Derita Umat Islam di Gaza
Derita Kita Semua
Umar Faruq
Sabtu siang (27/12) di Masjid az-Zahra, sebuah masjid kecil di kamp pengungsi Nusairat di Jalur Gaza, sekelompok warga Muslim sedang melakukan shalat Dhuhur berjamaah. Baru saja mereka sedang bersujud rakaat pertama, tiba-tiba terdengar raungan pesawat tempur Zionis Israel dari kejauhan. Tak lama berselang, roket-roket pembunuh itu memuntahkan bom-bom ke arah warga Muslim. Dalam hitungan menit, masjid yang dipenuhi jamaah yang sedang bersujud itu luluhlantak. Masjid az-Zahra hancur lebur menimbuni para jamaah dalam keadaan sujud. Hanya doa yang membesarkan jiwa para jamaah, semoga Allah melindungi mereka dari kebiadaban Israel, dan mengembalikan tipu daya Yahudi ke leher kaum Zionis yang durjana.
Masjid-masjid Luluhlantak
Sungguh biadab. Kejahatan Israel kali ini meluluhlantakan pos-pos sipil Palestina yang terdiri dari lembaga sosial, rumah penduduk, rusun-rusun, pusat pendidikan. Termasuk juga masjid-masjid yang dihancurkan dengan ber ton-ton bahan peledak yang diimpor dari Amerika. Beberapa masjid korban serangan Israel yang membabi buta, antara lain:
Masjid Abu Bakar as-Shiddiq: Masjid yang terletak di timur kamp pengungsi Jabaliya sebelah utara Jalur Gaza ini dihancurkan Israel dengan beberapa roket. Masjid total luluh lantak. Hasilnya, puluhan warga sipil yang berada di masjid meninggal syahid dan puluhan lainnya luka-luka, sebagiannya masih berada di reruntuhan masjid.
Masjid Emad Aql: Masjid yang dihancurkan Israel pada Ahad sore (28/12) oleh roket-roket pesawat tempur Israel terletak di kabupaten utara Jalur Gaza. Lima orang warga sipil meninggal syahid di masjid ini dari satu keluarga dan sejumlah korban lainnya yang tinggal berdekatan dengan masjid ini luka-luka. Warga di sekitar masjid mengecam keras berlanjutnya serangan udara Israel yang menimbulkan banyak korban.
Masjid as-Syahid Izzuddin al-Qassam: Masjid ini terletak di Abasan Khan Yunis, selatan Jalur Gaza. Israel menghancurkannya tanpa ada alasan dan peringatan sebelumnya.
Masjid as-Syifa: Masjid yang dihancurkan Israel pada Ahad dini hari (28/12) terletak di RS Darus-Syifa Gaza. Masjid ini hancur total dan rata dengan tanah. Saat masjid ini dihancurkan, ada puluhan warga sipil berada di dalamnya. Mereka berasal dari keluarga pasien di rumah sakit tersebut. Padahal rumah sakit itu adalah terbesar di Jalur Gaza.
Masjid al-Abrar: Masjid ini terletak di kota Rafah.
Masjid al-Abbas dan as-Saraya: Israel juga menghancurkan Masjid Abbas terletak di kota Gaza dan markas polisi yang berdekatan dengan masjid. Masjid as-Saraya yang berada di Gaza juga menjadi sasaran Israel.
Aksi brutal ini mendapat kecaman keras dari warga Palestina. Jaringan Dakwah Masjid mengecam tindakan kejahatan Israel terhadap warga sipil Jalur Gaza dan tindakan perusakan terhadap masjid-masjid di Jalur Gaza. Mereka menyerukan agar warga Palestina melakukan balasan dengan serangan yang mengguncangkan Israel.
Serangan terhadap masjid adalah pelanggaran atas kehormatan tempat suci ini dan tempat ibadah. Tindakan ini bertentangan dengan semua undang-undang dan konvensi internasional. Kebiadaban Israel kali ini persis seperti yang pernah dilakukan pasukan Tartar ketika menyerang Baghdad.
Pembantaian Bertubi
Jalur Gaza dibombardir pesawat tempur Zionis tanpa henti. Rumah-rumah warga tak berdosa dan fasilitas sipil dibumihanguskan oleh rudal-rudal Israel. Ratusan syuhada gugur di jalan Allah, ribuan korban terluka terkena serpihan rudal dan reruntuhan gedung. Kian waktu jumlah para syuhada kian bertambah. Korban luka dan kondisi kritis kian sulit ditampung di rumah sakit setempat. Dalam pembantaian paling biadab itu, anak-anak dan kaum wanita banyak jadi korban.
Gempuran rudal Israel ke kampung-kampung Muslim di Jalur Gaza tak kunjung mereda. Serangan-serangan mematikan itu dilancarkan di saat umat Islam bersuka cita dengan datangnya Tahun Baru Hijriyah. Di saat penduduk dunia bergembira menyambut pergantian tahun, Muslim Palestina justru diselimuti ketakutan yang mencekam.
Mimpi umat Islam Palestina untuk memiliki negara yang berdaulat, yang lepas dari tekanan penjajah Israel, kian suram. Akhir tahun yang kelabu, yang dinodai dengan pembantaian warga Muslim Gaza yang tak berdosa semakin memperlebar jurang kesepakatan damai antara Palestina dan Israel. Gencatan senjata tak ubahnya hanyalah istirahat sejenak yang kemudian bersambung kembali dengan episode peperangan yang lebih dahsyat. Israel adalah biang perang yang selalu melanggar gencatan senjata.
Warga Muslim Palestina kehilangan harapan. PBB yang konon disebut sebagai juru damai negara-negara di dunia, justru tak mampu menghadang jatuhnya berton-ton bom yang dimuntahkan oleh Zionis Israel ke rumah-rumah warga Muslim dan masjid-masjid di Jalur Gaza. Draf Resolusi Perdamaian yang dirumuskakn oleh Dewan Keamanan (DK) PBB gagal karena diganjal oleh hak Veto Inggris dan Amerika Serikat. Sehingga dengan terganjalnya Resolusi Damai PBB tersebut, Israel akan bebas leluasa membantai umat Islam yang ada di daerah-daerah perbatasan.
Sejak awal, dua negara sejawat Israel tersebut, yaitu Inggris yang diwakili oleh John Sawers, duta besarnya di PBB serta Amerika Serikat yang diwakili oleh Zalmay Khalilzad memang seia sekata mengklaim bahwa Hamas-lah biang keladi masalah yang menyebabkan Israel melancarkan serangan membabi buta. Sementara negara-negara Arab satu kata bahwa Israel-lah yang paling bersalah dan harus bertanggung jawab telah merenggut nyawa warga sipil tak berdosa. Sedangkan serangan roket Hamas adalah serangan balasan.
Mimpi Kemerdekaan Abadi
Sejarah panjang negeri para Nabi itu telah mengantarkan rakyatnya untuk terus berperang melawan penjajah Israel yang biadab. Tuntutan membela kehormatan diri sebagai umat yang berdaulat meniscayakan umat Islam di serambi al-Aqsha untuk terus bertahan, melawan, dan mempertahankan tanah kelahirannya dari jarahan penjajah Zionis. Muslim Palestina harus selalu berjuang untuk meraih kemerdekaannya yang hakiki, yang tidak berada di bawah tekanan bangsa manapun.
Kamp-kamp pengungsian yang membentang disepanjang Jalur Gaza hanya bisa membisu, menadahi linangan air mata warga Palestina yang merindukan kedaulatan. Bayi-bayi menangis dalam buaian ibunya mendambakan kemerdekaan hakiki. Anak-anak meratap diantara reruntuhan puing-puing gedung dan masjid yang dibombardir pasukan Yahudi, mereka memimpikan negerinya menjadi sebuah negeri yang aman dan sejahtera, agar bisa bermain secara leluasa. Begitulah mimpi-mimpi kemerdekaan itu dibangun di antara tangisan dan doa, di antara harapan dan kenyataan.
Sampai saat ini masyarakat dunia merasakan kejanggalan ketika negara Palestina dianggap tidak ada. Padahal Palestina memiliki infrastruktur yang layak untuk disebut sebagai negara. Warga Palestina memiliki paspor Palestina apabila hendak ke luar negeri. Kedutaan Palestina juga bisa dijumpai di beberapa negara. Bahkan Palestina juga memiliki perwakilan di beberapa organisasi dunia seperti PBB, OKI, dan lain-lain. Namun sampai saat ini, kedaulatan Negara Palestina tak pernah ada. Negara-negara di dunia membisu, tak bisa berkutik menyaksikan kriminalitas kemanusiaan. Sedangkan negara adidaya berada di balik drama penjajahan Israel atas Palestina.
Upaya memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina dilakukan berkali-kali sejak beberapa puluh tahun lamanya. Tahun 1948, dideklarasikanlah Negara Palestina dengan Jerusalem sebagai ibukota. Namun akhirnya punah setelah kalah perang dengan Israel. Tahun 1988, para pengungsi Palestina memproklamasikan diri, namun gagal karena kurangnya pengakuan internasional. Tahun 1993, datang kesepakatan Oslo dimana antara Israel dan Palestina saling mengakui eksistensi masing-masing. Namun tidak berjalan mulus karena pada saat itu Palestina belum lahir dan menjadi tawanan dalam kesepakatan.
Dalam setiap kesepakatan yang dirumuskan, Israel selalu menampakkan watak aslinya sebagai bangsa Yahudi yang selalu melanggar perjanjian dan ingin menang sendiri. Israel ingin memformat Palestina sebagai sebuah negara boneka yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dan tidak memiliki kedaulatan penuh. Seakan-akan Palestina adalah sebuah lembaga pemerintahan dalam Negara Israel yang berdaulat. Jadi, segala yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri ditangani oleh lembaga otoritas Negara Palestina.
Ini tidak adil. Palestina dituntut untuk mengakui Israel sebagai sebuah negara, sementara Israel belum mau mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Israel mau mengakui kedaulatan Palestina dengan beberapa syarat yang sangat memberatkan Palestina, misalnya mencaplok Jerusalem sebagai bagian dari Negara Israel. Padahal secara de facto Jerusalem adalah wilayah Palestina yang di dalamnya terdapat al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam.
Maka, dalam rangka mempertahankan kehormatan dan memperjuangkan kemerdekaannya, warga Palestina harus berperang mati-matian melawan Israel. Kendati kekuatan persenjataan tidak berimbang, namun rakyat Palestina tak pernah gentar melawan agresi Israel. Dengan senjata seadanya, seluruh penduduk Palestina, baik di Jalur Gaza ataupun di Tepi Barat, terus mempertahankan diri dari serangan rudal Israel. Puluhan tank, serangan roket, dan berton-ton bom Israel dilawan dengan lemparan batu dan serpihan bangunan oleh pemuda-pemuda Palestina.
Kini, ketika harapan kedaulatan kian kabur, maka menjadi syahid di medan perang adalah impian umat Islam Palestina. Bom-bom bunuh diri dilancarkan untuk mengimbangi roket-roket Israel. Anak-anak kecil rela mengantarkan ranjau atau bom bunuh diri. Harapannya, agar dunia menyaksikan bahwa mereka selamanya takkan mau dijajah oleh Zionis Israel yang biadab. Agar al-Aqsha kembali menjadi milik umat Islam. Lebih baik hancur berkeping bersama ledakan mortir, daripada menerima kenyataan pahit di bawah tekanan kaum Zionis; dari pada menyaksikan kedurjanaan Israel menjarah kehormatan negerinya.