Distorsi Tafsir Pluralis Tentang Kesamaan Agama Semitik dan Kebenaran Kitab Suci
Kholili Hasib
Tentang titik temu agama-agama semitik dan kebenaran kitab suci Yahudi dan Kristen, telah cukup lama menjadi bahan diskusi dalam wacana pluralisme agama. Sudah sejak lama dikatakan bahwa agama Yahudi dan Kristen termasuk agama samawi, dengan arti bahwa kedua agama tersebut adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Ayat-ayat yang dijadikan justifikasi adalah surat al-Maidah ayat 48 dan surat Ali Imran ayat 64.
Pandangan inklusif terhadap agama-agama semit seperti yang diwacanakan kaum pluralis memang justifikasinya berbasis ayat-ayat al-Qur\`an. Nurcholis Madjid mengenalkan konsep titik temu agama semitik dengan istilah kalimah sawa\`. Menurut Cak Nur, kalimah sawa\` adalah kalimat ide atau prinsip yang sama di antara agama-agama semitik yang diistilahkan dengan common platform . Cak Nur mengatakan:
Dalam kitab suci al-Qur\`an. Allah SWT memerintahkan agar Nabi Muhammad, RasulNya mengajak komunitas keagamaan yang lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab) untuk bersatu dalam titik pertemuan itu; Katakanlah olehmu , Muhammad) \`Wahai para penganut kitab suci, marilah semuanya menuju ajaran bersama antara kami dan kamu sekalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Tuhan dan tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apa pun juga, dan kita tidak mengangkat sesama kita sebagai tuhan-tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa (Allah).
Tetapi, jika mereka (para penganut kitab suci) itu menolak, katakanlah olehmu sekalian (engkau dan para pengikutmu), \`jadilah kamu sekalian (wahai para penganut kitab suci) sebagaisaksi bahwa kami adalah orang-orang yang pasrah kepada-Nya (QS. Ali Imran:64). Jadi dalam firman itu, ditegaskan bahwa titik persamaan utama antara agama-agama (samawi) ialah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa .
Proyek common platform Cak Nur secara epistemologis semakin rancu ketika ia memaknai al-Islam sebagai sikap pasrah .
Kesimpulannya, Yahudi dan Kristen pun disebut al-Islam karena mereka juga pasrah kepada Tuhan Yahweh atau Elohim. Cak Nur mendasarkan pandangannya dengan ayat al-Qur\`an surat al-Ma\`idah :44 \"Kamilah yang menurunkan Taurat. Yang ada petunjuk dan cahaya di dalamnya. Bagi orang beragama Yahudi. Dengan (aturan-aturan Kitab) itulah Nabi-Nabi berserah diri (kepada Tuhan)\" . Penggalan ayat tersebut bagi Cak Nur merupakan sinyal al-Qur\`an bahwa terdapat titik temu ajaran agama-agama semitik.
Kesatuan yang dimaksud oleh kaum Pluralis sebenarnya kesatuan Tuhan – bukan kesatuan agama. Seperiti yang dikatakan Paul Tillich dan Herlianto atau Cak Nur, dimensi ajaran masing-masing berbeda, akan tetapi titik kesatuannya terdapat pada kesamaan Tuhan. Karena berbeda ajaran, maka jarak perbedaan itu tidaklah signifikan. Perbedaan itu, menurut kaum pluralis seperti perbedaan antar madzhab dalam Islam (perbedaan furu\`). Mengutip pendapat Kamill Najjar dari kitab al-Tasyabuh wa al-Ikhtilaf, dalam buku Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis al-Qur\`an ditulis:
Kamil al-Najjar menyimpulkan bahwa isi rukun Islam yang lima itu sama dengan yang dijalankan dan diyakini orang-orang Yahudi. Pertama, bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Orang-orang Yahudi pun bersyahadat bahwa Allah itu Esa, tidak ada tuhan selianNya. Dua, melaksanakan shalat. Sekalipun dengan tata cara beda, kaum Yahudi juga menjalankan ritual shalat. Tiga, berzakat.
Orang-orang Yahudi juga memberikan zakat dari hasil bercocok tanam sebanyak sepersepuluh. Empat, menjalankan puasa. Orang-orang Yahudi pun melaksanakan ibadah puasa, walaupun bukan pada bulan Ramadlan. Lima, melaksanakan ibadah haji. Menyangkut ibadah satu ini, Islam tak melakukan perubahan fundamental. Dengan ini, menurut Kamil al-Najjar, perbedaan Islam dan Yahudi seperti perbedaan fikih di antara para imam madzhab .
Pandangan tersebut dikokohkan dengan ayat al-Qur`an yang artinya:Untuk tiap-tiap umat diantara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu
Baik pandangan Nurcholis Madjid atau buku Argumen Pluralisme Agama yang mendasarkan ayat-ayat al-Qur\`an seperti tersebut di atas, dari sisi ilmiah cukup rapuh. Penggunaan kalimah sawa\` seperti yang digunakan Cak Nur juga tidak sesuai dengan asbabun nuzul dan makna yang dikandung ayat tersebut. Ayat tersebut (QS. Ali Imran: 64), turun ketika Rasulullah SAW berdiskusi dengan Nasrani Najran.
Keterangan-keterangan yang disampaikan Nabi SAW tidak diterima oleh utusan Nasrani Najran, Rasulullah pun mengajak mubahalah, akan tetapi ajakan terakhir ini juga ditolak, karena mereka takut binasa. Akhirnya mereka lebih memilih membayar jizyah. Pada waktu itu Rasulullah SAW sangat mengharapkan mereka mau memeluk agama Islam. Maka turunlah ayat ini yang inti kandungannya agar Nabi SAW meninggalkan cara jidal, sebab cara jidal ternyata tidak membuat mereka sadar masuk Islam .
Sedangkan Imam Al-Qurtubiy dalam tafsirnya meriwayatkan, bahwa ayat tersebut turun ketika sekelompok Nasrani Najran dan Yahudi berselisih dan saling mengklaim sebagai pengikut Nabi Ibrahim. Orang Nasrani mengakatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Nasrani dan Yahudi mengklaim bahwa agama Ibrahim adalah Yudaism, mereka menjadi bangsa yang paling utama disebabkan oleh Nabi Ibrahim. Lalu, Rasulullah SAW menengahi dan bersabda:
Tiap dua golongan itu (Yahudi dan Nasrani) berlepas diri dari Nabi Ibrahim dan agamanya. Akan tetapi Nabi Ibrahim adalah seorang muslim hanif dan aku (setia) pada agamanya (agama Ibrahim), maka ikutlah agamanya, yaitu agama Islam .
Jadi, ayat tersebut sama sekali tidak mengajak persamaan antara agama ahl al-kitab, justru kalimah sawa\` yang dimaksud adalah mengajak kepada agama Islam – yaitu agama yang menyembah Allah Yang Maha Esa, bukan menyembah Yahweh atau Elohim. Dalam ayat tersebut Rasulullah SAW malah mengajak penganut Yahudi dan Kristen untuk kembali kepada agama Tauhid, yaitu agama yang dibawa oleh nabi-nabi mereka.
Imam Nawawiy al-Jawi al-Bantani mengutip pernyataan tegas Ibnu Anbary ketika mengomentari surat Al-Ma\`idah ayat 44 – ayat yang diklaim Nurcholis Madjid bahwa Yahudi sebenarnya juga Islam:
(Ayat) ini menolak terhadap (klaim) Yahudi dan Nasrani, karena sebagian di antar mereka mengatakan: \"Para nabi semuanya adalah Yahudi atau Nasrani. Maka Allah SWT menjawab dengan ayat tersebut (QS. Al-Mai\`dah:44). Tegasnya, sesungguhnya para Nabi itu tidak Yahudi atau Nasrani akan tetapi mereka adalah muslim – yang tunduk pada semua hukum Allah SWT.
Jadi menurut Ibn Anbari, ayat tersebut menjelaskan bahwa agama para Nabi itu bukan Yahudi dan Kristen, akan tetapi para nabi adalah termasuk Muslim. Maka, common platform yang digagas kaum pluralis secara ilmiah lemah karena hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang tak berdasar. Sebab, dari data-data di atas ternyata asumsi-asumsi yang dibangun justru berkebalikan dengan literatur-literatur primer. Maka, semestinya penggunaan istilah/terminologi dikembalikan kepada asalnya. Term kalimat sawa` contohnya adalah istilah qur\`ani yang memiliki konsep tersendiri, jika term tersebut digunakan, maka konsepnya harus sesuai dengan aslinya yaitu al-Qur`an.
Proyek common platform atau kalimat sawa\` seperti tersebut di atas meniscayakan suatu pandangan bahwa perbedaan teologis antar agama-agama semitik adalah seperti perbedaan furu\`iyah antar madzab. Surat Al-Mai\`dah ayat 48 – yang diklaim sebagai sinyal bahwa antara agama semitik memiliki syari\`at sendiri-sendiri yang diberi oleh Allah. Ayat itu sama sekali tidak membicarakan perbedaan yang bersifat furu\` antara agama Islam dan agama-agama ahl al-kitab.
Tentang penafsiran surat Al-Ma\`idah ayat 48 tersebut, Seikh Nawawi al-Jawi al-Bantani cukup jelas menggambarkan makna inti ayat tersebut:
Maka Taurat adalah syari\`at untuk umat tertentu yang hidup dari masa Nabi Musa sampai diutusnya Nabi Isa. Injil adalah syari\`at (untuk umat) yang hidup pada masa diutusnya Nabi Isa sampai diutusnya Nabi Muhammad SAW, dan Al-Qur\`an adalah syari\`at yang diperuntukkan semua makhluk pada zamannya SAW sampai hari kiamat.
Keterangan Seikh Nawawiy di atas menunjukkan, hakikatnya syari\`at-syari\`at umat terdahulu (syar\`u man qablana) merupakan satu kesatuan dan bersifat temporal. Sebab, syari\`at satu nabi diteruskan dan disempurnakan oleh nabi setelahnya. Hal ini logis, karena agama mereka satu – yaitu agama Tauhid, yang oleh Ibnu Taimiyah diistilahkan Islam \`am. Akan tetapi, setelah Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul, syari`at itu disempurnakan oleh syari\`at baru yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Syari`at ini bersifat abadi-universal, berlaku sampai hari kiamat dan diperuntukkan bagi seluruh umat.
Senada dengan Syeikh Nawawi, Ibn al-`Arabi dalam Futuhat mengatakan para Rasul ditutus dengan membawa syari\`at yang berbeda secara berurutan (tatabu\`) dalam zaman dan ahwal yang berbeda, akan tetapi dalam masalah ushul mereka sama sekali tidak berbeda – seperti mengesakan Allah. Hukum para Nabi itu menurut Ibn al-\`Arabi juga bersifat temporal, yakni habis masa berlakuknya dengan datangnya Rasul lain dengan membawa hukum baru . Hal ini sesuai dengan Firman Allah surat Al-Ra\`d: 38 bahwa menurunkan tiap-tiap masa kitab suci, yang menghapus apa yang Dia kehendaki . Maka menurut Ibn al-`Arabi syari`ah yang datang kemudian menghapuskan masa berlakunya syari`ah yang terdahulu (syar\`u man qablana). Maka barang siapa yang hidup di zaman sesudahnya, maka ia wajib mengikuti syar\`iah yang baru tersebut.
Setelah Nabi Muhammad diutus, sebagian syar\`u man qablana masih berlaku dan sebagian diganti dengan syari\`at yang baru. Syari\`at umat-umat terdahulu yang masih berlaku adalah seperti syari\`at Haji, shalat, hukum qishash dan lain-lain. Bahkan hukum qishash dan had pelaksanaannya tidak ada yang berubah sebagaimana yang diajarkan Nabi Musa. Menyikapi syar\`u man qablana Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah berpendapat: Pertama, hukum-hukum dari syari\`at umat terdahulu tidak bisa diketahui tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam. Maka, penukilan syari\`at tidak dipandang sah jika tidak didasarkan pada sumber-sumber tersebut. Kedua, sesuatu yang dinasakh berdasrkan dalil hukum Islam, tidak bisa diambil. Ketiga, suatu hukum yang diakui dalam Islam sebagaimana halnya diakui dalam agama-agama samawi terdahulu, status hukumnya adalah didasarkan nash Islamy, bukan dengan hikayat umat terdahulu . Jadi syari\`at yang berlaku dari syar\`u man qablana adalah syari\`at yang tidak dinasakh oleh Syari\`at Islam, sedangankan syari\`at yang tidak ada keterangan dari ushul fikih, maka tidak bisa dilaksanakan.
Maka, benar al-Qur\`an membenarkan (mushaddiq) kitab-kitab dan syari\`at terdahulu, sebab mereka semua adalah dari Allah dan muslim. Akan tetapi bukan berarti al-Qur\`an kemudian membenarkan Yahudi dan Kristen. Dalam surat al-Maidah ayat 48 Allah berifirman yang artinya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
Ibnu \`Asyur mengatakan, maksud al-Qur\`an sebagai mushaddiqan adalah bahwa kitab-kitab samawi terdahulu mengandung al-huda (petunjuk) yang didakwahkan oleh kitab-kitab tersebut . Seikh Nawawi al-Jawi memaknai al-huda dalam ayat tersebut adalah kabar gembira tentang Nabi Muhammad SAW . Sedangkan kalimat muhaiminan dalam ayat tersebut menurut Ibn Katsir berarti hakim. Yakni Al-Qur`an berposisi sebagai hakim yang bertugas mengawasi dan memvonis kitab-kitab sebelumnya .
Pendapat hampir sama dikemukanan Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengatakan yang dimaksud al-Qur’an adalah muhaimin adalah bahwa al-Qur’an sebagai aminun yakni, apa saja dari kitab-kitab terdahulu yang sesuai dengan al-Qur’an maka itu adalah benar dan bila kitab itu bertentangan dengan kitab suci al-Qur’an maka berarti kitab-kitab itu batil .
Pendapat Ibnu Jarir ini dibenarkan oleh ulama-ulama lain seperti, Qatadah, dan Imam Mujahid. Jadi dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut bukan membenarkan Kitab suci agama Yahudi dan kitab suci Kristen. Karena, dalam perspektif al-Qur’an kitab-kitab agama ahl al-kitab sudah mengalami penyimpangan.
Perspektif al-Qur\`an memberi arahan yang cukup jelas, mengenai status agama para nabi. Para nabi di dalam al-Qur\`an disebut muslim, yang berarti agama mereka adalah Islam. Seperti QS. Yunus 71-72, menyebut Nabi Yunus sebagai seorang muslim, Nabi Ibrahim bukanlah Yahudi atau Kristen akan tetapi muslim dapat dilihat di dalam QS. Ali Imran: 67, dan semua nabi-nabi dari Bani Israil adalah muslim (Lihat QS. Yunus:84, QS An-Naml:44, dan Ali Imran:52). Imam Ibnu Taimiyah dalam al-Jawab al-Shahih liman Baddala din al-Masih mengatakan:
Ditegaskan oleh al-Qur`an surat Ali-Imran ayat 67 yang artinya : \"Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus dan muslim. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik\". Sedangkan mengenai status agama para nabi Rasulullah SAW bersabda:
Aku (Rasulullah SAW) orang paling dekat dengan nabi Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat. Nabi-Nabi adalah bersaudara, agama mereka adalah satu meskipun ibu-ibu mereka berlainan.
Ayat-ayat dan hadis tersebut mengindikasikan bahwa terdapat kesatuan substansi wahyu antara para Nabi, yaitu berupa ajaran Tauhid menyembah Allah Yang Esa dan menjauhi Thaqhut. Ibnu Taimiyah menyebut agama para Nabi sebelum nabi Muhammad SAW adalah al-Islam al-\`am (Islam Universal). Al-Islam al-\`Am itu menurut Ibnu Taimiyah adalah agama Nabi Adam sampai Nabi Isa, akan tetapi, nama itu menjadi al-Islam ketikan nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul . Al-Islam yang dibawa nabi Muhammad merupakan penyempurna ajaran nabi-nabi sebelumnya (al-Islam al-`am).
Para Nabi termasuk nabi Musa dan Isa tidaklah beragama Yahudi atau beragama Kristen. Karena ajaran kedua nabi itu telah ditinggalkan jauh oleh kaum bani Israel. Agama Yahudi, menurut Prof. Dr. Muhammad as-Syarqawi, Dosen Filsafat Islam dan Perbandingan Agama, Universitas Kairo yang juga pakar kitab Talmud dalam Kitab Israil al-Aswad bukanlah agama Musa atau agama Ya\`kub – sebagaimana yang diklaim.
Sejatinya doktrin-doktrin utama agama Yahudi bersumber dari kitab Talmud. Kitab Talmud adalah kitab suci kedua agama Yahudi setelah Torah (Perjanjian Lama) yang penuh kontroversial. Bagi Yahudi, Talmud posisinya paling utama, ia adalah undang-undang lisan untuk bangsa Yahudi yang berfungsi menafsirkan semua pengetahuan, ajaran, undang-undang kehidupan, moral dan budaya bangsa Israel, sedangkan undang-undang tertulisnya adalah Torah (Perjanjian Lama) .
Meski kitab Talmud datang setelah Taurat, namun kedudukannya lebih suci dari Torah . Kaum Yahudi kontemporer lebih berpedoman kepada Talmud daripada Taurat Musa, padahal menurut pengkuan para rabbi Yahudi sendiri kitab Talmud yang ada saat ini tidaklah berasal dari Musa, kitab tersebut hanyalah rekaan yang dibuat-buat oleh para petinggi agama Yahudi. Seorang Rabbi Yahudi, Rabbi Roski, secara eksplisit mengakui bahwa Talmud ditulis oleh para rabbi. "Jadikanlah perhatianmu kepada ucapan-ucapan para rabi (Talmud) melebihi perhatianmu kepada syari\`at Musa (Taurat)\", kata Roski . Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa agama Yahudi telah dibangun asas-asasnya oleh para Rabbi – bukan berdasarkan wahyu yang diterima oleh nabi Musa. Bahkan oleh mereka, sebagaimana ditegaskan oleh Rabbi Roski tadi, syari\`at Nabi Musa kedudukannya lebih rendah dari kitab karangan mereka (Talmud).
Dalam Dictionary of the Bible halaman 954 disebutkan, dalam tradisi agama Yahudi, Nabi Musa memiliki dua kitab undang-undang, yaitu Undang-Undang tertulis (Taurat) dan Undang-Undang Lisan (Talmud). Talmud ini disampaikan selama berabad-abad lewat kata-kata atau dari mulut ke mulut. Proses transmisi hukum lisan ini dari para murid-muridnya sampai kepada para rabbi mengalami kejanggalan. Dimungkinkan, saat proses transmisi itu banyak terjadi campur tangan pemuka agama Yahudi menambah-namabah. Sebab, pada beberapa ajarannya terdapat ajaran `aneh` – yang tidak pernah diajarakan oleh Nabi Musa. Prof. Dr. Muhammad as-Syarqawi, profesor yang menekuni kitab Talmud, menjelaskan, banyak sekali dalam kitab Talmud yang memuat ajaran-ajaran menyimpang diantarannya, Nabi Adam dikatakan pernah menggauli setan perempuan yang bernama Lelet, sehingga darinya lahir banyak setan.
Di dalam Talmud juga mengandung ajaran rasialis – yang saat ini dianut oleh Zionis Israel, diantaranya bangsa lain selain Yahudi adalah bagaikan Babi, Anjing dan Keledai, Keseluruhan Bumi ini adalah milik bangsa Yahudi yang diberikan oleh Tuhan, boleh menipu bangsa non-Yahudi, riba halal bagi Yahudi dan haram bagi non-Yahudi, boleh membunuh bangsa non-Yahudi dan lain sebagainya.
Selanjutnya as-Syarqawi menjelaskan pandangan Talmud terhadap orang Kristen atau non-Yahudi (Goim). Dalam Kitab Israil al-Aswad as-Syarqawi menguak misteri fakta-fakta kitab Talmud yang selama ini disembunyikan, Talmud menyebut orang Kristen dengan sebutan-sebutan yang merendahkan seperti Abhodah Zarah (agama aneh), Obhde Elilim (penipu-penipu paganis), Edom (orang yang mengimani lambang salib), Goim (nama untuk menyebut kaum non-Yahudi dan kaum paganis), Nokhrim (orang asing), Amme Harets (orang-orang dungu), Basar Vedam (daging dan darah – maksudnya orang Kristen yang tidak beriman kepada Roh), Apikorosim (orang yang tidak mentaati perintah-perintah Tuhan), dan lain sebagainya. Seorang rabi Yahudi Meir menyebut, kitab Injil milik orang Kristen dengan sebutan Aven Gilaion (Kitab-Kitab Jahat) .
Dapat disimpulkan bahwa agama Yahudi yang menjadikan Talmud sebagai kitab utama, mengandung ajaran-ajaran rasialis, pagan, dan eksklusif, bahkan terhadap agama Kristen pun – yang nabinya sama-sama dari keturunan bani Israil. Karena muatan-muatan Talmud yang penuh kejanggalan tersebut, maka kitab tersebut cenderung tidak diajarkan secara terbuka. Jika dikatakan Islam adalah agama eksklusif, maka sebenarnya agama Yahudi hakikatnya agama yang paling eksklusif.
Kekurang validan undang-undang Lisan (Talmud) itu semakin nampak ketika ternyata diantara para pemimpin Yahudi terlibat perselisihan tentang isi undang-undang. Hal ini pada akhirnya mendorong para pemimpin Yahudi untuk menyusun kompilasi Hukum Lisan masing-masing. Richard Elliot Friedman, penulis buku Who Wrote the Bible mengakatakan kitab Taurat (the Book of Torah) merupakan teka-teki paling tua, dalam kitab tersebut tidak ditemukan ayat yang menjelaskan Musa adalah penulisnya . Sehingga dipastikan yang menulis adalah orang-orang setelahnya, hal itu diperkuat dengan banyaknya kontradiksi . Hilangnya teks asli dan tiadanya otoritas membuat mereka merasa memiliki hak untuk menentukan kitab yang sebenarnya .
Hal yang sama juga dialami agama Kristen . Penyimpangan terhadap agama Nabi Isa bahkan terjadi sekitar kurang lebih 60 tahun setelah kegaiban Nabi Isa as. Sang aktor yang paling bertanggung jawab terhadap tahrif agama Nabi Isa adalah Paulus. Michael H. Hart, ilmuan terkemuka di AS tegas mengatakan bahwa Paulus sesungguhnya pendiri agama Kristen . Diantara ajaran baru Paulus yang bertentangan dengan jemaat murid-murid asli Yesus di Yerusalem adalah, ketuhanan Yesus, Tuhan mempunyai anak, pengingkaran terhadap beberapa hukum Taurat, menghalalkan minuman keras, menghalalkan babi, adanya dosa warisan, dan sebagainya .
Paulus adalah orang Yahudi Persi yang mengaku-ngaku Rasul . Pengakuan Paulus cukup ganjil, sebab sejak Yesus disalib, ia menjadi orang Yahudi yang sangat keras menantang ajaran-ajaran Yesus bahkan melakukan pembantaian terhadap pengikut Yesus .
Sehingga, Huston Smith, dalam the Religions of Man menyimpulkan bahwa agama Kristen adalah agama sejarah . Artinya agama Kristen tidak dilandasi lagi oleh wahyu samawi akan tetapi dibentuk oleh para pemukanya yang selalu berubah-ubah. Doktrin-doktrin dogmatis Kristen tersusun 3 abad setelah Nabi Isa diangkat oleh Allah SWT. Pada Konsili pertama di Nicea tahun 325 M yang digagas oleh Kaisar Roma diputuskan kebenaran Tuhan Yesus yang diputuskan melalui voting, teologi resmi Kristen Ortodoks dan kepercayaan-kepercayaan diluar yang ditetapkan Konsili dianggap sebagai herecy (sesat dan bid\`ah). Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kaisar Roma – yang beragama paganisme – sangat berjasa membentuk doktrin baru ajaran Kristen selain Paulus.
Sang Kaisar bahkan dikenal sebagai pemimpin (Imam) paguyuban penyembah Sol Invictus (matahari yang tak terkalahkan). Kaisar menggagas Konsili Nicea konon karena mempunyai agenda tersendiri yaitu menguatkan kekuasaannya. Di mana pada saat itu di Roma berkembang tiga agama besar, Kristen, penyembah Sol Invectus dan Mithraisme (juga komunitas yang menyembah matahari). Untuk menyatukan dan merukunkan tiga agama tersebut, Kaisar berusaha melakukan internalisasi ajaran pagan ke dalam Kristen melalui Konsili, agar ketiga agama tersebut memiliki kesamaan. Sehingga secara politis, ketiga agama tersebut dapat disatukan dalam paham yang umum yaitu Katolik. Hal ini semata-mata untuk menghindari konflik antar tiga agama tersebut. Sehingga perpecahan masyarakat yang diakibatkan oleh konflik tiga agama tersebut dapat terhindarkan.
Dari paparan singkat di atas, maka tidak logis jika dikatakan bahwa Yahudi dan Kristen masuk kategori agama samawi dan millah Ibrahim. Sebab kenyataannya, bahkan pengakuan dari pemuka agama mereka sendiri, ajaran otentik mereka terputus semenjak ditinggalkan oleh nabi-nabi mereka.