GHARASU FA AKALNA WA GHARASNA FAYAKKULUN
Luthfi Bashori
Nenek moyang yang menanam, maka kitalah yang menikmat hasilnya, dan sekarang kita yang menanam, maka kelak anak cucu yang akan menikmati hasilnya.
Inilah arti pribahasa yang tertera dalam judul di atas. Tentunya banyak makna yang tersembunyi di dalamnya. Jika kita tangkap secara kasat mata, bisa saja kita gambarkan bahwa nenek moyang kita dulu menanam pohon-pohonan yang kini sudah mencapai usia di atas umur kita.
Seringkali kita dapat memanfaatkan hasil pepohonan tersebut, seperti buahnya, atau ranting kayu bakarnya, atau kerindangannya, bahkan perlindungan terhadap bahaya banjir juga adalah salah satu dari manfaat yang dapat kita nikmati dari hasil kerja keras nenek moyang kita.
Adakalanya kita sadari hal itu, namun tak jarang yang kita lalaikan bahwa buah karya nenek moyang kita ternyata sangat bermanfaat bagi semua kita sebagai generasi penerus.
Karena itu, sungguh nista jika kita tidak mengakui kemanfaatan apa yang telah dlakukan oleh nenek moyang kita, di dalam membentuk karakter bangsa Indonesia dengan gaya ketimuran, terlebih yang menyangkut aqidah umat.
Nenek moyang umat Islam Indonesia telah mengadopsi aqidah Asy`ariyah Maturidiyah sebagai landasan Aqidah Ahlus sunnah wal jamaah, melewati ajaran para Walisongo, dan memegang penuh madzhab Syafi`i dalam pengamalan fiqih ibadah dan kemasyarakat. Tentunya prinsip hidup bangsa Indonesia yang baik ini wajib kita pertahankan sampai kapanpun.
Betapa sial dan celaka figur-figur manusia yang berusaha memutarbalikkan fakta, dengan mengatakan bahwa aqidah yang sudah bertahun-tahun dianut umat Islam bangsa Indonesia kini sudah tidak relevan lagi, karena itu perlu mengadakan perubahan.
Lantas mereka belajar agama Islam dari kaum orientalis Barat, dengan mendatang kampus-kampus maupun tempat pendidikan non formal di Kanada, Chicago, Australia, Jerman, Denmark dan negara non muslim lainya, maka hampir bisa pasti sepulang dari studynya itu akan membawa kepentingan aqidah orientalis non muslim untuk disebarkan kepada umat Islam bangsa Indonesia.
Atau ada pula yang berangkat menimba ilmu di kota Qum Iran dari tokoh-tokoh syiah Imamiyah, maka sepulang dari Iran mereka menyebarkan aqidah sesat Syiah Imamiyah seperti menimbulkan keragu-raguan dalam hati umat Islam terhadap kesucian dan kemurnian Alquran.
Hal ini tidaklah mengherankan karena aliran sesat Syiah Imamiyah ini secara resmi memiliki kitab pegangan yang isinya adalah pengingkaran terhadap kesucian dan kemurnian Alquran, sebut saja dalam kitab pegangan utama mereka yang bernama Alkaafi juz hal , pada judulnya tertera Fiihi naktun wa natfun minat tanziil fil wilayah (di dalam Alquran terdapat ayat yang dihapus dan dicabut mengenai kepemimpinan Imam)
Bahkan mereka memiliki kitab yang bernama Fashlul Khithab fi tahriifi kitaabi rabbil arbaab (Kata Kepastian, tentang adanya tahrif (pemalsuan) di dalam isi Alquran)
Tentu saja, baik mereka yang belajar ilmu agama di Barat maupun di Iran, saat pulang maka akan berusaha merubah aqidah dan keyakinan asli umat Islam bangsa Indonesia yaitu Sunni Syafi`i dengan aqidah Liberalisme model Barat maupun Syiah Imamiyah Khomeiniyyah model Iran, dibantu oleh tokoh-tokoh yang pemikirannya telah terkontaminasi oleh mereka.
Belum lagi adanya figur-figur yang salah mencari guru, saat belajar di Timur Tengah, yaitu kepada tokoh-tokoh beraliran Wahhabi, sehinga sepulang dari Timur Tengah, tiba-tiba saja mereka melontarkan tuduhan bid`ah sesat, syirik, kafir kepada umat Islam mayoritas yang mengamalkan amalan-amalan warisan nenek moyang umat Isam, sejak zaman para Walisogo sebagai penyebar Islam pertama kali di Indonesia, yang ajarannya masih lestari hingga saat ini.