|
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori |
|
 |
Ribath Almurtadla
Al-islami |
|
|
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ) |
|
|
|
|
|
Book Collection
(Klik: Karya Tulis Pejuang) |
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki |
|
• |
Musuh Besar Umat Islam |
• |
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat |
• |
Dialog Tokoh-tokoh Islam |
• |
Carut Marut Wajah Kota Santri |
• |
Tanggapan Ilmiah Liberalisme |
• |
Islam vs Syiah |
• |
Paham-paham Yang Harus Diluruskan |
• |
Doa Bersama, Bahayakah? |
|
|
|
WEB STATISTIK |
|
Hari ini: Senin, 22 September 2025 |
Pukul: |
Online Sekarang: 8 users |
Total Hari Ini: 345 users |
Total Pengunjung: 6224472 users |
|
|
|
|
|
|
|
Untitled Document
PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL |
|
|
ISLAM DAN PERSOALAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR |
Penulis:
YUSUF HANAFI [4/12/2009] |
|
ISLAM DAN PERSOALAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR Edisi - 1
(CHILD MARRIAGE/EARLY MARRIAGE): TANTANGAN LEGISLASI DAN HARMONISASI HUKUM ISLAM
YUSUF HANAFI
Abstrak:
Kasus pernikahan anak di bawah umur bukanlah persoalan baru di Indonesia. Praktik ini sudah berlangsung lama dengan begitu banyak pelaku—tidak hanya di di pedalaman namun juga di kota besar. Penyebabnya pun bervariasi, mulai dari faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, hingga dangkalnya pemahaman budaya dan nilai-nilai agama.
Perkawinan di bawah umur, selain menimbulkan masalah sosial, psikologis, dan kesehatan, juga dapat menimbulkan persoalan hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa, misalnya, membuka ruang kontroversi antara hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional, karena masing-masing memiliki perspektif yuridis yang berbeda-beda.
Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain. Kedua, tantangan atas legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan urgensi peninjauan ulang atas perangkat undang-undang perkawinan guna menjawab tantangan legislasi menuju harmonisasi hukum Islam di era global dewasa ini.
Kata-Kata Kunci: pernikahan di bawah umur, legislasi undang-undang, harmonisasi hukum
Prolog: Kaum Muslim seringkali disudutkan oleh pertanyaan berikut, “Akankah Anda menikahkan puteri Anda yang baru berusia 6 atau 9 tahun dengan seorang lelaki tua yang telah berusia 50 tahun?” Mereka mungkin akan terdiam karena bingung atau justru marah karena tersinggung. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, “Jika Anda tidak akan melakukannya, bagaimana Anda bisa menyetujui pernikahan gadis ingusan berusia 6 atau 9 tahun bernama ‘Aisyah dengan Nabi Anda, Muhammad bin ‘Abd Allah SAW?”
Nabi Muhammad SAW merupakan uswah hasanah (teladan yang baik) bagi seluruh umat Islam—di mana perilaku, tindakan, dan peri kehidupannya selalu dijadikan sebagai acuan dan rujukan. Namun sekali lagi, dalam konteks “menikahi gadis di bawah umur” ini, kaum Muslim seolah dihadapkan pada pilihan yang dilematis. Sebab bagaimana pun, mayoritas Muslim tidak akan pernah berpikir—apalagi melakukan tindakan—menikahkan anak perempuannya yang baru berusia 6 atau 9 tahun dengan seorang pria dewasa yang lebih pantas menjadi bapak bahkan kakeknya. Jika ada orang tua yang setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, meski tidak semua, akan mencibir dan memandang sinis, terlebih kepada pria uzur yang tega menikahi bocah di bawah umur (Hanafi, http://www.islamlib.com [11/11/2008]).
Belum lama ini, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh pemberitaan kasus pernikahan gadis di bawah umur. Pujiono Cahyo Widianto, seorang miliarder beristeri satu dan berusia 43 tahun asal Semarang yang lebih populer disapa Syekh Puji, menikahi bocah berusia 12 tahun bernama Lutviana Ulfa pada 8 Agustus 2008 lalu. Lebih heboh lagi, Syekh Puji yang juga berstatus sebagai pengasuh Ponpes Miftahul Jannah itu berencana menikahi dua gadis ingusan lain dalam waktu yang tidak terlalu lama untuk mengenapkan jumlah bilangan isteri yang dikoleksinya menjadi 4 (empat) (Suara Media, 26/10/2008).
Ketika berita itu merebak ke permukaan, pro-kontra pun bermunculan. Mayoritas menolaknya sekaligus menuding Syekh Puji mengidap paedophilia, yaitu karakter kejiwaan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur. Tidak ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menfatwakan perihal keharaman tindakan Syekh Puji yang mengawini gadis ingusan di bawah umur itu.
Syekh Puji tidak tinggal diam. Dia berdalih bahwa tindakannya itu sesuai dengan tuntunan syariat, karena pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tatkala menikahi ‘Aisyah. Syekh Puji tidak sendiri. Pembelaan untuknya, di antaranya, datang dari Fauzan al-Anshari (dulu Kepala Departemen Data dan Informasi MMI) dan Puspo Wardoyo (pemilik Rumah Makan Wong Solo yang pernah memperoleh Poligami Award). Pembelaan serupa juga disampaikan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lewat juru bicaranya, Febrianti Abbasuni. Mereka berujar, umat Islam yang mengingkari pernikahan seperti itu berarti mengingkari sunnah Nabi, dan pada gilirannya dapat membahayakan keimanannya.
Perkawinan anak di bawah umur (child marriage—atau sering juga diistilahkan dengan early marriage), di tengah menguatnya sorotan dan ikhtiar dunia internasional untuk mereduksinya karena sederet dampak negatif dan bahaya yang ditimbulkannya, ternyata masih menjadi persoalan yang problematis dalam Islam. Seperti yang akan diuraikan dalam sub bahasan berikutnya, pandangan Islam tradisional yang dikonstruksi di atas paradigma fikih klasik cenderung melegalkan praktik tersebut. Karena itu, tulisan ini hadir untuk menunjukkan urgensi ijtihad baru guna menjawab tantangan legislasi menuju harmonisasi hukum Islam di era global dewasa ini.
|
1. |
Pengirim: Hery - Kota: Palembang
Tanggal: 16/1/2010 |
|
Menikahi gadis umur 9 tahun yang dilakukan oleh nabi muhammad kepada siti aisyah adalah khusus bagi nabi yang tidak boleh di contoh oleh umatnya |
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Sesuatu yang boleh/halal itu belum tentu baik untuk diamallan. Seperti makan beras mentah itu tidak beracun dan halal, tetapi tidak baik dilakuan, karena kurang baik menurut kesehatan. Sekalipun terkadang terjadi kasus-kasus tertentu dan tidak bermasalah, seperti kasus anak pemakan pasir dan pemakan sabun. Jadi pernikahan usia dini itu boleh dan sah, pada kasus-kasus tertentu tidak bermasalah bahkan terkadang membawa kebahagiaan, namun secara umum pernikahan dibawah umur sering membawa dampak sosial yang negatif khususnya bagi mempelai wanita, yaitu rawan menjanda. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kembali Ke Index Berita |
|
|
|
|
|
|
|