ISLAM DAN PERSOALAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR
(Edisi - 3)
Yusuf Hanafi
Praktik Perkawinan Anak di Bawah Umur (Child Marriage/Early Marriage) di Negara-Negara Berpenduduk Mayoritas Muslim: Data dan Statistik.
Meskipun definisi pernikahan di bawah umur (child marriage/early marriage) juga diperuntukkan untuk anak lelaki (boys), namun mayoritas anak yang menikah di bawah usia 18 tahun adalah perempuan (girls). Juga, walaupun praktik pernikahan di bawah umur secara global menurun drastis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, namun kasus-kasusnya masih marak terjadi dalam kelompok masyarakat miskin, baik di negara-negara terbelakang maupun berkembang.
Di Asia Selatan, sekitar 48% (kurang lebih 10 juta) gadis dikawinkan sebelum mencapai usia 18 tahun. Di Afrika, diperoleh angka 42%; sedangkan di Amerika Latin dan Karibia, gadis yang dinikahkan sebelum berusia 18 tahun mencapai 29%. Berikut, statistik yang dilansir oleh UNFPA tahun 2004.
ICRW pada tahun 2007 merilis rangking negara-negara dengan praktik child marriage tertinggi di seluruh dunia.
Top 20 “Hot Spot” Countries for Child Marriage
Ranking Country Percent Married Younger than 18
1. Niger 76.6
2. Chad 71.5
3. Bangladesh 68.7
4. Mali 65.4
5. Guinea 64.5
6. Central African Republic 57.0
7. Nepal 56.1
8. Mozambique 55.9
9. Uganda 54.1
10. Burkina Faso 51.9
11. India 50.0
12. Ethiopia 49.1
13. Liberia 48.4
14. Yemen 48.4
15. Cameroon 47.2
16. Eritrea 47.0
17. Malawi 46.9
18. Nicaragua 43.3
19. Nigeria 43.3
20. Zambia 42.1
Dari paparan data di atas dapat disimpulkan bahwa angka praktik pernikahan anak di bawah umur di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sangat tinggi. Memang banyak faktor yang mendorong terjadinya praktik child marriage atau early marriage, mulai dari yang berdimensi sosial, ekonomi hingga budaya.
Namun banyak spekulasi menyebutkan bahwa tingginya angka child marriage (early marriage) di negara-negara Muslim tidak lepas dari faktor teologis—yakni justifikasi doktrin agama atas legalitas praktik tersebut. Dan, dalam konteks ini, pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang masih “kanak-kanak” dijadikan sebagai model anutan oleh para pemeluk Islam.
Resiko dan Bahaya dari Perkawinan Anak di Bawah Umur:
Mayoritas negara telah mendeklarasikan bahwa usia perkawinan minimal yang dilegalkan (the minimun legal age of marriage) adalah 18 tahun. Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak yang telah ditetapkan lewat forum Majelis Umum PBB tahun 1989. Meski demikian, diperkirakan lebih dari 100 juta anak akan menikah di bawah umur dalam satu dekade mendatang (Bruce & Clark, 2004). Padahal perkawinan di usia dini (early marriage) mendatangkan banyak resiko dan bahaya, seperti kematian di usia muda (dalam proses persalinan), terjangkit problem kesehatan, hidup dalam lingkaran kemiskinan, dan menderita buta aksara (karena tidak mengenyam pendidikan dasar).
Kehamilan Prematur (Premature Pregnancy)
Anak-anak, secara definitif, belum dewasa baik fisik maupun emosinya. Karena itu, ibu kecil beresiko melahirkan bayi prematur dengan berat badan di bawah rata-rata. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi tersebut karena meningkatnya resiko kerusakan otak dan mental. Bayi yang lahir dengan berat kurang dari normal mempunyai resiko kematian 20 kali lebih besar pada tahun pertamanya dibanding bayi normal.
Kematian Ibu (Maternal Mortality)
Ibu kecil berusia antara 10 – 14 tahun beresiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih besar dari wanita dewasa. Persalinan yang berujung pada kematian merupakan faktor paling dominan dalam kematian gadis antara 15 – 19 tahun di seantero dunia (United Nations, 2001). Di Kamerun, Ethiopia, dan Nigeria, kematian ibu muda berusia di bawah 16 tahun itu 6 kali lebih tinggi dari kematian ibu dewasa berusia antara 20 – 24 tahun (UNICEF Innocenti Research Centre, 2001).