BERGAULLAH DENGAN ULAMA HAKIKI
Luthfi Bashori
Tentang definisi siapa yang disebut ulama itu? Maka telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Alquran yang artinya:
“Apakah engkau tidak melihat bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan Kami mengeluarkan dengan air itu buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung ada garis-garis putih,  merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada yang sehitam burung gagak? Dan demikian juga di antara manusia, hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun”. (QS. Al-Fathir, 28-29).
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba: 6).
Jadi, yang dinamakan sebagai ulama adalah orang yang mendalami ilmu agama lantas mengamalkan ilmunya karena rasa takut kepada Allah, baik di saat sendirian maupun saat bergaul di tengah masyarakat.
Jika ada orang yang ahli ibadah karena takut kepada Allah, namun tidak mendalami ilmu agama, kecuali hanya sekedar tahu agama, maka bukan disebut ulama, tapi bisa dikatakan sebagai orang shaleh.
Jika ada orang yang mendalami ilmu agama, namun tidak takut kepada Allah, seperti sering melanggar syariat, melanggar akhlaq, apalagi jika melanggar aqidah ketauhidan, maka bukan disebut ulama, tetapi bisa dikatakan sebagai orang pandai yang fasiq (ahli maksiat). Jika ia mengaku sebagai ulama atau terlanjur dijuluki ulama, maka ia dikatakan sebagai ulama suuk (ulama jahat atau penjahat berbaju ulama).
Ulama yang hakiki adalah orang yang mendalami ajaran Islam dan selalu mengajak kebaikan serta mencegah kejahatan (amar ma’ruf & nahi munkar). Sebaliknya, ulama suuk adalah orang yang menampakkan pandai ilmu agama namun selalu mengajak kepada kejahatan dan menghalang-halangi kebaikan (amar munkar & nahi ma’ruf).
Tentang ulama hakiki, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bertanyalah kepada ulama, bergaullah dengan orang-orang bijak, dan duduklah dengan tokoh agama.”
Dikatakan pula, “Bertanya kepada para ulama menyebabkan kamu mengharapakan pahala dari Allah SWT, dan menyebabkan kamu takut kepada hukuman Allah. Bergaul dengan orang-orang bijak dapat mendekatkanmu dari perbuatan terpuji dan menjauhkan dari perbuatan cela, sedangkan duduk bersama tokoh agama terkemuka menyebabkan kamu tidak menginginkan sesuatu selain karunia dari Allah.”
Di sis lain, Rasulullah SAW mengingatkan umat Islam dalam sabdanya:
"Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal:
Pertama, keduniaan berlimpah sehingga manusia saling mendengki.
Kedua, orang-orang jahil yang berusaha menafsirkan Alquran dan mencari-cari ta`wilnya, padahal tak ada yang mengetahui ta`wilnya kecuali Allah.
Ketiga, ulama yang ditelantarkan dan tidak dipedulikan oleh umatku.`` (HR Thabrani).
Â
Rupanya, apa yang dikhwatirkan oleh Rasulullah SAW, kini telah terjadi. Betapa banyak umat Islam yang saling berebut harta dan kedudukan, hingga saling menjegal dan saling menjatuhkan sekalipun sesama umat Islam sendiri.
Betapa banyak bermunculan, orang-orang yang bukan ahli agama, tiba-tiba berbicara tentang hukum agama, berfatwa sesuai keinginan hawa nafsunya, serta menerangkan Alquran maupun Hadits Nabi, SAW hanya berdasarkan asumsi dan pemahaman pribadinya, tanpa mau merujuk kepada pendapat para ulama Salaf terdahulu yang ahli di bidangnya.
Betapa banyak pula sebutan ulama/kyai/ustadz/tokoh agama yang disematkan oleh masyarakat kepada seseorang hanya karena melihat ketokohan atau garis keturunannya, yang hakikatnya bukanlah ahli agama yang mumpuni. Sehingga mengacaukan mana ulama yang hakiki dan mana ulama suuk atau paslu. Akibatnya, ulama yang hakikpun seringkali ikut mendapatkan sorotan negatif, gara-gara perilaku negatif dari ulama palsu tersebut.
Bahkan panggilan ulama/kyai/ustadz/tokoh agama akhir-akhir inipun semakin ramai disandangkan kepada tokoh ahli maksiat, kepada tokoh ahli berbohong khususnya dalam urusan agama, kepada tokoh yang tidak berakhlaq islami, maupun kepada tokoh organisasi yang tujuan hidupnya hanyalah untuk mengejar jabatan dan mengejar banyaknya fasilitas dari kedudukannya.  Â