MUSEUM AYASOFYA & ALUN-ALUN ISTANBUL
Luthfi Bashori
Dulunya adalah gereja di jaman Byzantium, kemudian tatkalaTurki dapat diislamkan oleh Sahabat Abu Ayyub Al-anshori hingga menjadi pusat pemerintahan Islam dinasti Utsmaniyyah, maka gereja Ayasofya dialihfungsikan sebagai masjid bagi ummat Islam.
Namun tatkala Kemal Attaturk dapat menumbangkan Dinasti Utsmaniyyah dan menguasai Turki dengan ajaran sekulernya serta mnerapkan sistem demokrasi ala barat di negara Turki, sekalipun mayoritas penduduknya adalah muslim taat, maka Ayasofya tidak lagi difungsikan sebagai tempat ibadah. Tidak masjid dan tidak pula gereja, namun diresmikan sebagai sebuah museum.
Jika mengamati museum ini, maka pada dinding-dindingnya ada bagian-bagian yang mengesankan dulunya pernah difungsikan sebagai gereja, seperti adanya gambar Maria dan Yesus, namun ada pula bagian yang mengesankan musium ini adalah bekas masjid dengan kaligrafi Arab dan gambar Ka`bahnya serta identitas lainnya.
Menurut info, umat Islam dibawah komando Sultan Ahmed, beramai-ramai mendirikan Masjid Biru (Blue Mosque) yang dijaga fungsinya hingga kini sebagai tempat shalat bagi ummat Islam. Bentuk Blue Mosque dari luar nyaris serupa dengan museum Ayasofya. Bahkan letaknya juga saling berseberangan, yang hanya dibatasi oleh taman kota yang indah, atau dalam bahasa Indonesia lazim disebut alun-alun kota.
Kami menyempatkan diri mengikuti adat warga Turki untuk beristirahat dengan rebahan di alun-alun ini. Rumputnya terasa sangat lembut bagaikan seprai sutra penutup kasur. Hamparan rumput hijau dengan variasi warna-warni bunga, menambah kesegaran hati setiap orang yang menikmati suasana sore dalam istirahatnya menunggu gema adzan maghrib, sekaligus menikmati indahnya panorama perpaduan Blue Mosque dan Ayasofya menjelang senja.
Satu persatu warga Turki itu duduk berdekatan dengan kami, hingga akhirnya alun-alun itu semakin ramai. Anehnya, sekalipun Turki terkenal sebagai negara sekuler yang sering dikunjungi wisatawan dari segala penjuru dunia, rasanya tidak ditemukan di alun-alun ini pasangan muda-mudi yang berpacaran dan bercumbu secara vulgar, dengan tingkah-laku yang tidak beradab dan tanpa memiliki rasa malu, seperti kebanyakan yang dilakukan oleh muda-mudi masa kini di Indonesia yang sedang kasmaran.
Bahkan pada akhir tahun 2006 yang lalu, di negara sekuler itu, saat Paus asal Vatikan berencana mengunjungi museum Ayasofya, ramai-ramai ditolak oleh masyarakat Turki dengan menggelar unjuk rasa secara besar-besaran.
Kami memperhatikan, kebanyakan yang duduk-duduk di alun-alun kota Istanbul Turki ini, adalah rombongan-rombongan keluarga, atau rombongan lelaki dengan teman-temannya sesama lelaki, serta rombongan perempuan dengan sesamanya pula. Sehingga kami tidak merasa risih ikut duduk menyatu dengan mereka. Andaikata saja para muda-mudi Indonesia masih memiliki rasa malu seperti masyarakat Istanbul Turki ini, tentu alangkah terhormatnya mereka.