URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 8 users
Total Hari Ini: 65 users
Total Pengunjung: 6224167 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
NIKAH MUT’AH, PERNAH DIHALALKAN LANTAS DIHARAMKAN UNTUK SETERUSNYA 
Penulis: Pejuang Islam [ 17/2/2018 ]
 
NIKAH MUT’AH, PERNAH DIHALALKAN LANTAS DIHARAMKAN UNTUK SETERUSNYA

Luthfi Bashori

Sy. Abdulah RA mengisahkan, ia dan para shahabat pergi berperang besama Rasulullah SAW tanpa disertai wanita (istri mereka). Lalu para shahabat bertanya kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, bolehkan kami melakukan pengebirian?

Rasulullah SAW melarang mereka melakukan pengebirian. Sebaliknya,  beliau SAW membolehkan para shahabat menikahi wanita untuk masa tertentu dengan mahar (maskawin) sehelai baju.

Selanjutnya Sy. Abdullah membaca ayat 87 dari surat Al-Ma’idah, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang telah dihalalkan Allah bagimu. Dan jangan pula kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (HR. Muslim).

Nikah mutah, nikah kontrak   (Ù†ÙƒŰ§Ű­ Ű§Ù„Ù…ŰȘŰčŰ©).  Al-mut`ah secara harfiah artinya pernikahan kesenangan, atau lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak, yaitu pernikahan dalam tempo masa tertentu. Menurut ajaran Syiah, nikah mutah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah ditetapkan, dan setelah habis masa perjanjiannya itu, maka ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku lagi (terceraikan secara otomatis).

Contohnya, seorang lelaki melakukan perkawinan dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan." Kemudian, wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.

Sy. Jabir RA dan St. Salamah RA mengungkapkan bahwa ketika keduanya berada dalam barisan tentara (dalam masa perang), Nabi Muhammad SAW mendatangi mereka. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian untuk bersenang-senang, maka nikah mutahlah kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Di awal masa perkembangan agama Islam, Nabi Muhammad SAW pernah mengijinkan pernikahan mut’ah, yaitu di saat dalam keadaan peperangan yang bersifat darurat, karena para pasukan itu tidak mungkin mengajak istri, sedangkan sebagian dari mereka tersebut masih banyak yang baru masuk Islam.

St. Salamah RA mengatakan, “Pada masa Perang Authas Rasulullah SAW telah memberikan kemurahan kali ketiganya untuk nikah mut’ah. Setelah itu, beliau SAW melarangnya.” (HR. Muslim).

Setelah keimanan para shahabat Nabi, termasuk yang bergabung dalam barisan pasukan perang semakin kuat, maka Nabi Muhammad SAW mengharamkan pernikahan mut’ah bagi umat Islam.

Sy. Sabrah RA menceritakan bahwa ia melihat Nabi Muhammad SAW berdiri di antara rukun (yang ada Hajar Aswadnya) dan pintu (Ka’bah) ketika sedang bersabda dalam khutbahnya, “Wahai manusia, sesungguhnya dulu aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah dengan sebagian kaum wanita, dan sungguh kini Allah telah mengharamkannya hingga hari Qiamat. Karena itu, barang siapa yang masih ada di sisinya seseorang dari mereka (istri mut’ah), maka hendaklah ia melepaskannya untuk menempuh jalan (hidup)-nya sendiri. Dan, janganlah kalian mengambil apa-apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa’i).

Pengharaman pernikahan mut’ah ini sangat tepat, terlebih di zaman sekarang, karena praktek di lapangan sebagaimana yang diajarkan oleh kalangan Syiah, maka nikah mut’ah ini lebih identik dengan perzinaan.

Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31).

Padahal pengharaman nikan mut’ah itu semakin jelas saat menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang diberitakan pleh Sy. Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani RA, ia mendengar dari bapaknya, bahwa bapaknya pernah pergi bersama-sama Rasulullah SAW dalam perperangan menaklukkan Makkah (Fathu Makkah). Saat itu Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku pernah memperbolehkan nikah mut’ah. Sesungguhnya mulai saat ini, Allah telah mengharamkannya sampai hari Qiamat nanti. Maka barang siapa yang masih punya istri mut’ah, ceraikanlah ia, dan jangan kalian ambil kembali apa-apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (HR. Muslim).

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam