ISLAM DAN PERSOALAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR
(Edisi – 2)
Yusuf Hanafi
Perspektif Fikih Klasik atas Perkawinan Anak di Bawah Umur
Allah SWT mensyariatkan pernikahan kepada umat manusia, dan menetapkan seperangkat ketentuan (syarat dan rukun) untuk mengokohkan bangunannya. Di samping itu, Dia juga memperindahnya dengan ajaran-ajaran etik dan tuntunan-tuntunan moral (adab dan fadha’il). Allah SWT telah menjadikan utusan-Nya, Muhammad SAW sebagai uswah hasanah yang sepatutnya diteladani—di mana ia terekam dalam lembaran-lembaran sejarah menikahi gadis perawan (bikr) dan janda (tsayyib), dan juga pernah mengawini wanita muda (saghirat) dan tua (kabirat). Keseluruhan isterinya itu terpilih atas pertimbangan-pertimbangan Ilahiyah yang jauh dari kalkulasi-kalkulasi fisik dan materi.
Belakangan muncul perdebatan seputar pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang disebut oleh hampir seluruh literatur hadis kanonik (mudawwanah) terjadi ketika puteri Abu Bakr itu masih “kanak-kanak”. Satu kelompok menegaskan bahwa mempraktikkan pernikahan model itu berarti “menghidupkan sunnah Nabi” (ihya’ al-sunnah). Namun kelompok yang lain berpendapat bahwa kebolehan menikahi gadis yang masih di bawah umur itu merupakan hak previlige (khususiyyah) bagi Nabi SAW saja.
Sejujurnya, jika kita menengok sejarah pengundangan hukum Islam (tarikh al-tashri’ al-Islami), maka kita akan menemukan fakta bahwa diskursus ini nyaris tidak terlalu intens dibicarakan (untuk tidak mengatakan “sangat minim”). Pasalnya, para fuqaha’ berpandangan, tidak ada problem apapun dalam pernikahan suci tersebut. Justru yang banyak mengemuka adalah kupasan dan uraian perihal keagungan dan keutamaan di balik pernikahan historis tersebut.
Yang jelas, berdasarkan laporan dari para perawi hadis (muhadditsin), ‘Aisyah, Umm al-Mu’minin, dinikahi oleh Nabi SAW di usia 6 tahun, dan mulai hidup serumah dengannya pada usia 9 tahun. Berikut, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim terkait dengan informasi di atas:
“Khadijah wafat 3 tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Rasul SAW sempat menduda kurang lebih 2 tahun sampai kemudian menikahi ‘Aisyah yang kala itu berusia 6 tahun. Namun Nabi SAW baru hidup serumah dengan ‘Aisyah saat gadis cilik itu telah memasuki usia 9 tahun” (al-Bukhari, 2004:284).
“Nabi SAW menikahiku di Makkah saat berusia 6 tahun setelah kewafatan Khadijah. Namun beliau baru hidup serumah denganku di Madinah ketika aku telah berusia 9 tahun” (Muslim, t.t.:244).
Riwayat-riwayat hadis yang memberitakannya demikian melimpah (terdapat dalam al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab hadis lainnya) sehingga dapat dikatakan bahwa informasi perihal usia ‘Aisyah ketika dinikahi oleh Nabi SAW itu telah mencapai level mutawatir.
Tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama dalam memahami bunyi literal dari teks-teks hadis di atas—di mana mereka menfatwakan kebolehan mengawini gadis ingusan tanpa ada ketentuan batasan usia minimal. Berikut, kutipan pernyataan dari para fuqaha’ terkait persoalan ini.
Al-Sarkhasi (w. 490 H), salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Hanafi, menulis dalam bukunya, al-Mabsut:
“Kita mendengar bahwa Nabi SAW menikahi ‘Aisyah sewaktu masih kanak-kanak berusia 6 tahun. Beliau baru hidup serumah dengannya saat ‘Aisyah telah berusia 9 tahun. Kehidupan rumah tangga di antara keduanya hanya berlangsung selama 9 tahun ketika Nabi SAW berpulang ke hadirat Ilahi pada tahun 11 H. Hadis tentang usia ‘Aisyah saat dinikahi oleh Nabi SAW tersebut merupakan bukti perihal legalitas pernikahan anak-anak (di bawah umur)” (al-Sarkhasy, 1406 H:212).
Dari kalangan ulama mazhab Maliki, Ibn ‘Abd al-Barr mengemukakan:
“Abu Bakr al-Shiddiq menikahkan puterinya, ‘Aisyah yang masih berstatus gadis belia di usia 6 atau 7 tahun. Oleh karena itu, seorang ayah boleh mengawinkan puterinya yang masih kanak-kanak, baik perawan maupun janda, meski belum mencapai usia menstruasi, tanpa seijinnya” (Ibn ‘Abd al-Barr, 1407 H:231). Para ulama juga sepakat bahwa ayah berhak menikahkan anak gadisnya yang masih kanak-kanak tanpa meminta persetujuannya, dengan dasar perkawinan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang kala itu masih berusia 6 tahun” (Ibn ‘Abd al-Barr, 1387 H:98).
Demikian pula al-Syafi’i, dalam pembahasan tentang “meminta izin gadis kecil untuk dinikahkan”, menyatakan:
“‘Aisyah dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakr dengan Nabi SAW. Hal itu menunjukkan bahwa Abu Bakr (sebagai orang tua) lebih berhak daripada ‘Aisyah (sebagai anak) dalam persoalan perkawinannya. Sebab, bocah berusia 7 dan 9 tahun tentu belum memiliki kedewasaan yang memadai (untuk mengambil keputusan)\" (al-Syafi’i, 1393 H:167).
Sedangkan dari Mazhab Hanbali, Ibn Qudamah menandaskan dalam bukunya, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal:
“Adapun gadis merdeka, maka ayahnya memegang otoritas pernikahan puterinya yang masih perawan (tanpa diperselisihkan oleh para ulama). Dasarnya, Abu Bakr al-Shiddiq mengawinkan puterinya ‘Aisyah dengan Nabi SAW ketika masih berumur 6 tahun” (Ibn Qudamah, 1408 H:26).
Dalam konteks ini pula, Sulaiman al-Qarari (dalam www.ahlalhdeeth.com) mengemukakan, “Redaksi-redaksi kutipan di atas merupakan dalil yang paling fasih atas kebolehan menikahkan gadis kecil (al-saghirah). Barangsiapa yang menggugatnya, berarti ia menentang ijma’.”
Perlu pula untuk digarisbawahi bahwa ulama fikih klasik sama sekali tidak memberikan catatan definisi untuk sebutan “gadis kecil” (saghirah) yang diperbolehkan untuk dinikahkan itu. Penulis tidak menemukan, misalnya, pendapat seorang faqih yang membatasi sebutan saghirah untuk anak yang telah berumur 6 tahun—dengan mengacu pada bunyi literal dari hadis-hadis tentang usia ‘Aishah kala menikah. Dan, tidak seorang faqih pun yang berfatwa bahwa tolok ukurnya adalah datangnya fase haid—dengan dasar bahwa Allah SAW menetapkan dalam salah satu ayat masa ‘iddah (masa tunggu) bagi saghirah yang diceraikan itu adalah 3 bulan. “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopouse) di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah 3 bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid” (Q.S. al-Thalaq:4).
Yang dimaksud dengan perempuan-perempuan yang belum haid dalam ayat di atas itu adalah saghirat (gadis-gadis kecil yang masih di bawah umur). Ayat di atas sekaligus menegaskan kebolehan saghirah yang belum mencapai usia haid untuk dinikahkan. Mengomentari ayat di atas itu pula, Abu Bakr al-Jassas (1405 H:346) menulis dalam Ahkam al-Qur’an-nya sebagai berikut, “Allah SWT menetapkan keabsahan perceraian gadis kecil yang belum mencapai usia haid—padahal talak tidak mungkin terjadi tanpa didahului oleh ikatan pernikahan resmi sebelumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat di atas melegalkan pernikahan anak yang masih di bawah umur” (al-Jassas, 1405 H:346).
Pertanyaannya sekarang, jika tolok ukur kebolehan mengawinkan saghirah itu bukan “usia” dan bukan pula datangnya “haid”, lantas apa parameter yang digunakan oleh para fuqaha’ klasik? Mereka menyatakan bahwa tolok ukurnya ialah kesiapan si gadis untuk melakukan “aktivitas seksual” (wath’i) berikut segala konsekuensinya, seperti mengandung (hamil), melahirkan, dan menyusui. Atau dalam ungkapan yang lebih santun, meminjam istilah al-Qarari:
“sampai si gadis kecil mencapai kesempurnaan dan kematangan fisik” (al-Qarari dalam www.ahlalhdeeth.com).
Hanya saja Ibn Syubramah (w. 144 H) memiliki pandangan lain—di mana ia melihat pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aishah yang masih kanak-kanak itu merupakan khususiyyah-nya (Al-Syawkani, 1973:252). Pendapat Ibn Syubramah ini banyak menuai kritik dari sejawatnya para fuqaha’. Dasarnya, tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang menegaskan bahwa praktik pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah itu merupakan khususiyyah (Ibn Hazm, t.t.:460.). Lebih jauh, Ibn Syubramah (dan orang-orang sependapat dengannya) dituding telah membuka ruang bagi para pembenci Islam untuk mencela kepribadian Nabi SAW. Misalnya, dengan menuding Nabi sebagai paedophil, yakni orang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur.
Seperti diwartakan oleh banyak hadis, perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah yang saat itu masih berusia 6 tahun (ada juga yang meriwayatkan 7 tahun), pada hakikatnya hanyalah akad nikah saja. Pengasuhan ‘Aisyah, yang masih berstatus gadis ingusan (jariyah) kala itu, tetap ditangani oleh kedua orang tuanya sampai ia mencapai pubertas di usia 9 tahun (pasca hijrah ke Madinah). Tidak diragukan, praktik Nabi tersebut telah menjadi tradisi sosial dalam masyarakat Arab sebelumnya, yang diamini oleh utusan Allah itu. Seandainya hanya Nabi SAW seorang yang mempraktikkannya, tentu setidaknya kita akan mendengar riwayat yang memberitakan pertanyaan sahabat mengenai persoalan tersebut.
Begitulah, praktik tersebut merupakan tradisi hidup (living tradition) yang lazim terjadi dalam masyarakat Arab saat itu. Ketika seorang wanita telah siap secara seksual untuk bereproduksi (hamil, melahirkan, dan menyusui), maka ia akan dinikahkan di usia yang dini. Al-Bukhari sendiri mendukung pendapat yang menyatakan bahwa tolok ukur dari kebolehan seorang gadis kecil (jariyah) untuk dinikahkan adalah “kesiapan ragawi”-nya untuk berhubungan seksual yang ditandai dengan tibanya usia pubertas (bulugh) (Al-Syawkani, 1973:252).
Sandaran lain dari konklusi ini adalah kisah Umm Ruman (ibu ‘Aishah) yang kerapkali memberikan kepada puterinya buah ketimun untuk mempercepat proses pematangan fisiknya (agar segera dapat hidup serumah dengan Nabi SAW), seperti diungkapkan sendiri oleh ‘Aishah berikut ini: “Ibu selalu memperhatikan diriku karena ingin agar aku segera dewasa. Tujuannya, agar aku segera dapat hidup serumah dengan Nabi SAW. Untuk mewujudkannya, aku sering (diminta ibu) mengonsumsi kurma dan mentimun agar pertumbuhan fisikku menjadi lebih pesat” (al-Baihaqi, t.t.:14246 dan 14247).
Mungkin muncul bantahan terhadap parameter kebolehan mengawinkan anak perempuan berdasarkan tercapainya usia pubertas (bulugh) dengan menggunakan argumentasi hadis berikut: “Jika seorang bocah mencapai usia 9 tahun, maka ia telah menjadi seorang gadis dewasa (lady)” (Ibn al-Jawzi, 1415 H:267). Hadis tersebut secara eksplisit memang menyatakan bahwa periode transisi perkembangan individu dari kanak-kanak (jariyah) ke dewasa (imra’ah) itu ditandai dengan tercapainya usia 9 tahun. Namun para fuqaha’ menolak hadis tersebut karena di dalam rantai sanad-nya terdapat perawi-perawi yang tidak dikenal (majahil), seperti Abd al-Malik bin Mahran (al-‘Uqaili, t.t.:989).