KEWAJIBAN BERUKHUWWAH ISLAMIYAH MELEBIHI SEGALANYA
Luthfi Bashori
Menjalin ukhuwwah islamiyah antar sesama muslim adalah suatu kewajiban bagi setiap pribadi umat Islam yang menginginkan keridhaan Allah dan sorga-Nya. Bahkan memusuhi saudaranya sesama muslim termasuk perbuatan tercela yang tidak dibenarkan oleh syariat dan diharamkan baginya masuk soga.
Diriwayatkan dari Sy. Hisyam bin Amir al-Anshari RA bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Tidak halal bagi seorang muslim memusuhi saudaranya muslim lebih dari tiga hari. Mereka berdua jauh dari kebenaran selama mereka memutuskan hubungan. Kemarahan siapa yang reda terlebih dahulu maka hal itu sebagai kafarat (tebusan dosa) untuknya, dan apabila mereka berdua meninggal di saat memutuskan hubungan tersebut, maka mereka tidak akan masuk surga selamanya. Jika salah seorang dari keduanya mengucapkan salam, namun tidak dijawab oleh yang lain, maka malaikatlah yang menjawab salamnya tersebut. Sementara yang lain akan mendapat jawaban dari syaitan." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, 402).
Apapun kedudukan dan jabatan seseorang, jika ia mengaku sebagai seorang muslim, maka wajib atas dirinya untuk menjalin ukhuwwah dengan sesama muslim lainnya, jika tidak maka ancaman Allah yang justru akan menanti dirinya saat ia memasuki liang kubur hingga tatkala menjalani kehidupan sesudah hari kebangkitan.
Sy. Muhammad Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya (sesama muslim) seperti kecintaannya terhadap dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).
Jika ada seorang muslim yang secara terang-terangan berbuat maksiat kepada Allah di muka publik, hingga dikhawatirkan kelakuannya itu membawa dampak negatif bagi lingkungannya, maka bolehlah perilaku orang tersebut diinkari dan dibenci, namun bukan dengan cara ‘memburu pribadinya’ untuk ‘dihabisi’ apalagi jika atas dasar kebencian.
Namun hendaklah berupaya menyadarkan si pelaku kemaksiatan itu, dan mengajaknya bertobat, baik disampaikan secara langsung maupun dengan cara lain yang dibenarkan oleh syariat Islam. Maka barang siapa yang mengupaya dakwah mulia amar ma’ruf dan nahi munkar semacan ini atas dasar kecintaan karena Allah, tentu akan mendapatkan pahala yang besar dari sisi-Nya.
Nabi Muhammad SAW bersabda, bahwa ada seorang lelaki pergi mengunjungi saudaranya (sesama muslim) yang bermukim di suatu negeri yang jauh dari tempat tinggalnya. Maka Allah SWT memerintahkan malaikat untuk menemaninya selama dalam perjalanan.
Lantas malaikat itu bertanya kepada lelaki tersebut, “Akan ke manakah engkau?”
“Mengunjungi saudaraku di suatu daerah.” Jawab lelaki itu.
“Apakah engkau berkunjung karena berutang budi padanya?” tanya malaikat itu lagi.
“Tidak,” tegas lelaki tersebut, “Sebab aku mencintainya semata-mata karena Allah ta’ala.”
Malaikat itupun berterus terang, “Sungguh Allah SWT mengutusku untuk menemanimu karena cintamu kepada saudaramu semata-mata karena-Nya.” (HR. Muslim).
Sungguh sangat mulia orang-orang yang dalam kehidupan bermasyarakat, selalu berusaha mengedepankan ukhuwwah islamiyah melebihi segalanya. Terlebih lagi jika ia bersedia berkorban dengan harta benda pribadinya, waktunya, pekerjaannya, jabatannya, almamater organisasinya dan segala macam hak yang dimilikinya, demi untuk menjalin persaudaraan sesama muslim dalam bentuk “Merajut Ukhuwwah Islamiyah” sesuai firman Allah yang artinya, "Berpeganglah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah berpecah belah/bercerai berai." (Qs. Ali Imran, 103).
Sy. Abu Hurairah RA mengatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, bahwasannya pada hari Qiamat kelak Allah SWT akan berfirman, “Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Ku-naungi mereka, ketika tidak ada naungan selain naungan-Ku.” (HR. Muslim)
Perbedaan pendapat selagi hanya masalah furu’ (cabang-cabang agama), seperti tata cara shalat, metode dan bidang garapan saat berdakwah, pengamalan ibadah sunnah yang bersifat ijtihadi, melilih corak madzhab maupun organisasi yang diikuti dan sebagainya, maka hal semacam itu sejatinya sudah terjadi sejak jaman kehidupan para shahabat Nabi, bahkan yang demikian itu adalah termasuk sunnatullah, jadi semua pribadi muslim sudah seharusnya dapat memahami dan memakluminya.
Sedangkan yang tidak boleh terjadi adalah melencengnya aqidah dan keyakinan seseorang yang mengaku sebagai muslim, namun berselisih dan bertentangan dengan aqidah dan keyakinan Rasulullah SAW, para shahabat dan mayoritas para ulama serta umat Islam di seluruh dunia dari masa ke masa, semacam kewajiban meyakini sifat kemahaesaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang tidak sama dengan sifat makhluk manapun, meyakini kesucian dan kemurnian Alquran, meyakini adanya para malaikat, meyakin Nabi Muhammad adalah penghujung para Nabi, meyakini adanya kehidupan setelah mati, meyakini adanya sorga dan neraka, serta ajaran-ajaran ketauhidan lainnya.
Karena jika aqidah ketauhidannya itu berselisih dan bertentangan dengan aqidah umat Islam, maka dapat mengeluarkan dirinya dari komunitas umat Islam baik di dunia maupun di akhirat kelak.