MASIH INGINKAH BEREBUT “FITNAH JABATAN ?"
Luthfi Bashori
Jabatan di pemerintahan (termasuk di sebuah ormas) hakikatnya adalah cobaan dan fitnah dunia bagi seorang muslim. Apalagi setiap pemimpin itu kelak akan ditanya tentang keadaan rakyat yang dipimpinnya. Termasuk apakah sang pemimpin itu sudah mengurusi, bagaimana pelaksanaan shalat dari setiap orang yang menjadi tanggungannya, demikian pula dengan kewajiban ibadah yang lainnya.
Jika tidak, maka hal itu akan menjadi tanggungannya di akhirat nanti.
Setiap pemimpin juga akan ditanya, apakah ia sudah mencegah kemaksiatan yang berkembang di tengah kehidupan masyarakatnya?
Jika tidak, maka hal itu juga akan ditanyakan oleh malaikat yang bertugas menanyai perbuatan setiap orang yang meninggal dunia.
Saat Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin negara Islam yang beribu kota di Madinah, maka beliau rajin melaksanakan inspeksi di tengah kehidupan masyarakat, baik itu urusan ibadah, seperti ajakan shalat berjamaah hingga banyak hadits yang terkait ajakan shalat berjamaah, maupun urusan perekonomian masyarakat, seperti sidak pasar hingga turun surat Almuthaffifin, atau urusan keamanan, seperti membentuk aparat keamanan serta pasukan perang untuk mengahadapi musuh.
Banyak bukti sejarah yang ditulis oleh para ulama salaf, bahwa Nabi Muhammad SAW juga mengangkat para pegawai, untuk membantu melaksanakan tugas kenegaraan secara pro aktif, baik yang terkait dengan peribadatan seluruh masyarakat Islam, atau menangani sistem peradilan dan perundang-undangan, maupun melaksanakan tugas-tugas kenegaraan semacam urusan diplomasi atau duta perwakilan dan sebagainya.
Jadi, tanggung jawab seorang pemimpin itu, bukan melulu urusan kenegaraan saja yang akan dipertanyakan di akhirat nanti, sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang dewasa ini, misalnya tentang keadilan bagi rakyat, atau kelayakan hidup mereka, atau keamanan negara secara makro, namun bertanggung jawab juga terhadap urusan kemashlahatan ibadah kepada Allah bagi setiap warganya.
Ketika sayyidina Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, beliau memanggil Imam Salim bin Abdullah, Imam Muhammad bin Ka’ab Al-Qardhi, dan Imam Raja’ bin Haiwah. Beliau berkata kepada mereka, “Aku telah diberi dengan cobaan ini (memegang kekuasaan). Maka nasihatilah aku”.
Ternyata sayyidina Umar bin Abdul Aziz menganggap jabatan kekhalifahan itu sebagai cobaan. Maka Imam Salim bin Abdullah berkata kepadanya, “Jika engkau ingin selamat dari siksa Allah, puasalah dari kesenangan dunia dan berbukalah ketika datang kematian.”
Imam Muhammad bin Ka’ab Al-Qardhi berkata kepadanya, “Jika engkau ingin selamat dari siksa Allah, jadikan orang muslim yang besar sebagai ayah bagimu, dan yang sedang sebagai saudaramu, serta yang terkecil sebagai anakmu. Maka hormatilah ayahmu, muliakan saudaramu, dan sayangilah anakmu.”
Imam Raja’ bin Haiwah berkata kepadanya, “Jika engkau ingin selamat dari siksa Allah Azza wa Jalla, cintailah kaum muslimin seperti engkau mencintai dirimu dan bencilah apa yang tidak engkau sukai pada mereka seperti engkau membenci apa yang tidak engkau sukai pada dirimu.”
Pemimpin yang baik adalah yang dipilih oleh rakyat karena dinilai dalam kehidupan sehari-harinya selalu pro kepentingan rakyat, terutama dalam kehidupan beragama, serta memperhatikan dan mau membantu kebutuhan hidup mereka sehari-hari, dengan penuh kelemahlembutan terhadap mereka, namun tetap tegas jika menangani kasus pelanggaran sosial secara adil dan beradab.
Mencari jabatan di pemerintahan juga boleh dan baik untuk dilaksanakan, jika benar-benar berniat untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang sudah keluar dari garis-garis syariat. Tujuannya untuk dikembalikan kepada undang-undang syariat yang menjadi keyakinan bagi umat Islam. Maka perjuangan yang demikian itu dinilai sebagai ibadah yang besar pahalanya di sisi Allah.