BENCANA BUKAN KARENA KEMAKSIATAN SEMATA
Oleh Yusuf Hanafi
Pada penghujung ini, nyaris tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kita terus disuguhi pemberitaan seputar bencana alam maupun tragedi sosial yang susul-menyusul, mulai dari gempa bumi, maupun banjir yang diakibatkan oleh gelombang air laut pasang dan hujan deras, musibah tanah longsor di berbagai wilayah Tanah Air, kenaikan harga sejumlah kebutuhan dasar sampai kerusuhan suporter sepakbola di pentas Liga Indonesia. Telah banyak kerugian material yang ditimbulkannya bahkan hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Indonesia yang bermuram durja, mungkin itulah ungkapan yang pas untuk mengilustrasikan wajah nasional bangsa ini.
Merespons situasi yang kalut tersebut, muncul beragam spekulasi pendapat yang berusaha menjelaskannya. Ada sementara orang, dengan tanpa ragu, membuat identifikasi bahwa rentetan musibah yang menimpa bangsa Indonesia belakangan ini diakibatkan oleh alam yang sudah bosan atas ulah manusia atau karena Allah telah murka. Dengan lantang mereka menvonis serangkaian musibah itu sebagai azab Ilahi.
Pernyataan tersebut jelas sangat gegabah dan provokatif karena mengabaikan sejumlah variabel lain yang semestinya juga dipertimbangkan. Selain itu penisbatan malapetaka secara serampangan kepada Allah SWT merupakan sebuah penghinaan terhadap-Nya. Pasalnya, dalam QS. Al-Maidah:2, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Nikmat apapun yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.”
Ada pula asumsi yang menghubung-hubungkan terjadinya bencana di Indonesia dengan eskalasi kemaksiatan yang menjangkiti seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan elit sampai alit, baik yang berdimensi personal maupun komunal. Menurut hemat penulis, pendapat ini pun tidak terlalu tepat. Sebab seandainya benar, seharusnya bukan Indonesia yang lebih dahulu didera bencana, melainkan Las Vegas (yang dikenal sebagai kota judi), Hollywood (sebagai pusat industri film), atau Israel (yang telah lebih dari setengah abad merampas bumi Palestina).
Kita harus bijak dan arif dalam merespons peristiwa apapun yang terjadi dalam hidup ini, termasuk dalam menyikapi rentetan bencana akhir-akhir ini. Pada dasarnya bencana dapat dikelompokkan menjadi dua katagori. Pertama, murni kehendak Allah SWT, seperti kematian atau pergeseran lempeng pembatas antar benua sehingga mengakibatkan gempa bumi. Ciri dari bencana jenis ini, kejadiannya terjadi dalam skala besar dan berada di luar jangkauan nalar keilmuan manusia. Kedua, kolaborasi antara kehendak Allah dan campur tangan manusia, baik berupa ujian, peringatan, atau bahkan menyentuh pada ranah azab—tergantung latar belakang terjadinya serta dalil yang dijadikan landasan penilaiannya.
Bencana apapun yang menimpa umat Rasulullah, seyogyanya dipandang sebagai salah satu dari enam perspektif berikut. Pertama, sebagai ujian bila menimpa orang beriman dan bertakwa. Karena pada umumnya seorang muslim akan diuji oleh Allah SWT atas komitmen keimanan dan ketakwaannya untuk melihat sejauh mana ketabahan dan kesabarannya. Allah berfirman yang artinya:
\"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, “Kami beriman”, dan mereka tidak diuji?! (QS. Al-Ankabut:2)”
Dalam yang ayat yang lain, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji orang-orang yang terpilih di antaramu” (QS. Muhammad:31).
Kedua, sebagai upaya meningkatkan derajat keimanan. Semakin tinggi iman seseorang, semakin tinggi pula ujian yang ditimpakan kepadanya. Dalam al-Quran, Hadis, dan sirah nabawiyah (sejarah nabi), banyak kita temukan kisah musibah yang menimpa para nabi. Nabi Nuh misalnya, selama 950 tahun berdakwah hanya mendapatkan sedikit orang yang beriman, sementara kebanyakan umatnya kufur bahkan memperoloknya (QS. al-Ankabut:14). Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrudz (QS. al-Anbiya`:57-70), Nabi Ayub diuji dengan ludesnya harta dan kematian hampir seluruh anggota keluarganya serta tubuhnya yang dijangkiti banyak penyakit (QS. Shad:41), dan Rasulullah yang diejek dan disakiti orang-orang kafir Makkah, bahkan hendak dibunuh.
Rasulullah pernah ditanya oleh Sahabat Sa’ad bin Abu Waqqash tentang orang yang paling berat cobaannya. Beliau menjawab, “Para nabi. Kemudian orang-orang yang derajatnya dekat dengan para nabi” (HR. al-Hakim dan al-Thabrani). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim terkena duri, atau lebih dari itu, kecuali Allah mengangkat baginya satu derajat, dan menghapuskan darinya satu dosa” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga, sebagai bukti cinta Allah terhadap hamba-Nya. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda:
“Ketika Allah mencintai suatu kaum, Dia mengujinya (dengan memberinya musibah). Siapa yang bersabar, maka dia akan diganjar pahala (atas kesabarannya itu). Sedangkan bagi yang berkeluh-kesah, ia pun hanya memperoleh keluh-kesahnya itu” (HR. Ahmad dan al-Thabrani).
Keempat, sebagai tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang atau segolongan kaum. Kebaikan ini berbentuk pemberian pahala dan penghapusan dosa yang diberikan Allah bagi orang yang bersabar dalam menjalani musibah.
Rasulullah SAW bersabda: ”Umatku umat yang dirahmati, di mana tidak ada atas mereka siksaan di akhirat. Siksaan mereka di dunia berupa bencana, gempa dan pembunuhan” (HR. Abu Dawud).
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah, Rasulullah bersabda, “Ketika dosa seorang hamba sudah sedemikian banyak, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghapusnya, maka Allah mengujinya dengan kesusahan agar dosanya terhapuskan” (HR. al-Bazzar).
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi hambanya, Dia mengujinya dengan bala (musibah). Dan ketika Allah menguji hambanya, Dia memberatkannya.” Saat para sahabat bertanya maksud dari memberatkannya, Rasulullah bersabda, “Allah tidak meninggalkan baginya keluarga dan harta” (HR. al-Thabrani).
Kelima, sebagai teguran atau peringatan.
“Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka disegerakan baginya hukuman (di dunia ini) atas dosanya.” (HR. al-Hakim).
Keenam, sebagai siksa Allah di dunia. Dalam al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa ketika kemaksiatan dan kejahatan merajalela, dan tidak ada orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi munkar, maka siksa Allah (musibah) akan menimpa mereka secara keseluruhan, Allah berfirman yang artinya:
“Dan, peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. al-Anfal ayat 25).
Dan sabda Rasulullah yang lain, “Demi Dzat yang menguasai diriku, sungguh kamu akan menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar, atau kamu akan dikirimkan siksa dari Allah, kemudian kamu berdoa kepada-Nya dan tidak dikabulkan” (HR. al-Tirmidzi)
Semoga Allah memasukkan kita dalam golongan hamba-hambanya yang senantiasa bertakwa dan bersabar menghadapi segala musibah. Amin.