Aktivis Suriah Desak Pencabutan Kewarganegaraan Inggris Istri Bashar Al-Assad
Warga Suriah menuntut kewarganegaraan Inggris Asma al-Assad, istri Presiden Suriah Bashar Al-Assad, dicabut setelah Shamima Begum, seorang remaja Inggris yang bergabung dengan kelompok Islamic State (IS), dicabut kewarganegaraannya pada Selasa lalu.
Banyak yang yakin satu-satunya perbedaan antara Assad dan para pemimpin IS adalah bahwa ia mengenakan setelan dan dasi ala Barat.
“Jika pemerintah Inggris memiliki undang-undang untuk mencabut kewarganegaraan wanita karena menikah dengan teroris maka Asma tidak boleh menjadi pengecualian,” kata Abdulaziz al-Mashi dari Syria Solidarity Campaign kepada The New Arab.
“Dia tidak hanya menikah dengan teroris paling brutal yang pernah ada di Suriah, tapi juga dengan seorang pembunuh rakyat dan penjahat perang. Asma al-Assad bukan hanya seorang istri biasa di Suriah, tapi juga sebuah mesin propaganda yang telah secara terbuka mendukung dan membela tindakan suaminya.”
Asma Assad, yang memiliki nama keluarga Al-Akhras, masih mempertahankan kewarganegaraan penuh dari negara tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Bersama Bashar al-Assad, wartawan Suriah Zouhir al-Shimale mengatakan, Asma “menjarah sumber daya negara, menghancurkan negara itu dan membuat jutaan orang menjadi pengungsi”.
“(Mencabut) kewarganegaraan Asma akan menjadi ide bagus, yang akan mempermalukan kepresidenan Assad, dan akan… membekukan kekayaan keluarga yang disembunyikan di rekening-rekening bank Inggris, yang harus dikirim kembali kepada rakyat Suriah,” jelasnya.
Akan tetapi, Shimale mengatakan bahwa Assad seharusnya tidak dibandingkan dengan Begum, yang melarikan diri dari rumah untuk bergabung dengan kelompok IS pada usia 15, dan kemungkinan besar menjadi korban online grooming dan radikalisasi. Grooming adalah tindakan yang sengaja dilakukan untuk berteman dan membangun hubungan emosional dengan seorang anak, yang tujuan akhirnya adalah melakukan aktivitas seksual dengan anak.
Sebagian besar warga Suriah yang menentang rezim yakin bahwa Asma al-Assad memiliki setidaknya beberapa tanggung jawab atas kejahatan rezim. Meskipun dia mungkin tidak secara pribadi mengatur tindakan-tindakan keji, banyak yang percaya dia memilih untuk tetap di Suriah dan mendukung rezim. Dengan demikian, ia memikul beberapa tanggung jawab atas tindakan suami dan kerabatnya.
“Anda tidak bisa menutup mata dari berita,” kata Omar, seorang Muhajir Suriah di Belanda. “Saya yakin dia punya cara komunikasi dan melihat bagaimana suami dan saudara-saudaranya, serta sepupu mereka mengendalikan daerah tersebut.”
Meskipun Inggris meningkatkan pencabutan kewarganegaraan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota kelompok IS, tidak mungkin London akan mencabut paspor Inggris Asma al-Assad. Inggris memberikan izin tanpa batas waktu untuk tetap tinggal kepada salah satu bibi Bashar al-Assad, demikian berita pada Januari.
Warga Suriah yang menentang rezim setuju bahwa Asma al-Assad bertanggung jawab atas kejahatan rezim, tetapi tidak sependapat atas pengadilan yang diusulkan.
Sementara warga Suriah seperti Mashi meminta kewarganegaraan Assad dan ayah Asma, Fawaz Akhras, yang ia gambarkan sebagai “mesin propaganda lain bagi Assad”, dicabut dan kemudian diadili di pengadilan Suriah. Warga lain sebagaimana Shimale yakin bahwa Assad harus diadili di pengadilan internasional. Akan tetapi, yang lainnya berpikir dia harus diadili di Inggris.
“Asma al-Assad melambangkan kemunafikan sikap Inggris terhadap terorisme dan kejahatan perang. Asma terus terlibat dalam menutupi kejahatan rezim Assad dan terus mendapat manfaat dari kewarganegaraan Inggris. Jika pemerintah Inggris ingin membawa ke pengadilan maka saya akan menyambut baik itu, dan saya lebih suka mendukung itu daripada membiarkannya kehilangan kewarganegaraannya,” kata Osamah, seorang lulusan Inggris-Suriah.
Pada saat kekuasaan internasional mengklaim perang Suriah akan segera berakhir karena rezim Assad dan pendukungnya, Rusia, merebut kembali beberapa wilayah yang dikuasai oposisi, prospek penuntutan terhadap keluarga Assad –baik di Suriah, Inggris atau Den Haag– terasa sangat sulit terwujud.
Sekitar 500.000 orang tewas selama delapan tahun terakhir perang di Suriah – sebagian besar dibunuh oleh pasukan rezim yang diduga melakukan ratusan serangan kimia, penyiksaan dan kejahatan perang lainnya. Banyak warga Suriah menginginkan keadilan, meskipun ada banyak rintangan.
“Sangat penting bahwa semua orang yang melakukan kejahatan perang di Suriah bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan,” kata Ruairi Nolan dari Syria Campaign.
“Kami berharap pada akhirnya pertanggungjawaban ini akan mencapai tingkat teratas dari rezim itu sendiri. Perdamaian di Suriah tergantung pada pertanggungjawaban ini,” pungkasnya.*
http://sahabatalaqsha.com