Majalah Mafahim
ADAKAH PEMIMPIN SEPERTIMU LAGI?
Apa kabarmu di surga?
Semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu di sana.
Ya Rasul, Namaku Vienna, murid kelas enam SD. Sebelumnya aku tidak terlalu mengenalmu. Sosokmu hanya kukenal sebatas seorang Nabi utusan Allah. Meskipun begitu, namamu sering kusebut di antara shalat lima waktuku yang masih bolong-bolong.
Tapi kejadian seminggu lalu telah membuka piranku tentangmu. Seminggu lalu aku ketahuan mencontek ketika ulangan agama. Pak Anwar, guru agamaku yang rese\` bin killer menghukumku untuk membaca tentang Risalahmu dan menceritakannya kembali di depan kelas.
Karena alasan itu, aku dengan terpaksa membaca buku tentang riwayatmu. Sebuah buku tua dan lusuh yang telah menghuni perpustakaan kecil di rumahku selama sepuluh tahun. Tidak seorang pun pernah menyentuhnya. Ayah membelinya sebagai pelengkap referensi di rumah kami.
Ternyata, lembar demi lembar yang kubaca semakin membuka mata dan hatiku tentang sosokmu yang sebenarnya. Sekaligus menggugah kerinduanku padamu. Aku menemukan figure baru yang selama ini hanya melintas di benakku sebagai slogan semata. Tidaklah cukup kata-kataku ini untuk meng-ungkapkan kekagumanku dan rasa penyesalanku yang teramat dalam karena meninggalkanmu selama ini.
Rasulku,
Seandainya kau masih di sini, mungkin kau akan menangis melihat keadaan umatmu. Seperti yang pernah engkau perkirakan, sekarang kami tidak beda dengan buih di lautan. Banyak dari kami yang tidak bangga lagi dengan keislaman¬nya, bahkan kami menjadikannya sekadar topeng semata. \"Islam KTP\" begitu yang sering kudengar. Jujur saja, aku termasuk salah satu di dalamnya.
Aku malu Rasul, sebab Islam identik dengan kebodohan dan kemiskinan. Belum lagi tuduhan teroris yang sekarang melekat pada kami. Seandainya saja kau masih ada, tentu kau akan
memimpin kami pada kejayaan Islam seperti dulu. Di mana Islam tidak saja ditakuti tapi juga disegani. Ketika kehadirannya seperti membawa air sejuk yang menghilangkan dahaga kehidupan bagi siapa saja.
Rasulku,
Andai kau tahu betapa rindunya kami pada sosok pemimpin sepertimu. Ketika kesederhanaan dan kesahajaan menjadi pakaian kebesaranmu. Di manakah akan kami dapatkan pemimpin sepertimu? Seorang kepala negara yang tidur hanya beralaskan kulit dari serat dan mengganjal perut dengan batu demi menahan lapar.
Bahkan kau terpaksa menggadaikan baju besimu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal, kau seorang kepala negara. Orang nomor satu di negerimu! Beda sekali dengan pak Roni, lurah di daerahku yang menjadi kaya raya setelah men-duduki jabatan tersebut selama lima tahun.
Kini tidak ada lagi pemimpin sepertimu. Ketika kau sakit berat, kau malah khawatir dengan uang 7 dinar di tanganmu, karena menurutmu fakir miskin lebih berhak untuk memegangnya. Kau tidak pernah mau diperbudak oleh kekayaan, harta benda, kekuasaan atau apa saja yang akan menguasaimu selain Allah. Bahkan pada detik-detik terakhir menghadapi sakaratul maut, kau masih sempat memikirkan nasib umatmu kelak. \"Umati...umati...umati....\" begitu yang terucap dari bibirmu. Ah Rasul, seharusnya
pemimpin-pemimpin di negeri ini malu dengan keteladananmu. Ketika mereka dengan penuh kebanggaan hidup bergelimang harta di saat rakyat meringis menahan lapar.
Rasulku tersayang,
Air mata ini tak lagi sanggup menetes ketika membaca akhlakmu yang begitu tinggi dan mulia. Kau maafkan setiap orang yang menyakitimu. Kau mengasihi orang-orang miskin dan lemah. Kau tersenyum dan memberi salam kepada siapa saja yang Kau jumpai. Kau tidak malu duduk makan bersama khadimat (pembantu). Kau penuhi semua janjimu. Kau mempercepat shalatmu demi seorang makmum yang renta, bahkan kau membukakan pintu untuk seekor kucing yang ingin berlindung di rumahmu. Kau selalu memberi tanpa takut kehilangan. Kaulah satu-satunya manusia yang ketika dipuja justru mengatakan, \"Aku hanyalah hamba Allah.\" Sungguh, tidak ada kata yang pantas keluar dari mulutku selain pujian untukmu.
Rasul,
Andai saja kami bisa mengikuti setiap jejak langkahmu. Kau adalah pejuang sejati. Laki-laki pemberani yang pernah kukenal. Kau berjuang habis-habisan membela agamamu. Kau tidak kenal menyerah selain kepada Allah. Tidak takut kecuali terhadap dosa dan maksiat. Tidak gentar menghadapi musuh. Kau letakkan Al Quran di langan kananmu dan pedang di tangan kirimu. Bukan hanya kerabatmu yang mengagumi akhlakmu, tapi lawan pun jatuh cinta pada kharismamu.
Begitu banyak warisan budi yang kau turunkan pada kami.
Ketika poligami merebak, sebagian berdalih bahwa itu adalah bagian dan sunahmu, sekalipun itu benar, namun, kau dulu menikahi wanita-wanita itu demi menolong janda-¬janda dan anak-anak yatim yang ditinggal perang. Bukan untuk kesenangan tapi untuk suatu tujuan yang amat sangat mulia.
Wahai lelaki yang menjunjung tinggi kedudukan dan martabat kaum wanita! Rasa-kanlah hatiku yang tercabik, mendengar fitnah yang ditujukan padamu. Ketika propaganda barat menuduhmu merendahkan kaum wanita dan aku hampir saja terpengaruh dengan hal itu. Padahal, sungguh, kaulah seorang ayah dan suami yang baik. Kau selalu berlaku sopan santun kepada istri-istrimu. Menjadikan mereka sebagai amanah Allah. Suami yang tidak malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Suami yang ikhlas membantu istrinya mencuci pakaian, menambal pakaiannya sendiri bahkan memeras susu kambing dengan tangannya sendiri.
Rasulku,
Betapa aku sangat rindu padamu. Rindu pada kepribadiannmu. Pada kemuliaan akhlakmu. Kumohon, doakanlah kami ya Rasul, doakan umatmu ini agar tidak menjadi umat yang terbelakang, menjadi umat yang bisa memimpin dunia, yang bisa bersatu di atas perbedaan¬ furu’iyyah ijtihadiyyah.
Rasul, buku tua yang telah kubaca itu sekarang amat berarti bagiku, sebab di situ aku telah menemukan idola baruku, besok, ketika aku harus menceritakan tentang dirimu di depan kelas, akan aku ceritakan kalau kau lebih gagah dari Brat Pitt, lebih cool dari Leonardo D Caprio, lebih mengagumkan dari Justine Timberlake. Sosokmu tidak pernah tertandingi dan tidak pernah terganti. Kaulah satu-satunya manusia pilihan Allah. And I am so proud of you.
Ya Rasul yang kucintai.
Berikanlah syafaatmu, agar kelak kami dapat hidup berdampingan denganmu.