NIKAH MUTâAH, PERNAH DIHALALKAN LANTAS DIHARAMKAN UNTUK SETERUSNYA
Luthfi Bashori
Sy. Abdulah RA mengisahkan, ia dan para shahabat pergi berperang besama Rasulullah SAW tanpa disertai wanita (istri mereka). Lalu para shahabat bertanya kepada Rasulullah SAW. âWahai Rasulullah, bolehkan kami melakukan pengebirian?
Rasulullah SAW melarang mereka melakukan pengebirian. Sebaliknya, beliau SAW membolehkan para shahabat menikahi wanita untuk masa tertentu dengan mahar (maskawin) sehelai baju.
Selanjutnya Sy. Abdullah membaca ayat 87 dari surat Al-Maâidah, âWahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang telah dihalalkan Allah bagimu. Dan jangan pula kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.â (HR. Muslim).
Nikah mutah, nikah kontrak (ÙÙŰ§Ű Ű§ÙÙ
ŰȘŰčŰ©). Al-mut`ah secara harfiah artinya pernikahan kesenangan, atau lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak, yaitu pernikahan dalam tempo masa tertentu. Menurut ajaran Syiah, nikah mutah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah ditetapkan, dan setelah habis masa perjanjiannya itu, maka ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku lagi (terceraikan secara otomatis).
Contohnya, seorang lelaki melakukan perkawinan dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan." Kemudian, wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.
Sy. Jabir RA dan St. Salamah RA mengungkapkan bahwa ketika keduanya berada dalam barisan tentara (dalam masa perang), Nabi Muhammad SAW mendatangi mereka. Lalu beliau bersabda, âSesungguhnya telah diizinkan bagi kalian untuk bersenang-senang, maka nikah mutahlah kalian.â (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Di awal masa perkembangan agama Islam, Nabi Muhammad SAW pernah mengijinkan pernikahan mutâah, yaitu di saat dalam keadaan peperangan yang bersifat darurat, karena para pasukan itu tidak mungkin mengajak istri, sedangkan sebagian dari mereka tersebut masih banyak yang baru masuk Islam.
St. Salamah RA mengatakan, âPada masa Perang Authas Rasulullah SAW telah memberikan kemurahan kali ketiganya untuk nikah mutâah. Setelah itu, beliau SAW melarangnya.â (HR. Muslim).
Setelah keimanan para shahabat Nabi, termasuk yang bergabung dalam barisan pasukan perang semakin kuat, maka Nabi Muhammad SAW mengharamkan pernikahan mutâah bagi umat Islam.
Sy. Sabrah RA menceritakan bahwa ia melihat Nabi Muhammad SAW berdiri di antara rukun (yang ada Hajar Aswadnya) dan pintu (Kaâbah) ketika sedang bersabda dalam khutbahnya, âWahai manusia, sesungguhnya dulu aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mutâah dengan sebagian kaum wanita, dan sungguh kini Allah telah mengharamkannya hingga hari Qiamat. Karena itu, barang siapa yang masih ada di sisinya seseorang dari mereka (istri mutâah), maka hendaklah ia melepaskannya untuk menempuh jalan (hidup)-nya sendiri. Dan, janganlah kalian mengambil apa-apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.â (HR. Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasaâi).
Pengharaman pernikahan mutâah ini sangat tepat, terlebih di zaman sekarang, karena praktek di lapangan sebagaimana yang diajarkan oleh kalangan Syiah, maka nikah mutâah ini lebih identik dengan perzinaan.
Di dalam Al Furuâ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Jaâfar Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: âApa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?â Maka beliau menjawab: âEngkau katakan: Aku menikahimu secara mutâah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.â Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.â Apabila wanita tersebut mengatakan: âYaâ berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mutâah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtimaâi hal. 28-29 dan 31).
Padahal pengharaman nikan mutâah itu semakin jelas saat menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang diberitakan pleh Sy. Rabiâ bin Sabrah Al-Juhani RA, ia mendengar dari bapaknya, bahwa bapaknya pernah pergi bersama-sama Rasulullah SAW dalam perperangan menaklukkan Makkah (Fathu Makkah). Saat itu Nabi Muhammad SAW bersabda, âAku pernah memperbolehkan nikah mutâah. Sesungguhnya mulai saat ini, Allah telah mengharamkannya sampai hari Qiamat nanti. Maka barang siapa yang masih punya istri mutâah, ceraikanlah ia, dan jangan kalian ambil kembali apa-apa yang telah kalian berikan kepadanya.â (HR. Muslim).