Sekeping Mahabbah Untuk Rasulullah
SYIFAUL FUAD
Cinta adalah energi yang dicari oleh para hamba yang senantiasa mengharap ridha Allah. Cinta merupakan konsumsi hati yang sejati. Penyegar rohani dan penyejuk sanubari.
Cinta adalah sumber kehidupan. Jika seseorang kering dari nilai cinta, tak jauh beda dengan insan tak bernyawa. Cinta adalah cahaya. Jika seseorang kehilangan cinta, laksana tenggelam di kedalaman lautan nan gelap gulita. Cinta merupakan ruh iman, amal, hal, dan maqomat (kedudukan di sisi Allah).
Rasulullah bersabda, “Tiadalah beriman seseorang di antara kalian, sehingga aku menjadi orang yang tercinta baginya melebihi orang tuanya, keturunannya, dan sekalian manusia.” (HR. al Bukhari).
Ekspresi Cinta Untuk Sang NabiKecintaan yang mendalam, kepada Rasulullah manusia pilihan, termasuk dari kesempurnaan iman. Hal itu terbukti bila seseorang dihadapkan pada dua pilihan, antara kehilangan salah satu keinginannya dengan kehilangan peluang melihat Nabi. Maka kelihangan kemungkinan melihat beliau akan terasa lebih berat daripada kehilangan sesuatu yang dia inginkan.
Jika seeorang telah berhias dengan sifat ini, dia telah menggapai cinta mendalam kepada Rasulullah. Ini bagian dari kesempurnaan iman. Sebab setiap orang yang beriman dengan mantap, pasti mempunyai potensi cinta kepada Rasulullah. Hanya saja potensi tersebut bertingkat-tingkat. Ada yang menggapai bagian tertinggi dan sempurna. Ada pula yang hanya memperoleh bagian terendah, sebagaimana orang yang bergelimang dalam maksiat.
Tingkat kecintaan kepada Rasulullah tergantung pada penghadiran serta pemusatan kemanfaatan dunia-akhirat yang datang dari Rasulullah yang merasuk pada diri seorang muslim. Atau berdasarkan kelalaian pada nilai kemanfaatan yang diberikan oleh Baginda Rasul.
Kecintaan para sahabat adalah episode cinta yang sempurna. Semua lahir dari tingkat kemakrifatan dan maqam Sang Rasul. Para sahabat menyadari hal ini. Cobalah kita tengok visualisasi kecintaan para sahabat kepada Rasulullah.
Satu; Seorang wanita Anshor telah kehilangan saudara, ayah dan suaminya yang gugur di medan tempur Uhud tatkala berperang bersam-sama Rasulullah. Namun ketika mendengar berita kematian keluarganya, dia lebih tergugah untuk menanyakan keadaan Rasulullah. Setelah diberi kabar bahwa keadaan Rasulullah baik-baik, wanita tersebut belum merasa tenang hingga dapat melihat Rasulullah dengan matanya sendiri. Baru setelah dapat melihat Rasulullah, wanita tersebut berkata, “Semua musibah adalah perkara kecil, jika engkau masih selamat, wahai Rasulullah.”
Dua; Ketika musyrikin Makkah menyeret Sayyidina Zaid bin Datsinah untuk mereka bunuh, Abu Sufyan, pemimpin mereka berkata, “Wahai Zaid, aku bertanya padamu dengan nama Allah. Apakah engkau senang bila Muhammad kami bunuh, sedangkan engkau berada dalam keluargamu dalam keadaan aman?”
Karena kecintaan Sayyidina Zaid yang tulus mendalam pada Rasulullah, dia menjawab dengan tegas, “Demi Allah. Aku tak akan senang dan rela bila Muhammad tertusuk duri di tempat beliau berada sekarang, sementara aku berada di tengah-tengah keluargaku.”
Akhirnya dengan diliputi keheranan Abu Sofyan berkata, “Aku tak pernah melihat seorang pun manusia yang mencintai orang lain, melebihi kecintaan sahabat Muhammad kapadanya.”
Tiga; Syauban adalah budak yang telah dimerdekakan oleh Rasulullah. Dia adalah seseorang yang sangat mencintai Rasulullah. Dia tak mampu berpisah dengan Rasul. Hingga suatu hari, dia datang menemui Sang Baginda dengan muka pucat. Tampak rona kesedihan di wajahnya. Rasulullah pun bertanya, “Apa yang membuat engkau pucat pasi wahai Syauban?”
”Wahai Rasulullah, tiadalah aku tertimpa sakit. Namun, jika aku tak melihat engkau, aku merasa begitu resah hingga aku dapat menemui engkau. Lalu aku teringat akhirat. Akupun takut di sana kelak aku tak dapat melihat engkau. Karena tentunya engkau berada di tingkat tertinggi bersama para Nabi. Sedangkan jika masuk surga, maka aku berada pada tempat yang lebih rendah dari tempat engkau berada. Dan jika aku tak masuk surga, niscaya aku tak dapat menatap engkau selamanya.”
Empat; Suatu hari. Sayyidina Abdullah bin Zaid sedang menggarap kebunnya. Sekonyong-konyong anak beliau datang membawa kabar wafatnya Rasulullah. Terdorong cinta yang mendalam, seketika itu pula Sayyidina Abdullah bin Zaid berdoa, “Ya Allah. Ambillah penglihatanku. Sehingga setelah kematian kekasihku, Muhammad, aku tak melihat sorang pun.” Dan akhirnya Allah mengabulkan permintaannya.
Ajiib. Inilah episode cinta sejati. Yang pernah hadir dalam sejarah umat manusia. Cinta para sahabat kepada kinasih hati, Rasulullah sang Nabi. Utusan Ilahi.
Fragmentasi cinta yang dicuplik dari sirah para sahabat tiadalah timbul melainkan karena lahir dari kesejatian cinta. Keagungan pribadi Rasulullah telah membekas dan merasuk ke dalam hati mereka. Dari rasa cinta itulah, muncul kecenderungan untuk mentauladani keagungan syariat dan keluhuran akhlak baginda Nabi.
Sedangkan orang yang menduga dan mengaku cinta pada Rasulullah, tapi dia berjalan melenceng dari jejak sirah Rasulullah, menerjang larangannya, maka dia telah menampilkan kedustaan yang nyata. Cinta laksana samudera, sementara perbuatan sang pendusta adalah wujud kebohongan semata. Karena perahu tak akan dapat berlayar di permukaan bumi yang kering.
Engkau mengharapkan keselamatan tapi tidak mau menempuh jalannya, sesungguhnya perahu tak kan dapat berlayar di bumi yang kering.
Setelah melihat kecintaan nan sejati, dari para sahabat Nabi; serta komitmen mentauladani yang tinggi, atas segala jejak dan prilaku sang Kinasih hati, Baginda Rasulullah pilihan Ilahi; lalu kapankah tergerak untuk mau menempuh jejak mereka? Hanya taufik dari Allah serta nadhrah Rasulullah semata yang patut kita kedepankan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad.
Ibnu Ishaq Abi Aly
Santri PP Nuur al Anwaar
Parengan Maduran Lamongan
Bentuk tanda cinta pada Rasulullah yang lain adalah mengikuti (ittiba’ dan iqtida’) dan mengamalkan sunnah beliau, menempuh dan mengambil hidayah dari apa yang beliau sampaikan serta dari perjalanan hidup beliau, dan menetapi syariat yang telah beliau gariskan.
Dan kembali, dalam hal ini, para sahabat Rasulullah menjadi yang terdepan. Beliau-beliau tiada meninggalkan satu pun berita tentang al-Musthofa, kecuali menghafalnya, dan tiada satu pun dari hal-ihwal, pakaian, makanan, minuman beliau, dan lainnya, kecuali telah mereka riwayatkan. Tiada pun sifat yang dapat membangkitkan kecintaan dan pengikutan pada Rasulullah kecuali mereka sebarkan. Semua itu karena kecintaan kepada beliau adalah ibadah, dan mengikuti pada jejak beliau adalah tanda dari kecintaan tersebut.
Sehingga kecintaan yang kuat dan benar inilah yang mendorong sayyidina Anas bin Malik untuk mengikuti sang tercinta dalam setiap perkara, baik yang berupa syariat atau hanya adapt kebiasaan saja, bahkan dalam perkara yang hanya berhubungan dengan naluri kemanusiaan pun. Beliau berkata,: “Aku melihat Rasulullah memakan labu kuning (ad dubba’) sampai habis di dalam mangkok, maka mulai hari itu aku pun senang dengan labu kuning.” Ikhwanii akhowatii…jika ini adalah keadaan para sahabat dalam perkara yang berhubungan dengan naluri kemanusiaan, lau bagaimana pengikutan mereka dalam hal syariat dan ibadah? Jelas lebih mengesankan lagi.
Tiada keraguan pula, bahwa para sahabat Rasulullah begitu kuat memegang petunjuk Nabi, dan mempraktekkannya. Tengoklah sahabat Abu Ayyub al Anshoriy, ketika beliau melihat Rasulullah mengembalikan makanan yang mengandung bawang mentah (sebab bawang mentah menimbulkan bau tak sedap, yang sangat tidak cocok dengan kedudukan Rasulullah yang selalu berhubungan langsung dengan Allah), naka sahabat ini pun membenci dan meninggalkan buah ini hingga beliau meninggal.
(Sumber: Al Anwar al Muhammadiyah, hal. 409-410 (cet. Darul Fikr, Beirut) dan Wasa’ilul Wushul ila Syamailir Rosul, hal. 9-10 (cet. Darl Minhaj), keduanya karya as Syaikh Yusuf bin Isma’il an Nabhaniy).