ISLAM TIDAK MENGAKUI HAM DAN DEMOKRASI ? - (2)
ZUMAN MALAKA, SH,SHI, MH.
TINJAUAN EORITIK
A.HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Istilah hak-hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah drots de I’homme dalam bahasa Prancis yang berarti “hak manusia” , atau dalam bahasa inggrisnya Human Right , yang dalam bahasa belanda disebut menselijke rechten. Kitab suci Al Quran lebih kurang 1400 tahun yang lalu diwahyukan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia melalui Rasul dan utusannya,Nabi Muhammad SAW mengajarkan dalam firman itu : “ tiada paksaan dalam beragama “.
Ini merupakan pencerminan nilai-nilai asasi bagi manusia. Hak asasi manusia ( HAM ) menurut UU No . 39 / 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat manusia seba\\gai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tiknggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Apabila kita memperhatikan di negara kita sendiri, pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak azasi manusia, ternyata telah cukup banyak diberikan , baik yang ditemukan dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Untuk jelasnya dapat kita rinci sebagai berikut :
1. Pancasila Menurut Franz Magnins-Suseno, “ Sebenarnya hak azasi manusia merupakan pengejahwentahan seluruh Pancasila. Masalah hak Azasi manusia dapat dipahami sebagai operasionalisasi Pancasila. “ (15-66)
2. Undang-Undang Dasar 1945, sebagian landasan konstitusional.
3. Ketetapan MPR Comer XVII/ MPR / 1998 tentang hak azasi manusia.
4. Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1998 tentang Hak Azasi Manusia.
5. Undang-Undang Nomer 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia .
6. Peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain sebagai berikut :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
b. Undang-Undang tentang pemilu
c. Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR , DPRD
d. Undang-Undang tentang Kepartaian
e. Undang-Undang tentang Pokok Pers
Disamping itu, Negara kita telah meratifikasi beberapa konvensi Peerserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Azasi Manusia, antara lain sebagai berikut :
1. International Convention on the Elimination of All Forms Racial Discrimination (1965)
2. International Convention on the Suppression and Punishmentof the Crimeof Apartheid (1973)
3. ILO Convention concerning Equal Remuneration for Men and Women Workes for Work of Equal Value (1951)
4. ILO Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Accupation (1958)
5. Convention on the Prevention and Punishment of the rime of Genocide (1948)
6. Convention on the Non- Applicability of statutory Lemitation to War Crimes Againts Humanity (1968)
7. Protocol Amending the slavery Convention (1953)
8. Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Instution and Practices Similar to Slavery (1956)
9. Convention For the Suppression of the Traffic on Persons and of the Exploitation of Others (1950)
10. ILO Convention Concerning Forced Laboer (1030)
11. ILO Convention Concerning the Application of the Principles of the Right to Organize (1949)
12. Convention of the Political Right of Women (1952)
13. Convention of the Elimination Alls Forms Discrimination Against Woment (1979
) 14. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces en the Field (1949)
15. Geneva Convention for the Ameliorationof the Condition of the Wounded and Sick in Shipwreked Members of Armed Forces at Sea (1949)
16. Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War (1949)
17. Geneva Convention Relative to the Protection of Civ lan person in Time of War (194).
(13-76) Pada tahun 1990 telah diratifikasi pula konvensi tentang Hak-Hak anak dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990. tidak sebagaimana lazimnya, konvensi tentang hak-hak anak ini tidak diratifikasi dengan suatu undang-undang, tetapi hanya diretifikasi dengan keppres. Mengingat suatu konvensi yang telah diratifikasi akan berlaku secara umum dan mengikat setiap warga negara, maka ratifikasi setiap konvensi sebaiknya dilakukan dengan suatu undang-undang.
Konvensi-konvensi tersebut diatas diratifikasi sebelum dideklarasikan Rencana Aksi Nasional Hak- hak Azazi Manusia Indonesia 1998-2003, pada 25 juni 1998. Untuk selanjutnya dalam program kegiatan rencana Aksi Nasional Hak- hak Azazi Manusia Indonesia 1998-2003, pada 25 juni 1998, akan diratifikasi secara bertahap beberapa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak Azazi Manusia, yaitu sebagai berikut : Tahun I :
1. Konvensi tentang Hak-hak Ekonomi, Politik, dan Budaya.
2. Konvensi tentang penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam , Tidak Manusiawai, atau Merendahkan.
3. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Tahun II :
1. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genocida.
2. Konvensi Perbudakan. Tahun III : Konvensi Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja migran dan Anggota-anggota Keluarga. Tahun IV : Konvensi Penghentian Perdagangan Manusia san Ekspoitasi porstitusi. TahunV : Konvensi Hak –hak Sipil dan Politik (5-8) Berdasarkan rencana aksi tersebut diatas sampai Semarang telah diratifikasi lagi beberapa konvensi, yaitu sebagai berikut :
1. Konvensi menentang Penyiksaaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan.
2. Konvensi tentang Hak-hak Ekonomi, Politik, dan Budaya.
3. Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasia. Kita Semarang juga telah memiliki Komite Nasional Hak Azasi Manusia ( Komnas Ham) , yaitu suatu badan independen yang bertugas memandang pelaksanaan hak azasi manusia di Indonesia. Semua itu bertujuan untuk kemajuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia Indonesia. Isu-isu mengenai hak azasi manusia yang menonjol akhir-akhir ini, pada umumnya berkaitan dengan :
1. Hak kebebasan berbicara dan mengeluaarkan pendapat.
2. Hak kebebasan beragama.
3. Hak kebebasan dari rasa takut.
4. Hak kebebasan dari kemelaratan. Sedangkan kelompok yang paling rawan dalam persoalan pelanggaran hak azasi manusia, antara lain kelompok wanita, kelompok anak-anak dan kelompok buruh. Kelompok-kelompok ini harus mendapat perhatian yang paling besar, dalam upaya perlindungan terhadap hak azasi manusia .
B. DEMOKRASI
Demokrasi menurut makna katanya berasal dari ‘demos’ yang berarti : pemerintahan. Sehingga bisa disimpulkan, bahwa Demokrasi adalah bentuk pemerintahan negara yang segenap rakyat serta memerintah dengan perantara wakil-wakilnya. Ketika Abraham Lincoln menyampaikan pidatonya yang Sangay terrenal di Gettysburg pada tahun 1863, ia secara sederhana menggambarkan Demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (goverment of the people by the people and for the people ).
Tetapi kalau diteliti lebih mendalam, inti dari demokrasi adala pemerintahan “oleh arakyat” , karena semua pemerintahan, apapun bentuknya pasti berasal dari rakyat, dan karena sebuah pemerintahan otoriter bisa juga berbuat baik untuk kepentingan rakyat ( benevolent authoritarian regime ).
Jadi hanya pemerintahan oleh rakyatlah yang murni mencerminkan demokrasi. Prof. Mr. Muhammad Yamin menafsirkan demokrasi itu sebagai berikut : “ dasar pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang didalamnya kekuasaan memerintah atau mengatur dipegang secara sah, melainkan oleh segala anggota masyarakat “. Dua model demokrasi dalam system pemerintahan yakni :
1) Demokrasi langsung : mrupakan bentuk pemerintahan yang dalam membentuk keputusan-keputusan politik, dilakukan seluruh warga masyarakat berdasarkan suara terbanyak.
2) Demokrasi tidak langsung : Bentuk Pemerintahan yang dalam membuat keputusan politik yang diwakilkan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Ibn Taimiyah yang memiliki nama lengkap Taqi Al Din Abu Abbas Ibnu Abdul Halim Ibnu Abdul Halim Ibnu Slaam Ibn Taimiyyah, seorang pemiir besar Islam tentang pemerintahan.
Lebih cenderung lepada bentuk pemerintahandemokratis. Pendapatnya ini dapat disimpulkan dari penolakan Ibn taimiyyah terhadap sistem califa dan juga terhadap model syi’ah . hanya saja demokrasi yang dikehendaki ib taimiyyah hádala demokrasi konstitusional yang berlandaskan nilai-nilai syari’at.
Model yang dipilih Ibn Taimiyyah ini, karena dengan bentuk seperti itu negara dapat merealisasikan nilai-nilai keadilan. Sebab tujuan para rasul dan nabi hádala menciptakan keadialn dan lemaslahatan bagi uamt manusia. Setiap pribadi dalam wilayah kekuasaan Islam memiliki kebebasan berfikir/berpendapat, kebebsasan bertindak disegala bidang sepanjang tidak bertentangan dengan undag-undang yang berlaku . setiap orang bebas menentukan sikap dan mengmukakan pendapartnya terhadap siapapun. Setiap orang bebeas membantah pendapat siapa[un tanpa rasa takut dengan argumentasi ilmiah dan Akhlak alkarimah.
Lebih lagi terhadap keyakinan agama, merupakan hak asasi manudia seti[a pribadi. Harus menjadi prioritas dalam pemerintahan Islam untu menjamin kebebasans etiap pribadi tanpa dapat diganggu gugat kecuali dalam kebejatan moral yang memang bertentangan/tidak sesuai dengan sluruh keyakinan beragama. Dalam pemerintahan Islam. Tidak ada keyakinan agama seseorang dapat dipaksa atau dicegah.