PROBLEM KESATUAN AGAMA-AGAMA
KRITIK TERHADAP WACANA KETUHANAN ABRAHAMIC FAITHS*
Kholili Hasib
A. Pendahuluan
Dalam wacana pluralisme agama istilah Abrahamic Faiths (agama-agama Ibrahim a.s) menunjuk pada tiga agama besar yaitu, Yahudi, Kristen dan Islam. Term Abrahamic Faiths ini digunakan oleh kaum pluralis sebagai upaya untuk mencari titik temu antar agama simitik. Nabi Ibrahim dipandang sebagai bapak monoteisme yang menjadi sumber asal-usul ketiga agama. Jerald F. Dirks, menggambarkan, bahwa agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah bagaikan sebuah pohon. Tiap-tiap agama mengaku sebagai batang utama pohon. Sedang dua agama lainnya adalah cabang dari batang utama. Oleh karena masih dalam satu pohon, maka menurut Jerald F. Dirks, Islam, Kristen, dan Yahudi cenderung memiliki lebih banyak unsur pemersatu daripada titik seteru .
Beberapa tokoh pluralis, seperti Hossein Nasr , Frithjof Schoun, Komaruddin Hidayat mewacanakan teori ini. Mengenai titik temu agama-agama Abrahamic faiths, Schoun mengatakan bahwa agama-agama samawi hanya berbeda dalam aspek-aspek eksternal, namun mempunyai unsur batin yang sama . Mereka berkesimpulan, substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden, yang tidak dibatasi oleh kelompok agama tertentu. Dari asumsi ini, mereka berkesimpulan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada dimensi Kebenaran (Tuhan yang sama) .
Sebagai konsekuensi dari penggunaan istilah tersebut, maka Yahudi dan Kristen oleh kaum pluralis dimasukkan ke dalam millah Ibrahim. Pemahaman ini kemudian berlanjut, bahwa Islam tidak hanya mengakui tapi juga diperintah mengikuti syariat Nabi Ibrahim yang hanif . Maka, wajar bila beberapa syari\`at para nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW masih dipertahankan oleh syari\`at Islam . Sejumlah syariat, menurut kaum pluralis, memiliki kesamaan. Hal itu menandakan bahwa ketiga agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah memang satu rumpun.
Dengan asumsti tersebut, kaum pluralis berpandangan bahwa syari\`at yang turun kepada Nabi Musa tidak mengikat kepada umat Nabi Isa, syari\`at Nabi Isa tidak mengikat umat Islam. Sehingga, syari\`at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW juga tidak mengikat umat Yahudi dan Kristiani . Ketiga-tiganya adalah bagian dari Abrahamic Faiths (millah Ibrahim) yang oleh Allah telah diberi porsi masing-masing. Sehingga truth claim (mengklaim benar) antara ketiga agama tersebut adalah tidak dibenarkan, sebab perbedaan Islam dan agama \`semitik\` lainnya seperti perbedaan fikih di antara madzhab dalam Islam .
Tulisan ini mengkaji dua persoalan utama: Pertama, apakah konsept ketuhanan ketiga agama tersebut sama dan apakah term Abrahamic faiths dapat dipadankan dengan millah Ibrahim?
Ruang Lingkup Abrahamic Faiths
Asumsi yang berkembang di kalangan kaum pluralis menyatakan bahwa secara historis dan ideologis, agama Yahudi, Kristen dan Islam termasuk dalam lingkup Abrahamic faiths. Karena ketiga-tiganya menyembah Tuhan Nabi Ibrahim, meski dengan penyebutan yang berbeda-beda. Pluralisme Agama memandang, Nabi Ibrahim as (Abraham) adalah titik sentral ideologis agama-agama semit,
Keterkaitan historis oleh kaum pluralis dijadikan pintu masuk wacana kesamaan agama-agama semit. Kaum pluralis memandang, bentuk konsepsi tiga agama semit memang saling bertentangan. Tetapi dari segi metafisika, sebenarnya saling terkait satu sama lain. Hal ini terbukti dari segi kesejarahan, tiga agama besar yang termasuk Abrahamic religions (agama-agama Ibrahim) berujung pada satu titik yang sama .
Keterkaitan genealogi sejarah ini tentunya tidak bisa menjadi bukti kuat bahwa mereka adalah satu rumpun yang bisa bertemu pada satu titik. Sebab, dimensi metafisik dan konsep ketuhanan yang diklaim sama, hakikatnya berbeda. Jalan mengkompromikan tiga agama semit yang dalam sejarah sering diwarnai konflik tidak semestinya memalalui kompromi teologis. Karena hal itu tidak mungkin dikompromikan, masing-masing agama itu pun punya klaim teoloigs yang berbeda-beda yang masing-masing mengklaim sebagai pewaris utama tradisi Ibrahim as.
Jika, secara ideologis berbeda, maka secara otomatis merereka Yahudi, Kristen dan Islam tidak mungkin dimasukkan dalam satu payung millah Ibrahim. Dan tentunya Yahudi dan Kristen bukan termasuk agama samawi, sebagaimana diakui oleh Huston Smith dan Prof. As-Syarqawi keduanya termasuk agama budaya .
Kompromi teologis tidak mungkin dilakukan, oleh karena itu mesti harus ditinggalkan. Cukup menarik penadapat Muhammad Legenhausen mengenai upaya merukunkan agama-agama itu tanpa jalur kompromi teologis. Menurut Legenhausen toleransi itu terwujud justru ketika menghargai keyakinan orang lain yang dianggap salah, kunci kompromi itu bukan membenarkan agama lain akan tetapi kemauan untuk menerima ketidaksepakatan. Ia mengatakan:
True religious tolerance will only be achieved when men learn to respect the religious beliefs of those they consider to be mistaken. The key to tolerance is not the remove or relativisation of disagreement, but the willingness to accept genuine disagreement .
Maka, term The Three Abrahamic Faiths tidak tepat dipadankan dengan millah Ibrahim. Millah Ibrahim dalam al-Quran merujuk kepada din al-fitrah yang esensinya mengesakan Allah, tidak menyekutukan-Nya, menjauhi thaghut dan mengimani nabi-nabi sebelumnya . Din al-fitrah ini kemudian disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW dengan nama al-Islam. Sehingga, penyetaraan agama-agama semitik Yahudi, Kristen dan Islam dalam satu ruang juga tidak tepat. Oleh karena itu menurut Dr. Adian Husini dalam buku Membendung Arus Liberalisme di Indonesia istilah the Abrahamic Faiths dalam bentuk jamak yang memasukkan agama Yahudi dan Kristen sebagai Millah Ibrahim, adalah keliru, karena seolah-oleh ada banyak agama Ibrahim dan menyarankan agar istilah Abrahamic Faiths tidak digunakan . Apalagi term tersebut digunakan oleh kaum pluralis sebagai salah satu pendekatan untuk menyamakan agama-agama. Sehingga ruang lingkup Abrahamic Faiths dengan pemahama pluralis seperti tersebut di atas juga tidak benar, karena secara ideologis ketiganya sama sekali berbeda. Kata millah juga tidak tepat diterjemahkan dengan fiths, al-Syahrastani mengatakan arti millah dapat dipadankan dengan diin (agama), atau lebih lanjut dikatakan diin ghoiru kamil. Kata millah Ibrahim selalu menunjuk pada din al-fitrah yang esensisnya mengesakan Allah.
Dengan demikian, klaim bahwa agama Yahudi dan Kristen bersumber dari Nabi Ibrahim adalah tidak betul, sebab secara ideologis agama mereka terputus dengan ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa. Begitu pula Islam tidak bisa disejajarkan dengan Yahudi-Kristen sebagai satu kelompok agama abrahamik. Dari sisi historis-fenomenologis bisa saja mereka teramasuk sama-sama Abrahamic faiths. Akan tetapi dari sisi teologis sangat sulit untuk disejajarkan dalam satu payung. Jika demikian maka, satu-satunya agama samawi, dan pewaris millah Ibrahim adalah Islam karena agama inilah yang dibawa nabi-nabi terdahulu . Sehingga penggunaan istilah abrahamic faiths tidak lah tepat jika ditujukan kepada agama Yahudi, Kristen dan Islam, karena agama Nabi Ibrahim itu cuma satu, yaitu agama tauhid atau Islam, sedangkan agama Yahudi dan Kristen adalah agama yang berkembang mengikuti budaya dan tidak dapat ditelusuri otentisitasnya dari Nabi Ibrahim.
E. Problem Ketuhanan Yahudi dan Kristen
Sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam wacana Abrahamic Faiths bahwa perbedaan antara tiga agama semitik adalah perbedaan pada dimensi dogma dan ritual sedangkan pada level metafisik/ketuhanan mereka bertemu pada satu titik. Berikut ini akan dibahas bahwa, ternyata perbedaan itu tidak hanya pada dimensi dogma dan ritual tetapi dimensi metafisik dan konsep ketuhanan, antar tiga agama semitik saling berbeda.
Dalam sejarahnya, orang-orang Yahudi tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya. Mereka juga tidak konstan menyembah Tuhan Yang Esa sebagaimana diajarkan oleh para nabi. Seorang pakar sejarah agama, J. Shotwell mengakatakan bahwa Yahudi dalam beragama sangat dipengaruhi tradisi mistik kuno .
Pendapat J. Shotwell tersebut dipertegas oleh ahli sejarah lainnya. Ketika Nabi Musa as datang mendakwahkan tauhid kepada Bani Israil, menurut Will Durant, sorang ahli sejarah Barat, kaum Bani Israil sebagian tidak meninggalkan sama sekali penyembahan kepada kambing, dan lembu. Hewan-hewan itu menjadi lambang Tuhan mereka . Sehingga sejak awal memang kaum Yahudi memiliki tradisi paganisme yang sulit dihilangkan bahkan sejak Nabi Musa hingga Nabi Isa diangkat menjadi Rasul. Maka tidaklah heran ketika Nabi Musa meninggalkan kaumnya beberapa saat untuk pergi ke gunung, untuk menerima wahyu dari Allah, kaumnya menyembah patung sapi yang terbuat dari emas yang dibuat oleh Samiri . Padahal mereka ditinggal Nabi Musa untuk beberapa hari saja dan Nabi Musa telah memasrahkan urusan dakwahnya kepada Nabi Harun .
Kepercayaan yang kuat terhadap mistisisme di kalangan kaum Yahudi ini, juga ikut menyuburkan budaya sihir pada zaman itu. Banyak lahir tukang sihir ketika Nabi Musa as dingakat menjadi Rasul. Bahkan, Will Durant, mengisahkan ketika Nabi Musa diberi mu\`jizat mengubah tongkat menjadi ular, orang-orang Yahudi langsung beranggapan bahwa Nabi Musa dan Nabi Harun adalah tokoh penyihir. Sejak itulah tersebar ilmu sihir di kalangan Bani Israil, sampai akhirnya mempengaruhi kepercayaan mereka . Mereka menjadi umat penyembah pagan dan setan.
Budaya paganisme Bani Israil yang kuat juga dapat dibuktikan dalam suatu kisah di Bibel Kitab Raja-Raja, bahwa Nabi Musa pernah membuat seekor ular dari tembaga yang kemudian disembah oleh kaumnya . Prof. Ahmad Syalabi, sorang pakar perbandingan agama dari Mesir, mengatakan bahwa tradisi penyembahan yang dilaukan oleh agama Yahudi banyak dipengaruhi oleh kebiasaan bangsa Kan\`an. Bangsa Yahudi, menurut Syalabi, begitu mudah terpengaruh oleh bangsa Kan\`an dalam hal beragama. Tuhan yang disembah oleh bangsa Kan\`an kemudian diambil alih oleh bangsa Israil. Bahkan setelah bangsa Israil mendiami negeri Kan\`an itu, tempat ibadah mereka menyatu yang di dalmnya terdapat berhala Yahwah sebutan Tuhan bangsa Israil dan berhala Baal, Tuhan kaum Kan\`an. Maka ketika bersembahyang kadang-kadang kaum Yahudi di Kan\`an menyebut kedua Tuhan, Yahwah dan Baal .
Yahwah adalah sebutan Tuhan bagi agama Yahudi yang penuh problem. Prof. Ahmad Syalabi mengutip pendapat Abbas Mahmud al-Aqqad mengatakan bahwa asal-usul nama Tuhannya tidak jelas dan konon berasal dari kata Yahu Hu . Jadi, sejak awal orang Yahudi belum mengenal Tuhannya yang sebenarnya, buktinya hanya untuk menyebut saja mereka masih belum ada kejelasan. Seorang sarjana Barat, Smith juga memiliki kesimpulan yang hampir sama, ia mengatakan bahwa ada kemungkinan kata Yahwah berasal dari bahasa Ibrani yang mempunyai arti yang sama dengan kata Lord (tuan). Sehingga kata Yahwah pun sebutannya berubah menjadi Jehovah yang berarti tuan.
Beberapa kalangan menyebut, dalam tradisi Ibrani bahwa nama Yahweh ditengarai sebagai bukan nama asli, melainkan berasal dari nama ehyeh dan konon Menurut Freedman, pakar agama Yahudi, nama Yahweh berasal dari tradisi di luar tradisi Ibrani. Diduga, nama itu berasal dari suku-suku Median yang mendiami wilayah dimana Bani Israil tinggal sebelum datangnya Nabi Musa. Di samping suku Median, suku Keni juga mendiami daerah itu yang juga ikut mempengaruhi keberagamaan orang Israil. Menurut Freedman, asal-usul nama Yahweh itu tidak jelas, akan tetapi, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan Kenit .
Dalam The Concise Oxford Dictionary of World Religions dinyatakan:
Tuhan agama Yahudi mungkin dilafalkan dengan empat huruf YHWH. Bagi kalangan Yahudi ortodoks atau Yahudi lainnya, nama Tuhan tidak pernah diucapkan (dengan jelas) di hampir peribadatan orang Yahudi .
Maka dapat disimpulkan bahwa nama Yahweh tersebut masih bersifat dugaan, mereka belum mengetahui secara pasti apakah itu nama diri atau sebutan yang menduga-duga. Para sarjana Kristen dan peneliti agama Yahudi lainnya berkesimpulan sama. Harold Bloom misalnya dengan tegas ia katakan bahwa nama YHWH itu adalah nama yang belum diketahui dengan jelas bagaimana nama itu dilafalkan .
Ketidakpastian nama tersebut diduga karena memang nama itu bukan berasal dari tradisi Ibrani, akan tetapi berasal dari tradisi asing. Hal ini ditegaskan dalam buku Hebrew Origin yang menyatakan bahwa ketidaktentuan nama Tuhan Ibrani (Yah, Yahu dan Yahweh) dan penjelasannya yang kabur disebabkan nama itu berasal dari bahasa asing . Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Freedman O\`Connor yang menyebutkan kata itu berasal dari tradisi suku Median dan Kenit. Karena nama itu masih kontroversial di kalangan internal Yahudi sendiri, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil jalan aman, yakni tidak menggunakan kata Yahwah untuk menyebut nama Tuhan mereka, melainkan dengan sebutan Adonay atau Ha-Syem.
Penggunaan nama Adonay atau Ha-Syem, ini semakin menambah kontroversial. Sebab kedua nama itu juga masih problem. Sebutan Adonay dan Ha-Syem ternyata tidak konsisten, terkadang nama itu dipadankan dengan Yahweh, diartikan Tuhan atau pada beberapa tempat diartikan Tuan. Dalam beberapa versi Perjanjian Lama, kata Adonay disebut tiga ratus kali yang disambungkan dengan kata Yahweh (Adonay Yahweh) . Adonay sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti Tuhan.
Selain sebutan Yahweh, Adonay dan Ha-Syem, orang Yahudi juga memiliki sebutan lain untuk Tuhannya, yaitu El/Elohim atau Eloah. Nama ini menurut tradisi Ibrani dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Dalam AlKitab Perjanjian Lama kata El digunakan untuk menyebut Tuhan Israel yang disejajarkan dengan nama Yahweh .
Sedangkan kata Elohim artinya juga sama dengan El. Dalam Perjanjian Lama biasanya dipadankan dengan El. Akan tetapi, kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam bentuk jamak. Elohim sebenarnya jamak dari kata Arab ilah-ilah . Elohim lebih banyak digunakan sebagai sebutan atau gelar, sedangkan Eloah diterjemahkan dengan God (Tuhan). Dari kalangan Kristen juga belum ada kepastian apakah Elohim dan Eloah merupakan nama diri atau sebutan. Dari sini penggunaan Elohim juga bermasalah, sebab arti itu menunjukkan bahwa Tuhan itu lebih dari satu. Hal ini membawa konsekuensi pada paham politeisme.
Persepsi agama Yahudi terhadap Tuhannya juga bermasalah. Muhammad al-Syarqawi dalam bukunya Kitab Israil al-Aswad mengutip pendata Rabbi Yahudi yang bernama Manahem: \"Tuhan tidak memiliki kesibukan pada malam hari selain dari mempelajari Talmud bersama para malaikat dan raja setan yaitu Asmodioth. Di antara kejanggalan lain tentang Tuhan agama Yahudi yang diambil dari Kitab Talmud adalah; Pertama, Tuhan Allah bermain-main dengan ikan Paus, \"Allah bermain dengan ikan Paus, raja sekalian ikan...Allah duduk bersama para malaikat\". Kedua, Bulan pernah mengkritik Tuhan Allah, \"Kamu telah salah karena menciptakan aku lebih kecil dari matahari. Ketiga, Tuhan dalam Talmud dikatakan tidak suci dari kecerobohan, karena pada saat marah Ia dikuasi oleh emosi-Nya, \"jika Allah menyatakan sumpah yang tidak sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan-Nya, maka Ia membutuhkan bantuan orang lain untuk membebaskannya dari sumpah tersebut. Keempat, Tuhan Allah berbohong untuk mendamaikan Ibrahim dengan Sarah Istrinya .
Problem nama Tuhan dalam tradisi Yahudi berdampak juga dalam tradisi Kristen, sebab agama Kristen banyak mewarisi dari tradisi Ibrani. Perdebatan mengenai nama Allah cukup ramai di kalangan Kristen. Hal itu terlihat cukup terang ketika muncul Gerakan Nama Suci (Sacred Name Movement) yang menolak penggunaan kata Allah dalam Bible dan mengganti dengan nama Yahweh sesuai dengan tradisi Ibrani. Menurut Gerakan ini, nama Allah adalah bukan nama dari tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7. Oleh karena itu lafadz Allah yang ada dalam AlKitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh .
Di Indonesia gerakan ini menunjukkan eksistensinya dengan menerbitkan Bible versi mereka. Dalam Bible yang dinamai dengan Kitab Suci Torat dan Injil terbitan Lembaga AlKitab Indonesia (LAI) nama Allah diganti dengan kata Elohim, kata TUHAN diganti dengan Yahweh dan Yesus diganti dengan Yesyua Hamasyah . Bahkan Majalah Kristen Reformata edisi 80 bulan Maret 2008 memberitakan bahwa Gerakan Nama Suci atau disebut pula Pemuja Yahweh akan memejahijaukan Lembaga AlKitab Indonesia karena tetap menerbitkan AlKitab yang menggunakan nama Allah. Ciri utama gerakan Pemuja Yahweh ini adalah sangat vokal menyuarakan semangat menolak nama Allah, karena nama Allah adalah nama berhala orang Arab. Berarti umat Kristiani yang menggunakan nama Allah, menurut Gerakan Nama Suci, adalah menghina Yahweh, yakni menyamakan Yahweh dengan berhala.
Dalam buku Siapakah Yang Bernama Allah itu?, buku yang diterbitkan oleh Gerakan Nama Suci dikatakan bahwa pada zaman pra-Islam, jaman jahiliyah ALLAH adalah nama DEWA bangsa Arab yang mengairi bumi. Pendapat sama dikemukakan Huston Smith. Smith menuduh bangsa Arab pra-Islam menyebut dewanya dengan kata Allah . Dalam buku Siapakah Yang Bernama Allah itu? dikatakan nama Allah telah menjadi sebutan Dewa bagi bangsa Arab sejak lima ribuan tahun silam. \"Yang bernama ALLAH adalah Dewa Pengairan dari BABEL sejak lima ribu tahun yang lalu yang telah migrasi ke tanah Arab dan kota Mekkah . Jika itu benar, sebenarnya kaum Kristiani hanya mengikuti tradisi orang Arab menyebut Tuhannya, yang berarti dalam ajarannnya Tuhan tidak pernah mengenalkan nama Tuhannya kepada kaum Bani Israil. Orang Kristen Arab juga berarti mereka menggunakan kata Allah bukan sebagai nama diri Tuhan, hanya sebutan untuk Tuhan di daerah Arab.
Sedangkan Kristen Arab masih tetap menggunakan kata Allah dalam Biblenya yang versi bahasa Arab. Hal ini pun menimbulkan persoalan tersendiri ketika umat Kristiani Indonesia merujuk kepada versi Arab. Sebab, huruf Arab tidak mengenal huruf kapital dan huruf kecil. Mislanya sebuah Bible versi Arab-Inggris yang diterbitkan International Bible Society menulis Kitab Ulangan 10:17:
لأنّ الرب إلهكم هو إله الألهة و ربّ الأرباب، الإله العظيم، الجبار المحب، الذي لا يحاب وجه أحد، ولا تسترشي
Sedangkan dalam teks versi Inggris yang diterbitkan New International Version ayat tersebut ditulis:
For the LORD your God is God of gods and Lords of lords, the great God, mighty and awesome, who shows no partialitiy .
Versi Indonesia terbitan Lembaga AlKitab Indonesia tahun 1999 menerjemahkan:
Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap .
Dari ketiga versi Bible di atas tampak ada perbedaan antara Allah, allah, TUHAN dan God. Kristen Unitarian menerengakan, kata Allah berbeda dengan Tuhan. Padanan kata Allah adalah dewa, god, elohim dan theos, yang berarti sesembahan yang melampaui kekuatan manusia atau sesembahan yang memiliki kekuatan supranatural. Sementara Tuhan perarti, majikan atau penguasa. Mereka menyimpulkan bahwa Allah bukan sebuah nama, melainkan gelar, yakni gelar yang disematkan kepada sesembahan orang Kristen yang diambil dari bangsa Arab. Sedangan TUHAN (ditulis dengan huruf besar semua) berbeda dengan Tuhan. Kata TUHAN adalah salinan dari nama Yahweh, Allah Israel, sedangan Tuhan adalah kata yang digunakan untuk memberi makna istimewa kepada Yesus Kristus .
Dalam teks Inggris dan Indonesia kata Tuhan dan Lord ditulis dengan huruf besar dan huruf kecil, namun hal itu tidak terjadi dalam teks Bahasa Arab. Padahal dalam bahasa Ibrani yaitu bahasa yang konon menjadi bahasa asli Bible tidak mengenal huruf besar dan kecil. Ini menunjukkan belum ada sistem baku dalam penyebutan Tuhan mereka. Dalam teks Inggris pun Alkitab tidak menggunakan kata Allah akan tetapi menggunakan kata God atau Lord. Padahal kata God dan Lord itu masih umum, tidak menunjukkan nama diri. Jadi dalam Kristen belum ada konsensus (ijma\`) untuk menyebut nama Tuhan. Bisa disimpulkan juga bahwa penyebutan lafadz Allah sebenarnya bagi kalangan Kristiani hanya sebutan saja bukan sebagai nama diri Tuhan. Allah adalah sebutan untuk daerah Arab, God atau Lord adalah untuk daerah yang berbahasa Inggris. Sementara nama Yahweh juga masih misteri, ada yang ditulis YHWH yang berarti belum jelas .
Selain problem nama Tuhan, Kristen juga mengalami permasalahan konsep ketuhanan Yesus. Konsep Yesus sebagai Tuhan menjadi populer setelah melalui Konsili Nicea pada tahun 325 yang diadakan oleh Kaisar Constantine. Sebelum Konsili, doktrin itu telah disusun oleh seorang yang mengaku Rasul, yaitu Paulus . Sebelumnya, Jemaat awal Kristen konon masih menyembah Allah Yang Esa dan menganggap Yesus sebagai seorang utusan Allah. Ketika Konsili berlangsung pun terjadi tarik-menarik antar kelompok Gereja untuk memutuskan apakah Yesus itu benar-benar Tuhan, anak Tuhan atau seorang Rasul. Kelompok Gereja yang paling keras menentang keilahian Yesus adalah kaum Arianisme yaitu kelompok Gereja Timur yang meyakini Yesus adalah seorang nabi dan manusia biasa yang mendapat wahyu dari Allah. Sidang tersebut berlangsung alot yang memakan waktu dua minggu. Pada sidang tersebut terjadi polarisasi aliran gereja, yang menentang ketuhanan Yesus diwakili oleh kelompok Arian dan yang mendukung keilahian Yesus disebut anti-Arianisme dipimpin uskup Athanasius dan Alexander yang kemudian dimenangkan anti-Arianisme berdasarkan voting.
Meski konsili memutuskan bahwa tentang ketuhanan Yesus sudah final, namun kontroversi masih tetap terjadi. Perdebatan seru mengarah pada konsep bahwa Allah itu satu dalam tiga pribadi, yakni Allah Bapa, Allah Anak (Yesus) dan Allah Roh Kudus . Berdasarkan teologi Kristen, Yesus memiliki beberapa predikat berdasarkan tugasnya, yaitu; Yesus Putra Allah, Anak Manusia, Tuhan, Mesiah, Sang Sabda, Hamba Allah dan pada beberapa ayat Bible Yesus juga disebut Nabi. Dijelaskan bahwa fungsi Yesus sebagai Tuhan adalah sebagai perantara yang unik antara Allah dan manusia . Yang dipersoalkan adalah bagaimana seorang Yesus yang menjadi hamba Allah sekaligus Tuhan yang bertugas menjadi perantara antara Tuhan dengan manusia.
Akhirnya di kalangan Kristen sendiri terjadi polemik tentang Ke-Esa-an Tuhan. Yohanes Philomonus pada abad ke-6 dikecam karena berkeyakinan ada tiga Allah yang terpisah. Hal yang sama terjadi terhadap agamawan lainnya pada abad pertengahan, yaitu Roscellinus dan Gilbert de la Porree. Ketiga agamawan tadi berkeyakinan bahwa Iman Kristiani berkeyakinan bahwa yang dimaksud Trinitas adalah ada tiga Allah yang saling terpisah, akan tetapi mainstream Kristiani Eropa waktu itu bersikukuh pada dogam yang tidak logis bahwa Trinitas itu adalah Monoteisme Kristiani tiga oknum Tuhan yang menyatu dalam satu Allah .
Sarjana-sarjana Barat yang lain juga berpolemik. Oxford Concise Dictionary of Christian Church menulis pernyataan para pemikir Barat yang berusaha memadukan akal dengan dogma teologis, yang pada akhirnya berkesimpulan akal tersubodinatkan dengan dogma-dogma teologi Kristen . Seorang agamawan Kristen asal belanda C. Groenen Ofm bahkan secara berani mengatakan bahwa konsep Kristen tentang ketuhanan Yesus adalah misterius dan tidak dapat dijangkau akal manusia . Konsep yang misterius inilah yang menjadi polemik dan problem tersendiri bagi ilmuan dan saintis Barat. Thomas Aquinas juga mengungkapkan hal sama, bahwa konsep Tuhan itu tiga dan satu, menurut Aquinas hanya dapat dikenal melalui iman dogmatis dan kerja rasio tidak mungkin bisa membuktikan dogma tersebut . John Hick tokoh pluralisme Kristen juga mengkritik tajam dogma trinitas, ia mengatakan bahwa doktrin Trinitas bukanlah bersumber dari ajaran Yesus, karena Yesus mengajarkan Tuhan dalam perspektif monoteistik .
Kontroversi nama Tuhan dan konsep ketuhanan yang problematis yang dialami oleh Kristen dan Yahudi bisa jadi diakibatkan oleh karena mereka tidak memili metode ijtihad yang baku dan tradisi sanad seperti yang ada dalam agama Islam, hal itu ditambah dengan problem otentisitas dan pembacaan Kitab Sucinya. Karena problematik teologi Yahudi dan Kristen bisa berubah dan menyesuaikan diri dengan kondisi tertentu. Hal ini tidak terjadi dalam tradisi Islam, dimana nama dan konsepsi ketuhanan dalam agama Islam bersifat final-universal.
Tentang Nama Allah dan Konsep Tuhan Dalam agama Islam
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat khas yang berbeda sama sekali dengan agama Yahudi dan Kristen. Konsep Tuhan dalam tradisi Islam bersifat otentik dan final didasarkan atas wahyu. Prof. S.M Naquib Al-Attas mengatakan \"The nature of God as revealed in Islam is derived from Revelation, ia juga menegaskan:
\"The Conception of the nature of God that is derived from Revelation is also established upon the foundations of reason and intuition, and in some cases upon empirical intituition, as a result of man\`s experience and consciousness of Him and of His creation .
Prof. Al-Attas menerangkan bahwa konsep Tuhan dalam Islam tidak sama dengan konsep agama-agama di dunia dan juga berbeda dengan pemahan Tuhan dalam filsafat Yunani dan kaum hellenis.
Mengenai nama Allah, dalam konsep Islam lafadz tersebut adalah nama diri (proper name), bukan gelar atau penisbatan tertentu. Menurut Ibn Katsir, Al-Ghazali, Ibn Hazm dan Ibnu Mandzur, lafadz Allah termasuk ism al-jamid (yaitu kata benda yang tidak berasal-usul dari kata lain). Dengan kata lain, lafazdz al-a\`dzam tersebut bukan berasa dari kata ilah sebagaimana yang disangka kaum Pluralis yang diberi al. Sepakat dengan Ibn Katsir, Imam Syafi\`i, Imam al-Haramain dan Imam al-Gazali juga berpendapat lafadz Allah adalah isim (kata benda) yang tidak memiliki akar kata, bukan isim musytaq yang memiliki akar kata .
Lafadz Allah tidak berasal dari kata ilah yang diberi al dapat dibuktikan dari kaidah Gramatika Bahasa Arab (ilmu Nahwu), bahwa kata yang menyandang al tidak boleh diberi huruf nida\` (panggilan) secara langsung. Bila terdapat lafadz yang ada tambahan al kemudian di depannya disandang huruf nida\`, maka harus ditambah dengan kata ayyuha atau ayyatuha. Contoh kata al-Ustadz diberi huruf nida\` di depannya, maka menjadi ya ayyuha al-Ustadz. Hal ini tidak berlaku dalam lafadz Allah ketika diberi huruf nida\` di depannya, jika ada tambahan nida\` cukup dikatakan Ya Allah bukan Ya ayyuha Allah atau Ya Ilah, hal ini juga berlaku pada sebutan Allah yang lain seperti al-Rahman al-Rahim, menjadi Ya Rahman Ya Rahim. Ini merupakan bukti bahwa Allah bukan isim yang ada tambahan a l.
Kemudian bukti bahwa lafadz Allah adalah nama diri (proper name) adalah dapat dikaji dari surat al-Shaffat ayat 35-36:
إِنَّـهٌم كَانٌوْا إِذَا قِيْلَ لَهٌم لآإِلهَ إلاّ اللهٌ يَسْتَكْبِروْنَ (35) وَيَقوْلُوْنَ أَإِنّا لَتَارِكُوْا ألِهَتِناَ لِشَاعِر مَجْنُون (36)
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: \"Laa ilaaha illallah\" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: \"Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?\"
Meski ayat tersebut tidak secar dzahir menyatakan Allah sebagai proper name, akan tetapi petunjuk bahwa ia adalah proper name adalah kandungan kalimat لآإِلهَ إلاّ اللهٌ. Pada ayat tersebut secara implisit lafadz Allah adalah nama diri. Kaum musyrikun Makkah ketika diseru Nabi Muhammad SAW untuk mengucapkan لآإِلهَ إلاّ اللهٌ (yakni untuk tidak menyembah ilah kecuali sesembahan yang bernama Allah saja), mereka menolak seruan itu sambil mengatakan: \"Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan (ilah-ilah) kami karena seorang penyair gila?\" .
Walhasil, ayat tersebut, merupakan bukti Allah mengenalkan namanya dengan sebutan Allah. Atas dasar ini, ada asumsi kuat bahwa memang Allah telah mengenalkan namanya dengan sebutan Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya apapun bahasa para Nabi dan Rasul tersebut, bukan dengan Elohim, atau Yahweh. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa para Nabi dan Rasul itu adalah muslim bukan Yahudi dan Kristen. Seorang mantan pasor Katolik Roma, Abd. Ahad Dawud, memperkuat pendapat tersebut, menurutnya, Allah adalah nama yang sejak dahulu digunakan oleh para Nabi bangsa semit untuk menyebut Tuhan Yang Maha Tinggi, Zata Yang Satu dan Abadi yang telah menurunkan wahyu kepada Nabi Adam dan kepada semua nabi . Adapun nama Allah yang digunakan oleh kaum Musyrik Makkah sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, konsepsinya \`dibersihkan\` ketika Rasulullah SAW mendakwahkan Tauhid kepada mereka.
Untuk memahami makna dan konsepsi Tuhan, dalam tradisi Islam dengan melalui metode pemahaman terhadap wahyu Allah bukan dengan asumsi, prasangka dan kesepakatan para pemuka agamanya sebagaiman terjadi dalam agama Yahudi dan Kristen. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah bertugas menjelaskan tentang nama Rabb dengan sifat-sifat-Nya dan cara beribadah kepada-Nya. Sehingga dimanapun dan dengan bahasa apa saja umat Islam menyebut Rabbnya dengan sebutan Allah.
Untuk menyebut Rabbnya, kaum muslimin tidak sembarang menyebut dengan predikat-predikat yang tidak pernah diajarkan oleh Al-Qur\`an. Al-Qur\`an surat al-Isra: 110 menyatakan:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
Katakanlah: Serulah Allah atau serulah al-Rahman; dengan nama apapun kamu seru Dia, pada-Nya nama-nama yang indah (al-asma\` al-husna), dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.
Ayat tersebut dalam pandangan pluralisme agama sebagai justifikasi bahwa nama Tuhan itu banyak, dan menyebutnya boleh dengan apapun. Implikasi dari pandangan ini, setiap agama memiliki sebutan berbeda-beda yang pada hakikatnya yang diseru itu adalah sama . Pandangan pluralis seperti ini agak persis seperti prasangka kaum Musyrik Makkah waktu sebelum ayat itu diturunkan. Iman al-Thabari meriwatkan, ketika Nabi Muhammad SAW berdoa seraya berseru Ya Rabbana Allah Ya Rabbana al-Rahman orang-orang musyrik yang mendengar berkeyakinan bahwa Muhammad SAW berdo\`a kepada dua Tuhan, yakni Tuhan Allah dan Tuhan Rahman, maka turunlah ayat tersebut, al-Thabari selanjutnya menjelaskan bahwa, Allah SWT menurunkan ayat itu dengan maksud menjawab prasangka orang musyrik bahwasannya Rasulullah hanya berdoa kepada Tuhan yang satu .
Ibn Katsir juga meriwayatkan dengan redaksi yang agak berbeda, Allah SWT kemudian memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW: \"Katakanlah kepada mereka yang mengingkari sifat Rahman Allah bahwasannya Allah SWT memiliki nama-nama yang indah (al-asma\` al-husna), sehingga tidak ada perbedaan antar memanggil dengan Ya Allah atau dengan Ya Rahman\" . Ayat itu juga sekaligus melarang memanggil nama-Nya selain nama yang dikenalkan atau gelar dari al-asma\` al-husna.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa akal manusia dan budaya tidak diberi kesempatan untuk berkreasi memanggil nama Tuhan. Kaum muslimin memanggil nama Tuhannya tidak dengan spekulatif atau berdasarkan tradisi budaya. Semua kaum muslimin di seluruh dunia dari dulu hingga saat ini tetap memanggil nama Tuhannya dengan Allah, Tuhan Yang Esa tidak beranak dan tidak diperanakkan. Syeikh Muhammad al-Dasuqi al-Maliki dalam Hasyiyah al-Dasuki \`ala Umm al-Barahin menguraikan bahwa keesaan Allah memiliki tiga makna; Pertama, Menafikan Dzat yang banyak, Kedua, menafikan al-Nadzir (yang menyamakan) dalam dzat-Nya, Ketiga Keesaan-Nya dalam mengatur, menciptakan tanpa perantara dan bantuan dari apapun .
Konsep Tuhan dalam Islam sudah final dan orisinil. Konsep yang final-orisinil ini diakui seorang peneliti agama-agama dunia, Karen Amstrong. Ia mengakui bahwa umat Islam tidak mengalami problem mendasar tentang konsep ketuhanannya. Konsep ini mengesampingkan praduga-praduga (dzanna) yang tidak bisa dibuktikan, hal ini menurtu Amstrong berbeda dengan konsep Tuhan agama lainnya . Tidak adanya selisih pendapat di antara kaum muslimin soal konsep ketuhanan, dikarenakan Islam memiliki tradisi metode yang khas yang tidak dimiliki agama-agama lain. Untuk memanggil nama-Nya diajarakan oleh Rasulullah SAW secara turun-temurun dari para sahabat, tabiin, tabi\` al-tabiin hingga saat ini melalui sanad yang muttashil (bersambung). Nama itu dikenalkan melalui wahyu, melalui para penghafal al-Qur\`an yang memiliki tradisi rangkaian transmisi yang muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. Dengan metode ini, konsepsi keagamaan dalam Islam selalu terjaga dengan baik.
Kesimpulan
Poin penting yang perlu diperhatikan dalam tulisan ini adalah bahwa, terdapat perbedaan yang cukup signifikan tentang konsepsi ketuhanan antara agama-agama semitik. Perumusan konsep dasar teologi Yahudi dan Kristen berbeda dengan agama Islam. Agama Yahudi mengalami problem cukup pelik tentang Tuhannya. Tuhan yang mereka sebut Yahweh atau YHWH sebagaiman diakui oleh sarjana Barat, seperti Harold Bloom, belum diketahui secara pasti asal muasalnya. Problem ini bermuara dari problem mereka tentang kitab suci yang orisinalitasnya diragukan sendiri oleh para sarjana Barat sendiri seperti, Richard Elliot Friedman, penulis buku Who Wrote the Bible dan Rabbi Yahudi Rotski. Keduanya berkesimpulan Kitab Yahudi merupakan masih teka-teki. Karena itulah, mereka merumuskan sendiri dan menambah-nambah isi kitab suci .
Problem ini juga terjadi terhadap agama Kristen. Dasar-dasar teologis Kristen dirumuskan melalui Konsili. Bahkan keputusan Konsili selalu berkembang dari tahun ke tahun tergantung kesepakatan para pemuka gereja-gereja di dunia. Oleh karena itu agama Kristen bagai organisme yang terus bermetamorfosisi . Dengan kenyataan ini Huston Smith mempunyai kesimpulan agama Kristen adalah agama yang didasarkan oleh budaya. Persoalan teologis yang masih misteri adalah problem ketuhanan Yesus, sebagaimana ditegaskan oleh Dr. C. Groenen Ofm, seorang teolog asal Belanda.
Kondisi seperti itu tidak pernah dialami oleh agama Islam. Asas-asas teologi Islam bersifat final-orisinil dan universal, sejak awal dibawa oleh Nabi Muhammad SAW hingga sekarang tidak pernah diputuskan melalui musyawarah para pemuka agama Islam. Seperti ditegaskan oleh Prof. S.M. Naquib al-\`Attas konsep ketuhanan agama Islam dirumuskan melalui wahyu yang sudah teruji keotentikannya . Tentang Nabi Isa dan Nabi Musa, agama Islam sejak awal menegaskan bahwa keduanya bukan Tuhan akan tetapi manusia biasa yang diberi wahyu oleh Allah. Nama Tuhannya dikenalkan oleh Allah sendiri melalui al-Qur\`an.
Melihat kenyataan yang berbeda tersebut, maka secara teologis agama Yahudi, Kristen dan Islam tidak bisa dimasukkan dalam satu payung agama Ibrahim. Karena dalam beberapa penjelasan dan diperkuat dengan pernyataan sarjana-sarjana Barat sendiri kita berkesimpulan bahwa dasar-dasar teologi mereka sudah terputus dengan Nabi Ibrahim. Oleh karena itu sangat tidak tepat bila Yahudi dan Kristen dimasukkan dalam millah Ibrahim. Al-Qur\`an sendiri sudah menjelaskan: \"Dan siapakah yang lebih baik din-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti millah Ibrahim yang hanif . Agama yang bisa dimasukkan dalam kategori millah Ibrahim adalah hanya agama Islam.
Oleh karena itulah, maka istilah Abrahamic Faiths seharusnya tidak digunakan, karena term itu dibajak oleh kaum pluralis untuk mempertemukan antara agama Islam dengan agama kaum ahl al-Kitab. Apalagi term itu menggunakan kata plural (jamak) yang bisa dimaknai oleh kaum pluralis bahwa Nabi Ibrahim adalah sumber dari agama Yahudi, Kristen dan Islam. Padahal agama Nabi Ibrahim hanya satu, yaitu agama Tauhid, dimana beliau disebut muslim. Kesatuan antara ajaran Nabi Muhammad dengan ajaran Nabi Ibrahim dapat dibuktikan dengan keduannya hanya menyembah kepada Tuhan Yang Satu, yaitu Allah dan menjauhi Thaqhut. Pada esensinya, din al-Islam tetap sepanjang sejarah, agama itu adalah agama para Nabi. Setiap nabi selalu menekankan keesaan-Nya. Hal inilah yang dimaksud kesatuan esensi wahyu Allah SWT . Oleh karena itu penyatuan tidak melalui kompromi teologis antar agama, akan tetapi penyatuan itu adalah seperti yang dinyatakan oleh Syeikh Nawawi, bahwa syari\`at satu nabi diteruskan dan disempurnakan oleh nabi setelahnya . Sebagai nabi terakhir maka, Nabi Muhammad melanjutkan ajaran nabi sebelumnya, maka jika Yahudi dan Kristen hendak disatukan seharusnya mereka mengikuti ajaran Nabi Muhammad, tidak sekedar pengakuan akan tetapi ketundukan terhadap ajaran-ajarannya.