SEDANG-SEDANG SAJALAH HIDUP DI DUNIA !
Luthfi Bashori
Allah berfirman yang artinya:
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan balasan penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali mereka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud, 15-16).
Sering kita mendengar orang yang mengatakan, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah sebentar atau sementara, maksudnya jika dibandingkan dengan kehidupan setelahnya, yaitu kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. Karena itu sangatlah salah jika ada seseorang yang lebih mementingkan kehidupan duniawi tanpa peduli dengan kehidupan akhiratnya, hingga enggan mempersiapkannya.
Bagaimana tidak, dulu Rasululah SAW telah mencontohkan, bahwa beliau SAW memilih kehidupan yang sangat sederhana, bukan karena beliau SAW tidak mampu untuk mencari dan mengumpulkan harta, namun kesederhanaan yang beliau peragakan dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai pilihan hidup.
Sebagaimana Sy. Abdullah bin Mas’ud RA memberitahukan, bahwa Rasulullah SAW selalu tidur di atas tikar. Ketika beliau bangun, tampak jelas bekas tikar itu di kulitnya.
Kemudian ada shahabat yang mengusulkan, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami ambilkan kasur untukmu ?”
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Apalah artinya dunia ini buat diriku. Aku di dunia ini bagaikan orang yang bepergian dan berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi).
Menjalani kesenangan hidup di dunia yang berlebih-lebihan, apalagi jika sampai melanggar aturan syariat, termasuk dari kesalahan yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang. Alquran menyatakan yang artinya:
“Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia ahnyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.” (QS. Ar-Ra’d, 26).
Sy. Ibnu Umar RA berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang yang sedang lewat sebentar.” (HR. Al-Bukhari).
Menjadi kaya itu tidak dilarang oleh syariat, terutama jika kekayaannya itu dipergunakan untuk kepentingan perjuangan agama Islam dan membantu umat Islam yang perlu dibantu, karena tidak mampu dalam menjalani kehidupannya.
Jadi yang diperbolehkan oleh syariat itu adalah mengumpulkan harta, namun bukan untuk ditimbun demi menumpuk kekayaan pribadi dan dinikmati diri sendiri. Karena setiap harta yang dimiliki oleh seseorang itu kelak akan dipertanyakan oleh Allah di padang Mahsyar, dari mana ia peroleh dan ia pergunakan untuk apa saja. Tentu setiap orang akan mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakan selama hidup di dunia, termasuk urusan kepemilikan harta bendanya.