Nurkholis
Ada kanker ganas yang sedang menyerang dan menggerogoti akidah kaum Muslimin. Kanker ganas itu sangat berbahaya dan berdampak besar terhadap perkembangan pemikiran generasi Islam di masa mendatang. Kanker ganas itu bernama Hermeneutika. Mengapa? Hermeneutika adalah metode tafsir Bible yang kemudian dikembangkan untuk menafsirkan-memahami- al-Quran mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Torah dan Gospel.
Mungkin kita harus menyadari, bahwa selama ini kita kurang konsentrasi ke masalah-masalah kajian metodologis atau tata cara memahami agama kita secara benar dan mendalam, di sisi lain banyak pemikir dan tokoh kita sangat peduli terhadap wacana pemikiran Islam yang berkaitan dengan fiqh, apalagi politik. Ini bukan berarti sebuah dikotomi. Tetapi banyak kasus lahirnya berbagai aliran sesat terjadi karena salah dalam memahami teks-teks keagamaan kita. Dengan demikian sebenarnya masalah pemikiran Islam itu perlu sebuah pembelajaran metodologis secara benar dan hanif serta mendapat porsi yang proporsional.
HERMENEUTIKA, MAKNA DAN HISTORISNYA Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika) yang berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kata tersebut merupakan derivat dari kata “Hermes”, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata “hermeneias” berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu.
Adapun pembakuan istilah ‘hermeneutics’ sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, terjadi sekitar abad ke-18 Masehi. Schleiermacher seorang teolog asal Jerman, konon sebagai tokoh yang pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi ‘hermeneutika umum’ (General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk “membebaskan tafsir dari dogma”, ia bahkan melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum, “semua teks diperlakukan sama,” tidak ada yang perlu diistimewakan, apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks karya manusia biasa.
Kemudian datang Dilthey yang menekankan ‘historisitas teks’ dan pentingnya ‘kesadaran sejarah’ (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati ‘jarak sejarah’ antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita ‘mengalami kembali’ (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut.
Pada awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak.
Habermas malah lebih jauh lagi . Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.
BAGAIMANA METODOLOGI TAFSIR ALA HERMENEUTIKA? Hermeneutika tampaknya lagi ngetren sebagai “ilmu tafsir” di perguruan tinggi Islam Negeri maupun swasta. Seperti sebuah model baju baru, hermeneutika banyak menarik minat kalangan muda, tokoh Islam, ataupun cendekiawan muslim. Di UIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta misalnya, Hermenutika sudah diajarkan sebagai mata kuliah untuk mahasiswa. Ini terjadi mungkin karena kurang cermat atau memang terlalu gandrung terhadap hal baru dari Barat sehingga mereka begitu terkagum-kagum dengan tafsir ala hermeneutika, bahkan sampai menyerukan agar metode tafsir “klasik” al Quran tidak digunakan lagi.
Ada beberapa asumsi dasar yang harus dipahami untuk bisa melihat hermeneutika secara komprehensif. 1) Hermeneutika lahir dari kekecewaan terhadap sejarah pemalsuan Bible dan monopoli penafsiran pihak gereja, karena ternyata teks yang semula dianggap suci, ternyata didapati jauh lebih banyak palsunya daripada aslinya. 2) Hermeneutika lahir dari kultur Barat yang sangat jauh dari dzauqiyah keimanan dan keislaman serta haqiqah syar’iyyah. 3) Hermeneutika sebagai metode interpretasi pemahaman dibangun atas teori epistema yaitu teori pengetahuan tentang asal-usul, anggapan, karakter, rentang, kecermatan, kebenaran pengetahuan. Ini sering digunkan oleh golongan Islam Liberal dalam memahami al Quran.
Beberapa syarat yang harus dimiliki penganut hermeneutika yang hendak memahami sebuah teks menurut paradigma mereka : 1) Semua teks harus dianggap sama, semua merupakan karya manusia. Kalau ini diterapkan dalam al Quran berakibat pada pengingkaran al Quran sebagai Kalamulloh, keasliannya diragukan dan kemutawatirannya juga akan digugat. 2). Semua teks harus dianggap sebagai produk sejarah atau produk budaya. Tentu saja hal ini tidak bisa diberlakukan pada al Quran sebab kebenaran al Quran bersifat mutlak sebagai wahyu Alloh. 3).Harus bersikap skeptis (ragu) dalam melihat kebenaran darimanapun asalnya. Al Quran tidak bisa dibantah kebenarannya karena Alloh menjamin keasliannya, kesahihan periwayatannya dari zaman ke zaman sangat terjamin. 4) Pelaku hermeneutika harus menganut relativitas epistemologis. Artinya semua tafsir bersifat relative tidak ada yang mutlak benarnya. Dengan pemahaman seperti ini mereka menolak produk fiqh lama, tafsir lama bahkan al Quran bisa ditafsirkan seenaknya sendiri. Boleh jadi menurut itu benar, menurut ini salah. Maka akibatnya akan lahir mufasir-mufasir liar yang tak terkendali yang akan mendekontruksi hukum-hukum Islam secara gegabah.
Tokoh-tokoh penganut hermeneutika antara lain Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabir, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zeid, Farid Essac, Amin Abdullah, Aminah Wadud, Amin al-Khuli, Aisyah Abdurrahman (Binti asy-Syathi’). Adapun pernyataan-pernyataan mereka antara lain sebagai berikut :
- Setelah abad 20 Fazlur Rahman, Arkoun diusul Nasr Abu Zayd mengusung teori Hermenutika sebagai metode tafsir al Quran. Seakan-akan umat Islam mengahadapi persoalan denga kitab sucinya (al Quran) sebagaimna umat Kristen terhadap Bible.
- Nashr Abu Zayd mengklaim bahwa al-Quran adalah produk budaya.
- Arkoun menggugat otoritas dan keabsahan tafsir al-Quran, pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqoha’ untuk menafsirkan al-Quran tidak relevan.
- Amin Abdullah mengatakan “Metode penafsiran al-Quran selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks al Quran tanpa pernah mengeksplesitkan kepentingan audiens terhadap tekas.
- Hassan Hanafi cara baru membca al Quran, sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwrisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, menyebabkan kemunduran.
- Amin al-Khuli menyatakan bahwa awal suatu perubahan adalah membunuh pemahaman lam (Inna awwala tadjid qotl al-qodim)
- Farid Esack mengidealkan munculnya ‘Islam Afrika Selatan” yang memunculan Hermeneutika Quran untuk Pembebesan.
- Aminah Wadud memunculkan Hermeneutika Feminis Quran.
Kita perlu berpikir kritis untuk memahami dan menanggapi pola pemikiran baru yang tidak relevan dengan semangat syari’at. “Cara memahami” adalah hal yang sangat pokok. Hermeneutika harus dianggap masalah serius dan perlu di dudukkan secara tepat di depan syari’at. Tradisi Islam tidak mengenal cara tafasir semacam itu. Dalam tradisi Islam kita tidak diajari untuk “curiga” terhadap penafsir awal, skeptis (ragu) terhadap teks-teks ajaran agama kita bahkan itu bisa dikategorikan murtad. Kalau teks (al Quran) dipisahkan dari pengarangnya seperti kemauan hermeneutika maka siapakah yang berani berhadapan dengan Alloh dan Rosul-Nya sebagai sumber asal al-Quran dan penyampainya kepada kita?
Sebagai penutup maka patut kita renungkan dalam-dalam Firman Alloh, Sabda Nabi dan sahabat-sahabatnya sebagai berikut :
Dan tiadalah Nabi Muhammad itu berkata-kata menurut hawa nafsunya, tidak lain yang ia ajarkan semata-mata wahyu yang diwahyukan Alloh kepadanya. (an-Najmu)
Siapa yang mengartikan ayat al Quran hanya dengan pendapatnya atau dengan dasar yang ia tidak mengetahuinya, maka hendaknya menempatkan dirinya dalam neraka (H.R at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan Ibnu Jarir)
Siapa yang berpendapat mengenai ayat kitab Alloh hanya semata-mata berdasarkan akal pikiran, lalu bertepatan maka itu pun salah (Hadits Ghorib riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i)
Sayyidina Abu Bakar as-siddiq berkata : “Langit yang mana akan dapat menaungi aku, atau bumi mana yang dapat aku pijak, jika mengatakan sesuatu dalam kitab yang belum aku ketahui”.
Ubaidillah bin Umar r.a. berkata : “Saya telah mendapati ulama Madinah, mereka benar-benar menganggap besar orang yang berani menafsirkan al Qursn”.
Uabidah as-Salmani ditanya tentang pengertian ayat al Quran, dijawab, “Sudah tidak ada orang-orang yang mengetahui mengenai apa turnnya ayat al Quran itu, karena itu hendaknya anda bertakwa pada Alloh dan berhati-hati”.
Masruq berkata : “Berhati-hatilah kalian dalam tafsir, sebab berarti meriwayatkan sesuatu dari Alloh”.