasulullah di Madinah (Syarhu al-Muslim/4). Bisa dimaklumi karena jumlah kaum muslimin di Makkah lebih sedikit di bandingkan Madinah waktu itu. Sehingga masjid mampu menampung jama`ah Makkah.
Suasana hati kaum muslimin pada pagi hari Lebaran itu, sangat bahagia. Para lelaki berhias mamakai pakaian yang bersih dan bagus. Rasulullah Shallahu \`alaihi wa sallam juga memilih diantara pakaiannya yang bagus. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam memakai kain jubah buatan Yaman setiap hari Raya. Pakaian ini adalah yang terbaik yang dimiliki Rasulullah. Tradisi inilah yang kemudian diadopsi oleh kaum muslimin Indonesia yang setiap hari Raya memakai pakaian baru. Sebenarnya tidak harus baru, tapi yang penting pakaian yang bagus dan bersih.
Setelah semuanya berkumpul, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat. Shalat \`Ied dilaksanakan dua rakaat tanpa adzan dan iqamah. Biasanya surat yang dibaca ketika shalat adalah surat Qaaf dan al-Qamar. Hikmahnya, karena dalam surat itu mengandung cerita hari kiamat, hari kebangkitan, dan cerita orang-orang dahulu yang diadzab serta menggambarkan keadaan manusia pada hari raya seperti hari keluarnya manusia dari kubur pada hari kebangkitan.
Setelah shalat baru dibacakan khotbah. Riwayat Jabir bin Abdillah menyebutkan bahwa seusai shalat `Ied, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam menghadap manusia membacakan khotbah. Selesai menyampaikan khotbah, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbarnya sambil menggandeng tangan sahabat Bilal dan mendatangi jama\`ah wanita untuk menyampaikan wasiat dan anjuran bersedekah "tashaddaqna, tashaddaqna, tashoddaqna" demikian anjuran itu diulang-ulang. Langsung saja para sahabat wanita itu melemparkan gelang, kalung dan perhiasan lainnya untuk sedekah. Bilal kemudian membentangkan kain di hadapan jama`ah wanita untuk menampung harta sedekah.
Hari Raya, bagaikan hari kemerdekaan bagi kaum muslimin. Semuanya diijinkan untuk meluapkan semua kegembiraannya. Sebagaimana yang dilakukan para sahabat Rasul Shallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diijinkan melantunkan nyanyian, sya\`ir dan mengadakan permainan. \`Aisyah radhiallahu \`anha menceritakan bahwa pada suati hari raya orang-orang Habasyah memain-mainkan perisai dan tombak mereka (sehingga membentuk tarian). (Menurut satu riwayat) saya meminta izin pada Rasulullah Shallahu `alaihi wa sallam (untuk melihatnya), dan (menurut riwayat lain) Rasulullah bersabda :"Apakah kamu suka melihatnya wahai `Aisyah?" "Aku menjawab, Ya. Kemudian Rasul menarikku ke belakangnya sehingga kami saling berdekatan. Rasulullah kemudian bersabda, Teruskanlah wahai bani Arfidah! Ketika aku merasa bosan,Rasulullah bertanya; sudah cukup? Aku menjawab, Ya, Rasulullah kemudian bersabda, kalau begitu pergilah" (HR. Bukhari). Tetapi, para sahabat tidak sampai berlebihan dan melewati batas dalam mengibur diri. Para ulama memberi ketentuan, hiburan yang diperbolehkan adalah hiburan yang tidak ada unsur maksiat. Nyanyian dan sya`ir tidak mengandung unsur syahwat dan cinta dan tarian yang erotis. “Bergembiralah, makan dan minumlah dan berdzikirlah kepada Allah ini adalah hari raya kita !”, perintah Rasulullah kepada para sahabat.
Setelah shalat wajah para sahabat berseri-seri mereka saling mengucapkan tahniah (ucapan selamat). Taqabbalahu minna wa minkum, ucapan selamat ini selalu diucakan sahabat ketika bertemu dengan sahabat lainnya. Raut muka para kader Rasululah itu bersih, berseri-seri menandakan kebahagiaan dan ketenangan jiwa – benar-benar contoh manusia yang "fitri". Subhanallah, betapa indahnya berlebaran bersama Rasulullah Shallahu \`alaihi wa sallam .
-