ISLAM DAN PERSOALAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR
(Edisi – 4)
Yusuf Hanafi
Tidak Berpendidikan (No Education)
Hampir bisa dipastikan, pengantin kanak-kanak itu adalah generasi putus sekolah. Kesempatan mereka untuk mengenyam level pendidikan yang lebih tinggi menjadi terkebiri bahkan tidak sedikit pula yang tidak menyelesaikan bangku pendidikan dasar (primary education). Akibatnya, banyak di antara mereka yang buta aksara (illiterate).
Sejumlah riset menyimpulkan, ada korelasi erat antara level pendidikan anak gadis dengan usianya saat pertama kali menikah. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuhnya, semakin lambat pula ia menapaki jenjang pernikahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa memasukkan dan menahan anak gadis di bangku sekolah merupakan cara terbaik untuk mencegahnya menikah dini. Berikut, statistik anak antara usia 15 – 19 tahun di sejumlah negara yang mengenyam pendidikan dasar maupun yang tidak.
Problem Kesehatan (Health Problems):
Kerusakan Tulang Panggul
Karena pertumbuhan tulang ibu kecil belum lagi lengkap, resiko kerusakan cepalopelvic (tulang panggul)-nya sangat tinggi. Pasalnya, bayi yang dilahirkan jauh lebih besar dari kemampuan tulang panggulnya. Ini berakibat pada sulit dan lamanya kelahiran, dan mengancam rusaknya organ bayi jika dipaksakan. Kemungkinan, karena nutrisi yang kurang, ibu-ibu muda sering keguguran dan dapat terkena preeclampsia dan penyakit-penyakit lainnya.
Preeclampsia dan bentuk akhirnya, eclampsia, adalah sebuah penyakit yang khusus bagi kehamilan. Preeclampsia dicirikan dengan bertambahnya tekanan darah dan hilangnya protein dalam urine (proteinuria). Preeclampsia yang memburuk akan berkembang menjadi eclampsia, yang menambah serangan-serangan penyakit lain dengan sympton yang lebih kompleks.
Hubungan Seksual yang Tidak Aman
Dikarenakan mayoritas pengantin kanak-kanak harus berhenti sekolah lebih awal, mereka pun tidak familiar dengan isu-isu dan layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar (basic reproductive health issues and services), termasuk resiko tertular HIV. Isolasi dan ketidakberdayaan juga turut menambah resiko kesehatan reproduksi mereka—di mana ibu kecil hanya memiliki otonomi diri dan kebebasan bergerak yang sangat terbatas. Tidak jarang, problemnya adalah ketiadaan izin dari pasangannya yang berpikiran sangat tradisional dan konservatif. Lebih memprihatinkan lagi, dalam beberapa kelompok masyarakat, pengantin kanak-kanak “diharapkan” segera memiliki momongan (infant) oleh lingkungannya (UNFPA, 2005).
Berikut, proporsi gadis berusia antara 15 – 19 tahun di sejumlah negara yang menggunakan layanan kontrasepsi dan yang tidak menggunakannya.
Selain persoalan seputar wawasan kesehatan reproduksi yang rendah, pengantin kanak-kanak juga dihadapkan pada problem hubungan seksual (sex intercourse) yang menggerikan. Menstruasi lazimnya terjadi pada usia sekitar 12 tahun.
Resiko kontak seksual sebelum mens, misalnya saja di usia 9 atau 11 tahun, muncul sebagai akibat dari rendahnya kadar hormon estrogen. Resiko yang biasanya muncul adalah trauma vaginal seiring dengan robeknya tisu-tisu di dalamnya. Pasalnya, bagian vulva dan vaginal akan dipaksa melebar tanpa bisa kembali normal seperti pada wanita dewasa. Infeksi pasti akan muncul karena lemahnya jaringan tisu yang belum diperkuat oleh hormon estrogen ini. Kanker Cervic (Leher Rahim) merupakan ancaman terbesar dalam hal ini. Semakin muda si bocah menikah, maka semakin besar pula resikonya.
Kekerasan Rumah Tangga (Abuse and Violence)
Gadis-gadis kecil yang dikawinkan di usia dini lazimnya bersuamikan pria yang jauh lebih tua dari dirinya. Akibat margin usia yang sangat lebar inilah hampir selalu muncul problem komunikasi keluarga maupun seksual antara kedua belah pihak. Riset di 16 negara sub Sahara Afrika memperoleh data bahwa selisih usia pengantin perempuan yang masih kanak-kanak dengan pasangannya itu rata-rata terpaut minimal 10 tahun lebih tua.
Model pernikahan dengan selisih usia terpaut jauh itu pada gilirannya sering menghadirkan “mimpi buruk” bagi pengantin perempuan—di mana mereka mengalami kekerasan (abuse and violence) dalam kehidupan rumah tangganya. Ironisnya, tindak kekerasan suami itu seringkali dijustifikasi secara normatif oleh tradisi (baca: agama) (Jenson & Thornton, 2003). India merupakan negara dengan kekerasan domestik (baca: KDRT) tertinggi terhadap perempuan yang menikah di usia kisaran 18 tahun. Berikut, hasil riset yang dilansir oleh UNICEF.
Trauma Psikologis
Gadis kecil yang melahirkan bayi merupakan suatu hal yang telah lama dielakkan oleh dunia kedokteran. Situasi ini sangat traumatik bagi sang ibu muda karena mencabut masa kanak-kanaknya. Sebelum ia belajar mengenai hidup dan bereaksi secara tepat terhadap dirinya sendiri, ia harus mengasuh dan membesarkan bayi. Pendeknya, ia disegerakan untuk menjadi dewasa secara tidak wajar. Rasa marah dan penolakan adalah sikap yang umum terjadi dan lazimnya berlangsung dalam jangka waktu yang lama (bahkan tidak tertutup kemungkinan seumur hidup). Inilah yang kemudian memuncul trauma psikologis yang berkepanjangan.