PARA ULAMA ADA TIGA MACAM
Luthfi Bashori
Allah ta’ala berfirman:
(إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ )
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Surat Fathir: 28)
Di antara syarat menjadi ulama adalah mendalami ilmu syariat Islam, lantas mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari karena berdasar rasa takut kepada Allah.
Jika ada orang awam yang takut kepada Allah, ahli ibadah dan selalu menjauhi kemunkaran, namun tidak mengerti ilmu syariat kecuali hanya sedikit, maka tidak dapat dikategorikan sebagai ulama, namun termasuk orang awam yang shalih.
Demikian juga jika orang yang mendalami ilmu syariat Islam, untuk jadikan sebagai bahan diskusi namun tidak takut kepada Allah, ia jarang beribadah kecuali hanya kadang-kadang saja dan itupun untuk niat pamer. Tidak peduli terhadap kemunkaran yang ada di depan matanya, bahkan ia sering terjerumus ke dalam kemunkaran itu sendiri dengan melanggar hukum syariat Islam, maka orang semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai ulama.
Jika ia mendapat gelar dari masyarakat sebagai ulama, sesungguhnya ia adalah ulama suu’ (penjahat) yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW akan bermunculan di akhir jaman.
Seperti kedudukan hadits maudhu’ (palsu), sekalipun palsu artinya bukan dari sabda Nabi Muhammad SAW, namun tetap disebut sebagai hadits tetapi palsu dan haram hukumnya untuk diriwayatkan. Maka ulama suu’ itu juga tetap disebut sebagai ulama, tetapi yang jahat dan tidak boleh diikuti oleh umat Islam.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah dan benar-benar takut, adalah para ulama yang mereka itu paham betul tentang hakikat Dzat Allah ta’ala, karena ketika pengetahuannya kepada Yang Maha Agung dan Maha Kuasa sudah sempurna dan bekal ilmu mengenal Allah sudah memadai, maka perasaan takut kepada-NYA akan semakin besar.”
Di kalangan para ulama itu ada tingkatan yang berbeda-beda. Seorang ahli tahqiq berkata bahwa ulama ada tiga macam, yakni:
1. Seorang ulama yang mengenal Allah di dalam hatinya, namun kurang mendalami tentang hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah, ia lebih sibuk mendalami rahasia-rahasia Allah, sehingga waktunya tidak sempat untuk mendalami ilmu syariat Islam sebagai bahan berdakwah mengajak umat manusia agar beriman dan bertaqwa kepada Allah.
2. Seorang ulama yang mendalami hukum-hukum Allah, tetapi kurang mengenal rahasia tentang Allah, ia lebih dominan mendalami tentang masalah halal dan haram serta ilmu syariat lainnya untuk dijadikan bahan dakwah demi kemashlahatan umat manusia.
3. Seorang ulama yang mendalam ilmu syariat Islam sesuai dengan perintah dan larangan dari Allah sebagai bahan dakwah, dengan tujuan demi menyelamatkan kepentingan umat manusia, sekaligus mendalami ilmu tentang rahasia Allah, sehingga merasa seakan-akan hatinya selalu hidup bersama Allah.
Yang paling mulai di antara ketiga golongan ini adalah ulama yang merangkap antara mendalami ilmu syariat dan ilmu hakikat yaitu mengenal Allah, ia menyatukan antara alam yang dapat dipikirkan dan alam yang dapat dirasa, ada kala ia bersama Allah dengan perasaan takutnya, ada kalanya pula ia bersama manusia dengan rasa kasih sayangnya. Jika ia bergaul dengan manusia, maka bagaikan manusia yang tak pernah mengenal Tuhannya, dan jika sedang bermunajat kepada Tuhannnya, seolah-olah ia tidak mengenal manusia. Sikap seperti inilah yang menjadi kehidupan para rasul dan para shidiq.
Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Hendaknya kalian senang bertanya kepada para ulama (akhirat), bergaul baik dengan ahli hukum (syariat) dan senang duduk dengan tokoh-tokoh (pejuang Islam).” (HR. Ad-Darimi)