Toleransi Atau Reduksi Agama?*
Khalili Hasib
Pada awal Maret 2009 ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi di depan wartawan menegaskan bahaya Liberalisme. \"Liberalitas terbukti telah merusak agama-agama sejak abad ke-18\" tegas Pak Hasyim. Pernyataan itu ia tegaskan sebelum beliau berangkat ke Roma Italia untuk menghadiri forum dialog lintas agama pada 4 Maret 2009 atas nama Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars). Dari sisi teologis, kata Hasyim, liberalitas agama lebih berbahaya dari fundamentalisme yang mengorbankan agama atas nama toleransi (RepublikaOnline 2/3/2009).
Sebelumnya, salah satu tokoh NU juga mengecam Liberalisme. Pada 26 Oktober 2008 Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Inggris, Dr. Aji Hermawan, MM, mengatakan budaya liberalisme yang dikembangkan kalangan muda NU sejatinya kurang sesuai dengan tradisi Islam Indonesia, karena budaya tersebut berbasis dari Barat yang sumbernya berasal dari etika Protestan.
Pernyataan tegas dua tokoh NU tersebut tampaknya merupakan ekspresi keprihatinan atas ulah anak-anak muda NU yang \`nakal\`. Beberapa intelektual muda NU memang hanyut dalam arus liberalisme agama. Ke depan, jika tidak ditanggapi serius, pemikiran anak-anak muda itu cukup membahayakan, tidak hanya bagi NU tapi juga keberagamaan di Indonesia secara umum. \"Secara perlahan-lahan hal itu akan ‘menggerogoti’ dan ‘menghabisi’ NU dari basis sosialnya\" kata Nailul Abror, Aktivis Keluarga Mahasiswa NU IPB, pada 20 september 2008 kepada NUonline.
Sebagaimana dikatakan Aji Hermawan, liberalisme berbasis dari Barat. Ide liberalisme berakar sejak abad ke-17 dalam masyarakat Barat. Dan mencapai momentumnya pada tahun 1789 saat meletus Revolusi Prancis. Prinsip Egalite, Liberte dan Fraternite dalam Revolusi Prancis itu dianggap sebagai Magna Charta liberalisme.
Prinsip-prinsip itu secara umum ingin menegaskan pengingkaran terhadap otoritas Gereja dan Tuhan. Kristen dan Gereja harus disingkirkan dari urusan publik. Barat trauma, karena sebelum Revolusi, Gereja melalui lembaga Inquisisi kerap bertindak super kejam terhadap para ilmuan dan orang-orang yang dianggap berseberangan dengan doktrin Bibel. Inquisisi, bagi Barat adalah tragedi keberagamaan Kristen yang tidak boleh terulang.
Wacana liberalisme kemudian berkembang pada akhir abad ke-18. Gerakannya adalah membebaskan manusia dari agama dan Tuhan. Dan sejak inilah lahir theological liberalism (liberalisme pemikiran keagamaan). Gerakan liberalisme disambut baik oleh Barat karena menjanjikan kebebasan manusia dari kungkungan Gereja yang otoriter. Pada abad ke-19 liberalisme diusung dengan semangan moderinsme dan postmoderenisme. Paham liberalime dengan semangat postmodern ini melahirkan paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, equality, feminisme.
Dari kalangan internal Kristen sendiri – terutama dari kalangan Konservatif - sebenarnya menolak. Karena, Gereja harus menerima kenyataan konsep dasar agama harus diubah. Nicholas F.Gier dalam buku Religious Liberalism and the Founding Fathers mengatakan Tuhan dianggap tidak mengetahui kehidupan manusia secara detail dan tidak mencampuri urusan individu.
Ilmuan Barat lain, Paul Tillich, menuduh doktrin ketuhanan Kristen menjadi sumber masalah kehidupan Barat. Dalam bukunya A History of Christian Thought ia menulis \"The christological problem is historically a consequence of the trinitarian controvercy\". Filosof Barat, Bryan Magee, mengatakan eksistensi Tuhan bukanlah sesutu yang dapat dibuktikan secara rasional. Secara radikal, Bryan berkesimpulan bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan, oleh karena itu, wujud Tuhan sebenarnya tidak ada.
Kekecewaan Barat terhadap agama juga dinyatakan oleh Charles Kimballs, ia prihatin karena agama telah menampilkan gambaran perilaku destruktif. Bahkan ia begitu jengkel terhadap yang namanya agama.
Agama bagi Barat memang sudah menjadi masalah pada abad Revolusi, dan bahkan saat ini pun mereka masih tidak nyaman mendengar kata agama. Tren tidak beragama orang Barat semakin meningkat. Di Amerika, prosentase orang yang tidak beragama meningkat menjadi 15% sejak tahun 1990. Sementara di Inggris – yang konon termasuk kerajaan di Eropa yang religius – 22 % pada tahun 2004 penduduknya tidak percaya pada agama.
Secara perlahan, memang paham liberalisme, nihilisme dan relativisme menggiring pada pemahaman bahwa agama tidak penting. Yang utama adalah nilai-nilai moral tinggi. Manusia bisa bermoral tanpa agama.
Hal inilah yang barangkali dikhawatirkan oleh Hasyim Muzadi, agama direduksi oleh paham kebebasan. Barat telah menjadi bukti. Dengan Liberal, mereka merusak agamanya sendiri. Jika tradisi Barat ini diglobalkan ke dunia Islam, tentu wajah Islam bisa berubah secara fundamental dari aslinya.
Ketegasan Pak Hasyim semoga tidak sekedar diwacanakan secara verbal. Tentu ini tidaklah cukup dibanding dengan kuatnya arus liberalisme di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Tindakan nyata dan tegas hukumnya fardlu \`ain bagi beliau dan para ulama\` yang memiliki otoritas dalam tubuh organisasi.
Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran virus liberalisme. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah dua kekuatan yang perlu terus dibackup. Jika dua kekuatan ini lemah, tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah.
Harapan kita, pengalaman Barat jangan sampai diimpor ke dunia Islam. Jika tidak, akan lahir generasi Indonesia faith without religion (percaya \`Tuhan\` tanpa beragama) sebagaimana telah menjadi tren di Barat. Sampai saat ini anak-anak muda Liberal masih dalam taraf ber-NU atau ber-Muhammadiyah tanpa syari\`at. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika syari\`at dimarginalkan, tak lama Tuhan pun akan didegradasi. Seperti yang dikatakan oleh Nicholas F.Gier, Tuhan tidak perlu mencampuri urusan individu manusia. Manusia adalah segalanya bisa menentukan perbuatannya.
Bagi Islam Liberal, liberalisme dan pluralisme adalah solusi menciptakan toleransi. Sebagaimana dikatakan Budhy Munawar Rahman, tokoh Liberal, dalam situs www.Islib.com tahun 2000 : ”bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut -- dan mengembangkan -- teologi pluralis atau teologi inklusi\"f. Padahal liberalisme dan pluralisme bila dikaji secara mendalam dan kritis, bukanlah solusi cerdas untuk membangun toleransi beragama.
Toleransi dalam konsepsi Islam tidak sampai mengorbankan aspek teologi. Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, namun tidak berarti membenarkan semuanya. Surat Al-Kafirun memberi pemahaman bahwa bermacam agama itu tidak bisa disatukan. Dari sinilah konsep toleransi terbentuk. Islam membiarkan agama lain menjalankan ritual agama – selama tidak mengganggu agama Islam – namun tidak mentolelir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin). Hatta pada level esoteris – yang menurut Frithjof Shuon agama-agama dapat dipertemukan pada level ini – tiap agama memiliki warna dan konsep yang berbeda. Inilah konsep Islam, menawarkan toleransi tanpa mengorbankan pereduksian agama-agama. Jika dengan konsep Islam, toleransi bisa dibangun, mengapa harus mengambil paham liberal dan pluralis.
*Makalah belum dipublish di media