URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 8 users
Total Hari Ini: 67 users
Total Pengunjung: 6224169 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
DALAM URUSAN RUMAH TANGGA, JADIKAN ISTRI SEBAGAI TEMAN DISKUSI 
Penulis: Pejuang Islam [ 21/2/2018 ]
 


DALAM URUSAN RUMAH TANGGA,

JADIKAN  ISTRI SEBAGAI TEMAN DISKUSI




Luthfi Bashori


Saat seorang suami berada dalam lingkungan rumah tangga dan mengurus hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan keluarganya, maka teman diskusi yang paling tepat adalah istrinya. Sedangkan saat suami bertugas mengemban tanggung jawab sebagai salah satu warga masyarakat, maka teman diskusi yang paling baik adalah mitra pergaulannya yang terpercaya bagi dirinya.

Sy. Abdullah bin Abbas RA menceritakan, setahun lamanya ia hendak bertanya kepada Sy. Umar bin Khathathab tentang makna sebuah ayat, tetapi ia tak berani menanyakan karena hormatnya kepada Sy. Umar. Ketika musim haji tiba, ia pergi berhaji bersama Sy. Umar.

Dalam kesempatan pulang dari berhaji, ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang wanita di antara para istri Rasulullah SAW yang diajak bekerja sama menentukan kebikjasanaan beliau?”

“Mereka adalah St. Hafshah dan St. Aisyah,” jawab Sy. Umar.

“Demi Allah, aku bermaksud menanyakan masalah ini kepada engkau sejak setahun yang lalu, tetapi aku tidak berani karena menghormati kehebatan engkau.”

“Jangan begitu,” sergah Sy. Umar. “Apa yang engkau duga aku mengetahuinya,tanyakan langsung kepadaku. Jika aku memang mengetahuinya, akan kujelaskan padamu.”
Selanjutnya, Sy. Umar bercerita kepada Sy. Abdullah bin Abbas. Katanya pada masa jahiliah (kebodohan), para shahabat tidak pernah mengikutsertakan wanita dalam suatu urusan, sampai tiba waktunya Allah menentukan kedudukan dan peranan mereka, seperti yang tersebut di dalam firman-Nya.

Pada suatu waktu ketika Umar sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba istrinya berkata, “Bagaimana kalau engkau buat begini dan begitu?”

Umar menjawab, “Mana engkau tahu. Engkau tidak usah turut campur dan jangan susah-susah memikirkan urusanku.”

“Engkau ini sangat aneh, wahai anak Khaththab,” komentar istri Umar.

“Engkau tidak mau bertukar pikiran denganku. Padahal putrimu, Hafshah, selalu bertukar pikiran dengan Rasulullah SAW sampai pernah sehari semalam dia bermarahan.”

Mendengar hal itu, Umar segera mengenakan pakainnya. Lalu pergi ke rumah Hafshah. Sesampai di rumah Hafshah, ia bertanya, “Wahai putriku, benarkah engkau suka membantah Rasulullah SAW sampai sehari semalam bermarahan?”

“Demi Allah, kami hanya bertukar pikiran,” jawab St. Hafshah RA. (HR. Muslim).

Mengajak diskusi istri itu sama halnya dengan menghormati serta meletakkan kedudukannya sebagai wanita dewasa, maka secara otomatis sang istri mempunyai tanggung jawab moral untuk ikut menjaga kemashalatan rumah tangganya.

Misalnya seorang suami memiliki anak yanng sudah waktunya masuk sekolah, maka hendaklah ia berdiskusi dengan istrinya, kira-kira di sekolah mana yang paling tepat untuk mendaftarkan sang anak tersebut. Demikian juga dengan permasalahan rumah tangga yang lainnya.

St. Aisyah RA mengemukakan bahwa paa suatu malam istri Nabi SAW yang bernama St. Saudah binti Zam’ah keluar rumah. Lalu ia terlihat oleh Sy. Umar yang mengenalinya, maka Sy. Umar berkata, “Sungguh engkau wahai Saudah, demi Allah, tidak samar bagi kami.”
Maka St. Saudah menemui Nabi SAW yang ketika itu berada di rumah St. Aisyah sedang makan malam. Ia menceritakan hal tersebut kepada beliau SAW (benarkah seorang istri tidak boleh keluar rumah?).

Beliau SAW tidak langsung menjawabnya. Baru setelah turun wahyu dari Allah SWT, beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar (rumah) untuk keperluan kalian (yang sekira tidak menimbulkan fitnah dunia dan akhirat).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sekalipun istri itu diijinkan keluar rumah untuk menunaikan keperluannya, yang tanpa harus ditemani suami atau mahram lainnya, namun tetap ada batasan-batasan yang harus selalu dijaga, sebagaimana dikatakan oleh Sy. Jabir RA, ia mengutarakan bahwa Nabi Mubammad SAW bersabda, “Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak diterima oleh Alah SWT, dan kebaikan mereka tidak sampai ke langit. Mereka adalah budak yang lari dari tuannya, istri yang menyebabkan kemarahan suami, dan orang-orang yang mabuk hingga ia sadar.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Ijin dari suami serta mengetahui batasan dimana sang suami itu memberi ijin, sangatlah penting bahkan dapat menentukan kebaikan atau kerugian nasib di akhirat nanti bagi setiap istri. Karena itu pula Nabi Muhammad SAW dengan tegas menyatakan, “Wanita tidak boleh membelanjakan sesuatu dari rumah suaminya, kecuali dengan izin (suaminya).”

Lantas ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah termasuk makanan?”
Rasulullah SAW menjawab, “(Makanan) itu adalah kekayaan kami yang paling utama.” (HR. At-Tirmidzi).

Jadi untuk melakukan sesuatu di luar kewajiban yang rutin, maka hendaklah sang istri selalu mengajak suaminya untuk berdiskusi dan sekaligus meminta ijin, terutama jika akan mengambil seuatu kebijakan terkait urusan rumah tangga.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam