ISLAM DAN PERSOALAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR
(Edisi – 5)
Yusuf Hanafi
Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Islam
Seperti dikemukakan di awal tulisan ini, masalah perkawinan anak di bawah umur di Indonesia mendadak menghangat akhir-akhir ini, khususnya setelah heboh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeikh Puji dengan Lutviana Ulfa, seorang gadis yang ditengarai masih berusia di bawah umur (12 tahun dan versi lain 15 tahun). Padahal kasus pernikahan di bawah umur bukanlah persoalan baru di Indonesia. Praktik ini sudah berlangsung lama dengan begitu banyak pelaku—tidak hanya di kota besar namun juga di pedalaman. Penyebabnya pun bervariasi, mulai dari faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, dangkalnya pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu hingga hamil terlebih dahulu (yang populer dengan istilah married by accident), dan lain-lain.
Selain menimbulkan masalah sosial, psikologis, dan kesehatan, perkawinan di bawah umur dapat menimbulkan persoalan hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa, misalnya, membuka ruang kontroversi antara hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional, karena masing-masing memiliki sudut pandang yuridis yang berbeda-beda. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain. Kedua, tantangan atas legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.
Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2). Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orang tua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991, memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.” Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.
Hukum Islam, dalam hal ini al-Qur`an dan hadis, tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Begitu pula halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tidak tertulis yang tidak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya. Dan, ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.
Instrumen Hak Asasi Manusia—apakah yang bersifat internasional (International Human Rights Law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI—tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga, setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.
Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak—sebagai instrumen HAM—juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta-merta dapat ditindak. Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama 8 tahun, dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama 12 tahun.
Pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa seperti menampar wajah pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari ribuan kasus lainnya yang mengendap dan membeku di bawah permukaan laksana gunung es. Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia nyaris seperti hukum yang “tidak bergigi”, karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.
Memang, urusan perkawinan adalah urusan keperdataan. Urusan pribadi warga negara. Hal mana membuat banyak pihak mempertanyakan, kenapa masalah perkawinan harus diatur oleh negara, bukankah perkawinan berada dalam ranah privat? Mengapa pernikahan Syekh Puji dan Ulfa harus dipersoalkan, bukankah kedua mempelai dan keluarganya tak keberatan?
Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan. Namun peristiwa tersebut adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan hak-hak kewajiban para pihak. Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah mencoba mengatur dengan mengunifikasi hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum adat diakomodasi dalam UU tersebut, di samping hukum perdata Barat. Sungguh ini bukan perkara yang mudah, karena selamanya unifikasi di wilayah hukum pribadi dan hukum keluarga adalah sesuatu yang sulit. Indonesia adalah negara yang kaya dengan pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya.
Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara, maka akan berpotensi lahirnya ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dan, akhirnya akan merembet pada keluarga luas, lingkungan, masyarakat, hingga akhirnya menjadi problem negara juga. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 lahir antara lain karena maraknya fenomena kekerasan dalam perkawinan.
Namun apabila negara mengatur terlalu banyak, dapat juga berpotensi pemaksaan hukum dan sentralisasi hukum negara. Perlu ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, mana masalah perkawinanan yang perlu diatur hukum negara dan mana yang tidak agar tidak mencederai hak-hak sipil warga negara.
Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan keadilan? Kemudian, mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengharmonisasi perbedaan klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?
Merevisi UU No. 1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu ambisius. Namun juga bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum perkawinan.