Harapan Baru Kesembuhan bagi Pasien Hepatitis C
Orang dengan hepatitis C harus rela kehilangan banyak uang demi menghilangkan HCV (virus hepatitis C) di tubuhnya. Tak hanya uang, banyak waktu tersita untuk pengobatan, tapi sehat belum tentu didapatkan. Kini, harapan baru muncul. Mereka tak perlu menyerah karena biaya, atau efek samping yang membikin depresi, karena era Direct Acting Antiviral (DAA) telah tiba.
Sudah setahun Ferry melakukan pengobatan Hepatitis C menggunakan ribavirin dan interferon. Setiap seminggu sekali, ia harus pergi ke dokter untuk menyuntikkan cairan interferon. Setiap hari, setidaknya ia harus minum ribavirin pagi dan sore hari. Bukan hanya berjuang untuk tetap konsisten melakukan pengobatan, Ferry juga harus berjuang melawan efek-efek obat yang dikonsumsinya.
“Kombinasi obat tersebut bikin kita depresi dan moody. Saya jadi cepat lelah dan kurang bisa mengatur emosi. Semua orang diajak berantem,” cerita Ferry kepada Tirto, Jumat (4/11/2017).
“Kombinasi obat tersebut bikin kita depresi dan moody. Saya jadi cepat lelah dan kurang bisa mengatur emosi. Semua orang diajak berantem,” cerita Ferry kepada Tirto, Jumat (4/11/2017).
Pernah sekali waktu ia menghajar orang hanya karena disalip saat mengendarai motor. Ia sadar, amarah dan depresinya dapat berpengaruh buruk ke lingkungan pekerjaan dan sosial. Makanya, ketika sedang intensi menggunakan ribavirin dan interferon, Ferry memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan.
Kendati demikian, harapan sembuh hanya di kisaran60 persen, bahkan kurang. Benar saja, meski HCV di tubuhnya sempat tak terdeteksi, di masa akhir pengobatan virus tersebut muncul kembali.
“Udah capek-capek berobat setahun, eh nggak sembuh juga,” keluhnya.
Mungkin Ferry masih cukup beruntung karena seluruh pengobatannya tak dipungut biaya. Ia adalah salah satu pasien “uji coba” ribavirin dan interferon. Tapi, orang-orang dengan hepatitis C selain Ferry bisa mengeluarkan uang hingga Rp 120 juta dalam setahun hanya untuk pengobatan interferonnya saja.
Irsan Hasan, SpPD-KGEH, Ketua Peneliti Hati Indonesia (PPHI) menjelaskan, pemberian interferon dilakukan seminggu sekali. Dengan biaya sekali suntik Rp 2,5 juta, maka dalam sebulan, pasien harus mengeluarkan biaya Rp 10 juta hanya untuk interferonnya saja.
Selain itu, untuk mengontrol hasil pengobatan, pasien masih harus melakukan tes HCV guna mendeteksi keberadaan antibodi terhadap virus hepatitis C dalam darah. Juga tes HCV RNA untuk mengetahui tingkat keaktifan virus. Sekali tes HCV memakan biaya sekitar Rp 200 ribu, dan tes HCV RNA mencapai Rp 2,5 juta.
“Dan pengobatannya tidak boleh bolos, walau sehari. Makanya saya sering ajarkan ke pasien untuk suntik interferon sendiri,” terangnya dalam pelatihan mengenai Hepatitis C di Bogor, Jumat, (4/11/2017).
Obat Baru, Harapan Baru
Di Asia Tenggara, diperkirakan terdapat 30 juta orang yang hidup dengan hepatitis C kronis. Setiap tahunnya, hepatitis C menyebabkan 500 ribu kasus baru dan 160 ribu kasus kematian. Sebanyak 75 persen penderita HCV bahkan tidak menyadari status mereka. Sementara di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 memperkirakan ada sekitar 3 juta orang Indonesia mengidap virus ini.
“Hepatitis C menyerang liver yang tak memiliki saraf. Sehingga, meski dia rusak, tak ada keluhan apapun,” jelas Irsan.
Selama ini, pengobatan hepatitis C di Indonesia masih menggunakan interferon dan ribavirin yang mulai ditinggalkan di sejumlah negara. Selain karena tingkat kesembuhannya kecil, obat ini juga membikin depresi, batuk, demam, ruam, mual, anoreksia, anemia, leukopenia, trombositopenia bagi penggunanya. Bahkan Irsan menceritakan salah satu pasiennya yang hampir bunuh diri akibat efek samping obat tersebut.
“Makanya jarang dokter berani kasih obat ini,” kata Irsan.
https://tirto.id