URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 9 users
Total Hari Ini: 313 users
Total Pengunjung: 6224434 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
ISLAM TIDAK MENGAKUI HAM DAN DEMOKRASI ? - (3) 
Penulis: ZUMAN MALAKA,SH,SHI,MH. [27/1/2010]
 


BAB III 


                    PRESEPSI TENTANG KEKEJAMAN HUKUM ISLAM

                                               ZUMAN MALAKA,SH,SHI,MH.


A. HUKUM PIDANA ISLAM YANG DINILAI KEJAM


Kritik terhadap hukuman dalam Islam bisa juga disebabkan karena tidak disadarinya alasan spiritual dari hukuman itu. Hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang pada orang lain. Melainkan suatu pelaksanaan dari ketentuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Ketaatan kepada hukum Allah adalah karakter dasar bagi masyarakat Muslim yang benar.

Salah satu persoalan yang selalu dibahas oleh para ahli hukum pidana adalah masalah pidana atau hukuman. Sebelum membahas hal-hal diatas kita akan coba melihat bagaimana tuduhan-tuduhan terhadap hukuman dalam system pidana Islam yang kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan barbar. Dalam system ini misalnya dikenal hukuman mati.

Persoalannya sering kali bentuk-bentuk hukuman tersebut hanya dilihat dari satu sisi saja, yaitu kemanusiaan menurut standar abad 20 yang dianggap paling beradab. Tidak dilihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifan hukuman-hukuman tersebut. Berkaitan dengan teori pemidanaan ini dikenal adanya beberapa tujuan pemidanaan, yaitu : Retribution (pembalasan), Deterence (pencegahan), dan Reformation (Perbaikan). Banyak penulis menyatakan bahwa satu-satunya tujuan pemidanaan dalam hukum hukum pidana Islam adalah untuk pembalasan semata.

Pada kenyataannya hal tersebut tidak benar. Dalam hukum pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan (umum dan khusus), serta perbaikan. Dalam kenyataannya juga melindungi masyarakat dari tindakan jahat serta pelanggaran hukum (fungsi perlindungan). Hukuman dalam Islam memiliki landasan yang sangat kokoh yaitu Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW, dan bukan berdasarkan dugaan-dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil.

Dari sisi kepastian hukum juga jelas karena manusia dilarang mengubah hukuman yang diancamkan, jadi untuk tindak pidana yang diberi ancaman hukuman hadd tidak boleh ada perubahan, perbuatan yang dilarang tetap menjadi sesuatu yang diharamkan sampai kapanpun. Bandingkan dengan system hukum di negara-negara Barat yang bahkan untuk perbuatan yang sangat kotor, seperti zinah dapat dilakukan dekriminalisasi. System ini juga mengenal afwan atau pemaafan bagi tindak pidana qishash, seperti pembunuhan atau penganiayaan, jika pihak korban atau keluarga korban mau memaafkan.

System ini juga sangat memperhatikan aspek pencegahan, pendidikan, dan perlindungan bagi masyarakat, serta perbaikan bagi si pelaku. Dikatakan oleh Shiddiqi, hukuman yang ditentukan oleh syari’at hanya dilaksanakan suatu negara Islam. Hukuman ini merupakan bagian dari system Islam dan bila system tersebut mungkin tidak akan tepat sama sekali. Dalam system seperti ini negara melakukan distribusi kekayaan dengan baik, yang bertanggung jawab untuk menolong setiap warga negara, tidak peduli latar belakang suku, ras, bahasa, warna kulit, atau status sosialnya.

Negara juga bertanggung jawab menjamin pekerjaan yang baik bagi warganya, jika pekerjaan itu tidak tersedia atau jika ada seseorang yang tidak mampu bekerja harus diberikan kepadanya harta dari ba’it al mal atau rumah harta negara. Menolong warga negara juga termasuk menghindarkan mereka dari perbuatan terlarang, misalnya dengan melarang sarana-sarana yang mendorong terjadinya berbagai kejahatan.

Maka termasuk didalamnya larangan tempat-tempat prostitusi, larangan minuman keras, larangan menyendiri dengan orang lain yang bukan muhrimnya, larangan tontonan yang membangkitkan nafsu seksual. Sebaliknya dilakukan usaha-usaha mendorong warga negara agar dapat menjalankan ajaran agamanya dengan baik, seperti sholat, puasa, zakat, ibadah haji, dan ibadah-ibadah lain.

B. PENGGOLONGAN HUKUMAN

Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan. Penggolongan pertama didasarkan atas pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya, dalam hal ini ada empat jenis hukuman :
1. Hukuman Pokok (’uqubah ashliah), misalnya hukuman qishash untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan.
2. Hukuman Pengganti (’uqubah badaliah), merupakan pengganti hukuman pokok yang tidak dkumanapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman hadd atau qishash yang tidak dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah hukuman pokok untuk pembunuhan semi sengaja (menyerupai sengaja), demikian pula hukuman ta’zir merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana ta’zir.
3. Hukuman Tambahan (’uqubah taba’iah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarganya sebagai tambahan hukuman qishash, atau hukuman pencabulan hak sebagai saksi bagi orang yang melakukan tindak pidana qadzaf (memfitnah orang lain berzina).
4. Hukuman Pelengkap (’uqubah takmiliah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim.

C. PEMBUNUHAN

Tidak diragukan kembali bahwa tindak kejahatan yang paling menakutkan bagi manusia adalah pembunuhan. Tindakan pembunuhan diancam pidana berat oleh semua system hukum sejak awal sejarah manusia hingga saat ini. Ancaman pidana bagi tindak pidana ini dalam Hukum Pidana Islam dikenal sebagai ”Qishash” yaitu pembalasan bagi pelaku seimbang dengan luka yang diderita korban.

Dalam mengkaji hukum qishash ini, hal yang paling penting adalah klasifikasi pembunuhan itu sendiri: yaitu apakah pembunuhan merupakan bagian dari hukum publik dimana negara harus intervensi  ambil bagian dalam penuntututannya, ataukah ia merupakan bagian dari kesalahan perdata atau Tort, dimana pemulihannya dikembalikan kepada orang yang terkena perbuatan itu, apakah ia akan menuntutnya atau tidak.

Tepat yang diberikan oleh Islam bagi kehendak  keinginan individu dalam konteks Qishash ini membedakan perlakuan Islam terhadap pembunuhan dari perlakuan system lain. Dimana, dalam hukum Islam pembunuhan terlihat sebagai kesalahan privat, dan pemulihannya menjadi urusan sang korban atau keluarganya. Tetapi penelitian yang lebih jeli akan membawa kesimpulan yang berbeda. Dalam fiqih, tindak pidana pembunuhan ini (Al Qatl) disebut dengan Al Jinayah ’la al Insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia), sebutan ini sama dengan pengertian pembunuhan dalam hukum positif.

Dalam KUHP Indonesia sendiri, tindak pidana ini juga dimasukkan dalam bab XIX : kejahatan terhadap nyawa .

Dalam hal pembunuhan ini, kami contohkan tentang pembunuhan sengaja. Bahwa suatu pembunuhan baru dapat dikatakan pembunuhan sengaja didalam Islam jika memenuhi unsur-unsur :
1) Yang dibunuh adalah manusia yang diharamkan Allah untuk membunuhnya :
2) Perbuatan itu membawa kematian : dan
3) bertujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang.

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa ada beberapa bentuk hukuman dikenakan kepada pelaku tindak pidana ini, yaitu :

1) Hukuman Asli, yaitu hukum qishash. Hukuman ini didasarkan pada ketentuan Allah dalam QS. Al Baqarah
(2): 178. Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh....” Dalam surat lain QS. Al Maidah (5) ayat 45 : Artinya : “Dan telah kami tetapkan kepada mereka didalamnya (taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa…”. Dalam hadits Nabi juga ditemui perintah ini : Artinya : ”... Siapa yang membunuh dengan sengaja, maka dibalas dengan membunuh (pelaku)nya...” (HR. Abu Dawud dan An Nasai dari Abdullah Bin Abbas). Hukuman qishash tidak dijatuhkan apabila dimaafkan oleh ahli waris. Para ahli waris menurut kesepakatan ahli fiqih, boleh memaafkan terbunuh dengan cara tidak melaksanakan hukuman qishash.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Baqarah (2) ayat 178. Artinya : ”Maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (Diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)...” Kemudian dalam surat Al Maidah (5) ayat 46 Allah Swt. berfirman: Artinya : ”....dan luka-luka (pun) ada qishashnya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya...” Sedangkan dalam Sunnah ada riwayat : Artinya : ”Sepengetahuan saya setiap ada perkara Qishash dilaporkan kepada Rasulullah Saw, senantiasa dianjurkan untuk dimaafkan ”. (HR. Anas bin Malik). Aturan tentang pemaafan dalam pembunuhan inilah tidak ada dalam hukum positif. Aturan ini juga menepis anggapan bahwa hukuman dalam pidana Islam hanya bertujuan untuk pembalasan semata.

2) Hukuman Pengganti. Menurut ulama fiqih, apabila hukuman qishash gugur (misalnya karena dimaafkan atau karena ada perdamaian), maka ada dua hukuman pengganti lain, yaitu Diyat yang ditanggung sendiri oleh pembunuh, dan hukuman ta’zir.

3) Hukuman Pelengkap. Selain hukuman-hukuman diatas dalam pembunuhan sengaja juga ada hukuman lainnya, yaitu: terhalang hak warisnya, dan terhalang mendapat wasiat dari korban.

BAB IV SITUASI HAM DAN DEMOKRASI DALAM DUNIA ISLAM

A. DUNIA ISLAM MEMILIKI CIRI TERSENDIRI

Dengan semakin rapatnya hubungan satu negara dengan negara lain di dunia ini, orang-orang diberbagai belahan bumi semakin merasa perlu untuk saling memahami budaya, sistem kehidupan , termasuk hukum dari bangsa-bangsa lain. Sehingga dibarat orang mempelajari berbagai aspek dari hukum islam, tidak kecuali hukum pidanaya. Pada hakekatnya bahwa negara hukm tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya jika tidak ada demokrasi sebaliknya demokrasi tidka akan berfungsi selama HAM terus menerus diperkosa.

Demokrasi tidak akan terwujud jika hukum tidka dihormati. Demikian pula jika mekanisme demokrasi dimatikan, hukum dan HAM dilecehkan. Kemunculan kembali negara-negara islam dan negara-negara muslim diantara masyarakat bangsa-bangsa didunia dan ketaatan dari beberapa negara kepada hukum islam sebagai dasar darisyatem hukum mereka menegaskan pentingnya memahami nilai-nilai dan atribut-atribut dari islam dan hukum islam.

Negara muslim yaitu negara dimana mayoritas pendudknya adalah kaum muslimin atau pemerintahnya mewakili mayoritas umat islam. Negara islam merujuk pada suatu bentuk pemerintahan dimana seluruh perlakuan dari seluruh aspek usaha manusia dan hukum menjadi subjek hukum islam, yaitu syariat. Dunia islam mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Seperti dunia barat,dunia islam juga memperlihatkan keragaman dan tidak homogen.

Dalam arti, setiap negara dari Aljazair hingga Indonesia mempunyai perbedaan yang amat mendasar, meski mayoritas penduduknya beragama islam. Ternyata komunalitas agama tidak dengan sendirinya berarti komunalitas sosial dan tradisi politik. Sebagaimana masyarakat dan realitas sosialnya berbeda, juga tradisi-tradisinya. Aljazair misalnya, merupakan negara modern yang westernized.

Karena itu, mengalami guncangan hebat saat sebagian warganya menginginkan ”negara islam” versi mereka. Sementara itu, negara-negara lain seperti Indonesia, Malaysia dengan mayoritas penduduknya muslim memilih menjadi Negara sekuler, tampaknya perjuangan kelompok-kelompok islam untuk membentuk Negara islam tidak berhasil. Kedua negara itu mengambil pemerintahan yang cocok untuk masyarakat pluralitas.

Kendati penduduknya mayoritas muslim, kedua negara itu mempunyai karakter pluralis dan karena itu memilih karakter sekuler. Dan yang sangat menarik, bahwa dari masing-masing negara islam didunia, tidak ada yang mengeluhkan soal penerapan hukum islam karena perbedaan budaya, social ataupun yang lainnya. Tetapi hukum islam bisa berjalan secara seknifikan, walaupun ada perbedaan-perbedaan dari masing-masing negara tersebut.

Hukum islam sangat bersifat fleksibel, artinya tidak kaku seperti halnya yang dibayangkan orang-orang yang kurang dalam memahami hukum islam, karena hukum islam bisa berdiri dimanapun ia berada, walaupun dalam masyarakat yangmemiliki perbedaan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Kita tahu bahwa didalam salah satu kaidah fiqih mengatakan bahwa : ” Hukum-hukum itu dapat berubah sesuai dengan zaman, tempat, dan keadaan”. Sehingga hakekatnya hukum islam tersebut dapat berubah dalam kondisi dan situasi tertentu. Tetapi hakekatnya tidak berbenturan dengan hukum asal (Al Qur’an dan Hadits).

B. HAM DALAM DUNIA ISLAM

Berhubung hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak lahir sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa hak asasi manusia tersebut tidaklah bersumber dari negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semsta beserta isinya, sehingga hak asasi manusia itutidak bisa dikurangi (non derogable right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari negara dan hkm adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut.

Salah satu kendala bagi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (HAM) dalam masyarakat beragama yang sedang mengalami modernisasi adalah keraguan dalam menyikapi hubungan antara agama dan sekulerisme. Hingga kini keduanya dipahami sebagai domain yang berbeda, bahkan berbenturan satu dengan yang lain. Kita tidak boleh lupa, sebagian besar penduduk dunia adalah uma beragama.

Karena itu, keggalan untuk melibatkan prespektif agama sebagai fondasi HAM bukan berarti hanya hilangnya dukungan politik komunitas-komunitas beragama, tetapi juga bisa menjebak mereka melakukan perlawanan terhadap sebagian hak-hak universal itu. Negara-negara muslim sering menjadi sasaran atas pelanggaran-pelanggaran HAM, karena banyak yang menilai bahwa hukum atau undang-undang yang mereka terapkan banyak yang membunuh terhadap hak-hak seseorang.

Seperti pemerintah yang diterapkan oleh Taliban yang ada di Afganistan,misal kaum perempuan tidak boleh keluar rumah dan bersekolah tanpa didampingi muhrimnya. Penerapan ini sangat ditentang oleh banyak negara terutama Eropa. Sehingga kemudian pemerintah Taliban dihantam habis oleh Amerika dengan dalih menghilangkan pemerintah yang dictator, sehingga saat ini pemerintah Taliban sudah tinggal cerita.

Dalam penerapannya ternilai sangat dictator dan kaku(dalam presepsi barat), sehingga dunia barat memberikan pencerminan bahwa hukum islam seakan-akan seperti itu. Padahal jika dikaji secara mendalam, maka akan kita temukan bahwa pengertian penerapan konteks tentang HAM antara tiap-tiap negara pasti memiliki perbedaan yang amat tajam, tak terkecuali pemaknaan antara negara barat dengan timur juga demikian. Sebab masing-masing mempunyai perbedaan kultur yang amat tajam.

Orang timur tengah tidak bisa dipaksakan harus hidup layaknya orang hawai, yang selalu terkenal dengan bikini dan tariannya. Demikian juga orang barat tidak bisa dipaksakan hidup dengan selalu berjubah layaknya orang Arab. Di Negara barat yang dikenal pelopor bahkan sering memaksakan HAM terhadap negara-negara lain, bukan berarti bersih dari pelanggaran HAM, bisa kita contohkan seperti Perancis yang baru-baru lalu telah melarang warganya untuk memekai jilbab. Bukankah ini suatu pembunuhan terhadap hak seseorang.

Dan juga bagaimana dengan Amerika yang sampai saat ini juga masih sering memarjinalkan orang-orang kulit hitam dan lain sebagainya. Sehingga suatu kebohongan besar jika suatu negara sudah terbebas dari pelanggaran HAM. Hukum islam sangat menjunjung tinggi terhadap HAM, ini bisa kita pelajari mulai dari hukum pidana, perdata, ataupun yang lainnya. Dan perbedaan dari masing-masing negara dengan penerapan hukum memang disesuaikan dengan faktor kondisi dan situasi negara tersebut.

Islam secara keras melarang total terhadap pembunuhan, pencurian, perampokan, penipuan, pemalsuan, riba, perjudian dan lain-lain. Karena apapun yang diperoleh manusia melalui cara-caraini sebenarnya diperoleh dengan menyebabkan kehilangan dan penderitaan orang lain. Segala macam bisnis yang mengeksploitasi orang lain dan hanya satu pihak saja yang rugi juga dilarang.

Begitu juga dengan monopoli, penimbunan,dan sebagainya: perzinahan dan hubungan seksual yang tidak wajar dilarang keras dalam islam karena semuanya ini tidak hanya merusak moral dan kesehatan dari pelakunya, tetapi juga menyebabkan berbagai penyakit berbahaya (antara lain AIDS), membahayakan kesehatan dan moral bagi masyarakat dan generasi yang akan datang,merusak hubungan manusia satu dengan yang lainnya dan menceraiberaikan susunan dan struktur budaya dan sosial masyarakat.

Islam ingin menghilangkan akar dan cabang kejahatan yang sangat buruk seperti itu. Menarik dicatat dalam kaitan ini, bahwa tidak ada keseragaman penerapan hukum-hukum syariat dinegara-negara muslim.terdapat perbedaan tajam dalam menginterprestasikan hukum-hukum tersebut.

C. DEMOKRASI DALAM DUNIA ISLAM

Hubungan antara Islam dan demokrasi masih menjadi tema perdebatan menarik dan masih belum tuntas. Tuntutan terhadap demokrasi makin marak dalamranah global dewasa ini. Dalam konteks islam, kecenderungan yang disebut Huntington sebagai ”gelombang demokratisasi ke tiga” (the third wave) ini memunculkan pertanyaan sendiri.Sebab, pada saat hampir seluruh dunia ketiga mengalami perkembangan demokrasi, negara-negara Dunia Islam tidak memperlihatkan tanda-tanda kearah itu.

Para sarjana Muslim telah mendiskusikan masalah seputar hubungan antara islam dan demokrasi secara ringkas, terdapat tiga kecenderungan : Pertama, Islam dan demokrasi dipandang sebagai dua system politik yang berbeda. Sebagai system politik, islam tidak bisa di subordinasikan pada demokrasi. Islam dan demokrasi bersifat eksklusif. Bagi para pendukung pendapat ini islam merupakan system politik yang sempurna sehingga bisa dijadikan alternatif terhadap demokrasi.

Kedua, Islam berbeda dari demokrasi apabila yang terakhir didefinisikan secara prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktekkan di barat. Namun demikian, menurut para pendukung pendapat ini, islam dapat dipandang sebagai system politik demokrasi apabila demokrasi di definisikan secara substantif. Yakni demokrasi dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tidak dikenalnya pemikiran atau ide ”warga ikut dalam kebijakan politik”.

Bagi sebagian kalangan, terutama dalam lingkunga akademisi dan media barat, wacana mutakhir tentang islam memunculkan keraguan serius kompatibilitas islam dan demokrasi. Alasan yang kerap dikemukakan adalah kaum revivalis muslim punya kelemahan dalam hal komitmen mereka terhadap pluralisme demokrasi. Akibatnya negara-negara dunia islam selalu gagal dalam upaya membentuk suatu politik demokratis.

Berdasarkan data indeks, kebebasan Freedom House yang dikeluarkan Desember 2001, dapat ditemukan adanya jurang pemisah yang cukup dramatis antara negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim dan negara-negara non muslim. Penelitian bertajuk freedom in the world 2001-2002 itu menyimpulkan, negara non muslim tiga kali lebih demokratis dibandingkan dengan negara muslim.

Dalam survei tahunan freedom house, dapat ditemukan bahwa dalam kecenderungan kebebasan dan demokrasi didunaia islam, terutama dinegara-negara Arab, mengalami devisit. Hanya ada satu negara yang masuk kategori ”bebas”, yaitu Mali di benua Afrika.18 negara masuk rangking ”sebagian bebas” dan 28 negara dianggap ”tidak bebas”. Indonesia termasuk kategori ”sebagian bebas” sebaliknya, didunia non muslim, 85 negara tergolong ”bebas” 40 negara ”sebagian bebas” 20 negara”tidak bebas”.

Kenyataan ini dengan musah menggiring para pengamat melompat pada kesimpulan bahwa islam merupakan faktor yang paling bertanggung jawab atas tidak bekerjanya demokrasi di dunia islam. Sebenarnya, dititik seara doctrinal, tidak ada tesk-tesks keagamaan yang bisa ditafsirkan sebagai justifikasi sikap sewenang-wenangan dan otoritarian semua indikator dari apa yang disebut demokratik dalam masyarakat poliarkis, seperti di yatakan oleh pakar demokrasi Robert Dahl (1989): bukan saja islami, melainkan agama islamilah yang memperkenalkannya secara deskriptif keagamaan.

Al Qur’an menjadikan musyawarah yang melibatkan publik secara kolektif (syura) sebagai kewajiban keagamaan. Meskipun kedaulatan yang mutlak dan tertandingi berada di tangan Allah serta menyerahkan otoritas Negara Islam kepada manusia Dengan tidak boleh menggunakan otritas yang dimilikinya kecuali dibawa rambu-rambu hukum yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, seorang individu bukan berarti tidak mempunyai wewenang sama sekali dalam wilayah hukum, mereka memiliki wewenang yang besar untuk menjalankan kekuasaan dan melakukan perubahan serta menciptakan sebuah hukum berdasarkan tuntutan-tuntutan keadaan consensus publik atau ijma’ sebagai sebuah sumber hukum memberikan komunitas muslim sebuah kedaulatan politik ”dalam kewenangan mereka sendiri”.

Nourouzzaman Shiddiqi telah membuat ringkasan piagam Madinah sebagai berikut.
 1. Masyarakat pendukung Piagam ini adalah masyarakat majemuk, baik ditinjau asal segi keturunan,budaya maupun agama yang dianut tali pengikat persatuan adalah politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama (pasal 17,23, dan 42).
2. Masyarakat pendukung semula terpecah belah dikelompokkan dalam kategori muslim dan non muslim. Tali pengikat sesama muslim adalah persaudaraan seagama (Pasal 15). Diantara mereka harus tertanam rasa solidaritas yang tinggi (pasal 14, 19, dan 21).
3. Negara mengakui dan melindungi kebebasan melakukan ibadat bagi orang-orang non muslim, khususnya Yahudi (Pasal 25-30)
4. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat : wajib saling membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secra buruk (Pasal16). Bahwa orang lemah harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11).
5. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (Pasal 24, 36, 37, 38, dan 44).
6. Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (Pasal 34, 40, dan 46).
7. Hukum adat (tradisi masa lalu) dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap diberlakukan (Pasal 2 dan 100).
8. Hukum harus ditegakkan, siapapun tidak boleh melindungi kajahatan apabila berpihak pada orang yang melakukan kejahatan. Demi tegakknya keadilan dan kebenaran, siapapun pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (Pasal 13, 22, dan 43).
9. Perdamaian adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran (Pasal 45)
10. Hak setiap orang harus dihormati (Pasal 12)
11. Pengakuan terhadap hak milik individu (Pasal 47, 24).

D. HAK ASASI MANUSIA YANG TERKESAN DIPAKSAKAN

Sesudah perang dingin arus gelombang hak asasi manusia semakin melanda seantero dunia, malah kadang-kadang negara-negara barat terkesan ingin melaksanakan penerapan konsep hak asasi manusia menurut pandangan mereka terhadap negara-negara lain, tanpa memperhatikan keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, system, politik, tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi, serta faktor-faktor lain yang dimiliki bangsa yang bersangkutan.

Jadi tidak mungkin konsep hak asasi manusia menurut pandangan barat dipaksakan berlaku bagi negara lain, karena pemaksaan tersebut justru merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia itu sendiri. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, dua pasal dari Universal Declaration of Human Right, yaitu sebagai berikut :
1. Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa seorang laki-laki dan seorang wanita bebas melakukan perkawinan, tanpa dibatasi oleh suku, bangsa, dan agama.
2. Pasal 18 menyebutkan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk dan keluar dari suatu agama. Penerapan kedua pasal ini bagi masyarakat yang beragama Islam tanpa memperhatikan nilai-nilai ajaran Islam yang duanutnya akan bisa menimbulkan masalah, karena menurut keyakinan sebagian umat Islam seorang Muslim dilarang kawin dengan seorang non Muslim , dan perbuatan keluar dari agama Islam adalah murtad dan merupakan dosa besar dan pelakunya halal untuk dibunuh.

Masalah sebenarnya sampai sekarang masih menimbulkan suatu polemik dikalangan umat Islam sendiri.Diantara negara-negara Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam menyikapi kedua pasal tersebut diatas, ada yang menolak seperti Saudi Arabia, tetapi mayoritas negara-negara islam menerimanya, seperti Pakistan, Afganistan, dan lain-lain.oleh karena itu yag penting bagi kita dalam penerapan hak asasi manusia di suatu Negara, harus memperhatikan sepenuhnya situasi dan kondisi Negara yang bersangkutan.

Isu-isu mengenai hak asasi manusia dewasa ini bukan lagi berkisar masalah pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak assi manusia, karena hampir di semua negara, baik dalam konstitusinya, maupun dalam peraturan perundang-undangan, telah diberikan pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, disamping telh adanya beberapa konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hak asasi manusia. Masalahnya sekarang tertuju pada isu-isu penegakan hak asasi manusia.

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Dalam hukum islam, mengandung nilai alasan, maksud, tujuan dan keefektifan hukuman-hukuman tersebut. Hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang pada orang lain tanpa adanya dasar tersebut. Hkuma dalam islam memiliki landasan yang sangat kokoh yaitu Al Quran dan Sunnah Nabi SAW. Dan bukan berdasarkan dugaan-dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil. Ini menunjukkan kepastian hukum juga jelas dalam hukum islam.
2. Dunia Islam memiliki ciri khas dan keunikan sendiri, masing-masing negara muslim memiliki perbedaan dalam penerapan hukum islm, tetap dengan tujuan yang sama yakni penegakan HAM. Negara Islam merujuk pada suatu bentuk pemerintahan dimana seluruh perlakuan dari seluruh aspek usaha manusia dan hukum menjadi subjek hukum Islam yatu Syari’at. Kegagalan negara-negara dunia islam untuk membnetuk suatu politik demokratis.

Ini karena kaum revivalis muslim punya kelemahan dalam komitmen mereka terhadap pluralisme demokrasi. B. SARAN Penulis berharap agar setiap orang tidak beranggapan bahwa ”kesalahan Negara Muslim” dalam penerapan HAM dan Demokrasi adalah kesalahan Islam. Tetapi kesalahan tersebut adalah disebabkan oleh individu atau pemerintahan yang berkuasa dalam menerapkan hukum islam.

Sehingga perlunya masyarakat dunia saat ini untuk benar-benar mengkaji Islam langsung pada sumber ajaranya, dengan cara membaca, berdiskusi atau melakukan penelitian khusus terhadap sumber ajaran islam, bukan pada prilaku individu muslimnya, karena setiap orang atau institusi pastilah bisa salah. Sehingga nantinya tidak akan salah dalam menilai islam.

 DAFTAR PUSTAKA ...............................Al quran dan terjemahnya, CV. Diponegoro, bandung, 2000. Johny Ibrahim, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Putra Bangsa, 2004. Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1999. Masjfuk Zuhi, Masail Fiqhiyyah, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1997. Manoveher paydar, Legitimasi Negara Islam, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003. Muhammad Ryas Rasyid, Makna Pemerintahan, PT. Yarsif Watampoene, Jakrta, 1997. Mun’im A. Sirry, Dilema Islam Demokrasi, PT. Gugus Press, Bekasi, 2002. Ramdlon naming, cita dan citra hak-hak asasi manusia di Indonesia, lembaga kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1983.

Rozali Abdullah dan Syamsir, perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Ghalia Indonesia Jkarta, 2001. Sulaiman bin Al Ast’ats, Sunan Abi Dawud, Jilid II, Dar Al Fikr, 1994 M/1414 H. Topo santoso, hukum Pidana Islam, Asy Syamil Press dan Grafikka, Bandung, 2001. Undang-undang No. 39 tahun 1999, tentang HAM, sinar grafika, jakarta 2000.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: kholil umar  - Kota: Banjarmasin
Tanggal: 13/7/2010
 
Tulisan ini menarik bagi saya, dan seharusnya yang seperti ini lebih disosialisasikan, jika perlu dalam forum resmi ilmiah, agar masyarakat mengerti dan tahu, karena banyak warga islam sendiri yang tidak mengerti dengan kehebatan hukum islam, karena banyaknya pengaruh keilmuan barat yang teradopsi oleh masyarakat kita. lebih-lebih generasi muda kita yg sekolah yg mendapatkan materi dari kurikulum pesanan dunia barat, semoga materi seperti ini bisa diseminarkan agar generasi kita punya pengetahuan yang baik. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mudah-mudahan ada pihak yang dapat memulainya, aamiiin.

2.
Pengirim: kausar salim  - Kota: probolinggo
Tanggal: 17/2/2012
 
setuju banget..karena banyak generasi kita yg sudah terkontaminasi dengan pengetahuan kurikulum barat, tanpa bisa mengkaji secara baik. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Problematika yang melanda umat Islam, mayoritas tercipta karena banyaknya kaum muslimin yang berkiblat kepada tradisi Barat, dengan meninggalkan pemahaman ajaran Islam.

 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam