ISLAM DAN PERSOALAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR (CHILD MARRIAGE/EARLY MARRIAGE): TANTANGAN
LEGISLASI DAN HARMONISASI HUKUM ISLAM
Oleh YUSUF HANAFI
Abstrak:
Kasus pernikahan anak di bawah umur bukanlah persoalan baru di Indonesia. Praktik ini sudah berlangsung lama dengan begitu banyak pelaku—tidak hanya di di pedalaman namun juga di kota besar. Penyebabnya pun bervariasi, mulai dari faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, hingga dangkalnya pemahaman budaya dan nilai-nilai agama. Perkawinan di bawah umur, selain menimbulkan masalah sosial, psikologis, dan kesehatan, juga menimbulkan persoalan hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa, misalnya, membuka ruang kontroversi antara hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional, karena masing-masing memiliki perspektif yuridis yang berbeda. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain. Kedua, tantangan atas legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan urgensi peninjauan ulang atas perangkat undang-undang perkawinan guna menjawab tantangan legislasi menuju harmonisasi hukum Islam di era global dewasa ini.
Kata-Kata Kunci: pernikahan di bawah umur, legislasi undang-undang, harmonisasi hukum
A. Prolog
Kaum Muslim seringkali disudutkan oleh pertanyaan berikut, “Akankah Anda menikahkan puteri Anda yang baru berusia 6 atau 9 tahun dengan seorang lelaki tua yang telah berusia 50 tahun?” Mereka mungkin akan terdiam karena bingung atau justru marah karena tersinggung. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, “Jika Anda tidak akan melakukannya, bagaimana Anda bisa menyetujui pernikahan gadis ingusan berusia 6 atau 9 tahun bernama ‘Aisyah dengan Nabi Anda, Muhammad bin ‘Abd Allah SAW?”
Nabi Muhammad SAW merupakan uswah hasanah (teladan yang baik) bagi seluruh umat Islam—di mana perilaku, tindakan, dan peri kehidupannya selalu dijadikan sebagai acuan dan rujukan. Namun sekali lagi, dalam konteks “menikahi gadis di bawah umur” ini, kaum Muslim seolah dihadapkan pada pilihan yang dilematis. Sebab bagaimana pun, mayoritas Muslim tidak akan pernah berpikir—apalagi melakukan tindakan—menikahkan anak perempuannya yang baru berusia 6 atau 9 tahun dengan seorang pria dewasa yang lebih pantas menjadi bapak bahkan kakeknya. Jika ada orang tua yang setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, meski tidak semua, akan mencibir dan memandang sinis, terlebih kepada pria uzur yang tega menikahi bocah di bawah umur.
Belum lama ini, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh pemberitaan kasus pernikahan gadis di bawah umur. Pujiono Cahyo Widianto, seorang miliarder beristeri satu dan berusia 43 tahun asal Semarang yang lebih populer disapa Syekh Puji, menikahi bocah berusia 12 tahun bernama Lutviana Ulfa pada 8 Agustus 2008 lalu. Lebih heboh lagi, Syekh Puji yang juga berstatus sebagai pengasuh Ponpes Miftahul Jannah itu berencana menikahi dua gadis ingusan lain dalam waktu yang tidak terlalu lama untuk mengenapkan jumlah bilangan isteri yang dikoleksinya menjadi 4 (empat).
Ketika berita itu merebak ke permukaan, pro-kontra pun bermunculan. Mayoritas menolaknya sekaligus menuding Syekh Puji mengidap paedophilia, yaitu karakter kejiwaan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur. Tidak ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menfatwakan perihal keharaman tindakan Syekh Puji yang mengawini gadis ingusan di bawah umur itu.
Syekh Puji tidak tinggal diam. Dia berdalih bahwa tindakannya itu sesuai dengan tuntunan syariat, karena pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tatkala menikahi ‘Aisyah. Syekh Puji tidak sendiri. Pembelaan untuknya, di antaranya, datang dari Fauzan al-Anshari (dulu Kepala Departemen Data dan Informasi MMI) dan Puspo Wardoyo (pemilik Rumah Makan Wong Solo yang pernah memperoleh Poligami Award). Pembelaan serupa juga disampaikan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lewat juru bicaranya, Febrianti Abbasuni. Mereka berujar, umat Islam yang mengingkari pernikahan seperti itu berarti mengingkari sunnah Nabi, dan pada gilirannya dapat membahayakan keimanannya.
Perkawinan anak di bawah umur (child marriage—atau sering juga diistilahkan dengan early marriage), di tengah menguatnya sorotan dan ikhtiar dunia internasional untuk mereduksinya karena sederet dampak negatif dan bahaya yang ditimbulkannya, ternyata masih menjadi persoalan yang problematis dalam Islam. Seperti yang akan diuraikan dalam sub bahasan berikutnya, pandangan Islam tradisional yang dikonstruksi di atas paradigma fikih klasik cenderung melegalkan praktik tersebut. Karena itu, tulisan ini hadir untuk menunjukkan urgensi ijtihad baru guna menjawab tantangan legislasi menuju harmonisasi hukum Islam di era global dewasa ini.
B. Perspektif Fikih Klasik atas Perkawinan Anak di Bawah Umur
Allah SWT mensyariatkan pernikahan kepada umat manusia, dan menetapkan seperangkat ketentuan (syarat dan rukun) untuk mengokohkan bangunannya. Di samping itu, Dia juga memperindahnya dengan ajaran-ajaran etik dan tuntunan-tuntunan moral (adab dan fadha’il). Allah SWT telah menjadikan utusan-Nya, Muhammad SAW sebagai uswah hasanah yang sepatutnya diteladani—di mana ia terekam dalam lembaran-lembaran sejarah menikahi gadis perawan (bikr) dan janda (tsayyib), dan juga pernah mengawini wanita muda (saghirat) dan tua (kabirat). Keseluruhan isterinya itu terpilih atas pertimbangan-pertimbangan Ilahiyah yang jauh dari kalkulasi-kalkulasi fisik dan materi.
Belakangan muncul perdebatan seputar pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang disebut oleh hampir seluruh literatur hadis kanonik (mudawwanah) terjadi ketika puteri Abu Bakr itu masih “kanak-kanak”. Satu kelompok menegaskan bahwa mempraktikkan pernikahan model itu berarti “menghidupkan sunnah Nabi” (ihya’ al-sunnah). Namun kelompok yang lain berpendapat bahwa kebolehan menikahi gadis yang masih di bawah umur itu merupakan hak previlige (khususiyyah) bagi Nabi SAW saja.
Sejujurnya, jika kita menengok sejarah pengundangan hukum Islam (tarikh al-tashri’ al-Islami), maka kita akan menemukan fakta bahwa diskursus ini nyaris tidak terlalu intens dibicarakan (untuk tidak mengatakan “sangat minim”). Pasalnya, para fuqaha’ berpandangan, tidak ada problem apapun dalam pernikahan suci tersebut. Justru yang banyak mengemuka adalah kupasan dan uraian perihal keagungan dan keutamaan di balik pernikahan historis tersebut.
Yang jelas, berdasarkan laporan dari para perawi hadis (muhadditsin), ‘Aisyah, Umm al-Mu’minin, dinikahi oleh Nabi SAW di usia 6 tahun, dan mulai hidup serumah dengannya pada usia 9 tahun. Berikut, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim terkait dengan informasi di atas:
“Khadijah wafat 3 tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Rasul SAW sempat menduda kurang lebih 2 tahun sampai kemudian menikahi ‘Aisyah yang kala itu berusia 6 tahun. Namun Nabi SAW baru hidup serumah dengan ‘Aisyah saat gadis cilik itu telah memasuki usia 9 tahun.”
“Nabi SAW menikahiku di Makkah saat berusia 6 tahun setelah kewafatan Khadijah. Namun beliau baru hidup serumah denganku di Madinah ketika aku telah berusia 9 tahun.”
Riwayat-riwayat hadis yang memberitakannya demikian melimpah (terdapat dalam al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab hadis lainnya) sehingga dapat dikatakan bahwa informasi perihal usia ‘Aisyah ketika dinikahi oleh Nabi SAW itu telah mencapai level mutawatir.
Tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama dalam memahami bunyi literal dari teks-teks hadis di atas—di mana mereka menfatwakan kebolehan mengawini gadis ingusan tanpa ada ketentuan batasan usia minimal. Berikut, kutipan pernyataan dari para fuqaha’ terkait persoalan ini.
Al-Sarkhasi (w. 490 H), salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Hanafi, menulis dalam bukunya, al-Mabsut:
“Kita mendengar bahwa Nabi SAW menikahi ‘Aisyah sewaktu masih kanak-kanak berusia 6 tahun. Beliau baru hidup serumah dengannya saat ‘Aisyah telah berusia 9 tahun. Kehidupan rumah tangga di antara keduanya hanya berlangsung selama 9 tahun ketika Nabi SAW berpulang ke hadirat Ilahi pada tahun 11 H. Hadis tentang usia ‘Aisyah saat dinikahi oleh Nabi SAW tersebut merupakan bukti perihal legalitas pernikahan anak-anak (di bawah umur).”
Dari kalangan ulama mazhab Maliki, Ibn ‘Abd al-Barr mengemukakan:
“Abu Bakr al-Siddiq menikahkan puterinya, ‘Aisyah yang masih berstatus gadis belia di usia 6 atau 7 tahun. Oleh karena itu, seorang ayah boleh mengawinkan puterinya yang masih kanak-kanak, baik perawan maupun janda, meski belum mencapai usia menstruasi, tanpa seijinnya” (Ibn ‘Abd al-Barr, 1407 H:231). Para ulama juga sepakat bahwa ayah berhak menikahkan anak gadisnya yang masih kanak-kanak tanpa meminta persetujuannya, dengan dasar perkawinan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang kala itu masih berusia 6 tahun.”
Demikian pula al-Syafi’i, dalam pembahasan tentang “meminta izin gadis kecil untuk dinikahkan”, menyatakan:
“‘Aisyah dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakr dengan Nabi SAW. Hal itu menunjukkan bahwa Abu Bakr (sebagai orang tua) lebih berhak daripada ‘Aisyah (sebagai anak) dalam persoalan perkawinannya. Sebab, bocah berusia 7 dan 9 tahun tentu belum memiliki kedewasaan yang memadai (untuk mengambil keputusan).\"
Sedangkan dari Mazhab Hanbali, Ibn Qudamah menandaskan dalam bukunya, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal:
“Adapun gadis merdeka, maka ayahnya memegang otoritas pernikahan puterinya yang masih perawan (tanpa diperselisihkan oleh para ulama). Dasarnya, Abu Bakr al-Shiddiq mengawinkan puterinya ‘Aisyah dengan Nabi SAW ketika masih berumur 6 tahun.”
Dalam konteks ini pula, Sulaiman al-Qarari mengemukakan, “Redaksi-redaksi kutipan di atas merupakan dalil yang paling fasih atas kebolehan menikahkan gadis kecil (al-saghirah). Barangsiapa yang menggugatnya, berarti ia menentang ijma’.”
Perlu pula untuk digarisbawahi bahwa ulama fikih klasik sama sekali tidak memberikan catatan definisi untuk sebutan “gadis kecil” (saghirah) yang diperbolehkan untuk dinikahkan itu. Penulis tidak menemukan, misalnya, pendapat seorang faqih yang membatasi sebutan saghirah untuk anak yang telah berumur 6 tahun—dengan mengacu pada bunyi literal dari hadis-hadis tentang usia ‘Aishah kala menikah. Dan, tidak seorang faqih pun yang berfatwa bahwa tolok ukurnya adalah datangnya fase haid—dengan dasar bahwa Allah SAW menetapkan dalam salah satu ayat masa ‘iddah (masa tunggu) bagi saghirah yang diceraikan itu adalah 3 bulan. “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopouse) di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah 3 bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid.”
Yang dimaksud dengan perempuan-perempuan yang belum haid dalam ayat di atas itu adalah saghirat (gadis-gadis kecil yang masih di bawah umur). Ayat di atas sekaligus menegaskan kebolehan saghirah yang belum mencapai usia haid untuk dinikahkan. Mengomentari ayat di atas itu pula, Abu Bakr al-Jassas menulis dalam Ahkam al-Qur’an-nya sebagai berikut, “Allah SWT menetapkan keabsahan perceraian gadis kecil yang belum mencapai usia haid—padahal talak tidak mungkin terjadi tanpa didahului oleh ikatan pernikahan resmi sebelumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat di atas melegalkan pernikahan anak yang masih di bawah umur.”
Pertanyaannya sekarang, jika tolok ukur kebolehan mengawinkan saghirah itu bukan “usia” dan bukan pula datangnya “haid”, lantas apa parameter yang digunakan oleh para fuqaha’ klasik? Mereka menyatakan bahwa tolok ukurnya ialah kesiapan si gadis untuk melakukan “aktivitas seksual” (wath’i) berikut segala konsekuensinya, seperti mengandung (hamil), melahirkan, dan menyusui. Atau dalam ungkapan yang lebih santun, meminjam istilah al-Qarari:
“Sampai si gadis kecil mencapai kesempurnaan dan kematangan fisik.”
Hanya saja Ibn Syubramah (w. 144 H) memiliki pandangan lain—di mana ia melihat pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aishah yang masih kanak-kanak itu merupakan khususiyyah-nya. Pendapat Ibn Syubramah ini banyak menuai kritik dari sejawatnya para fuqaha’. Dasarnya, tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang menegaskan bahwa praktik pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah itu merupakan khususiyyah. Lebih jauh, Ibn Syubramah (dan orang-orang sependapat dengannya) dituding telah membuka ruang bagi para pembenci Islam untuk mencela kepribadian Nabi SAW. Misalnya, dengan menuding Nabi sebagai paedophil, yakni orang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur.
Seperti diwartakan oleh banyak hadis, perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah yang saat itu masih berusia 6 tahun (ada juga yang meriwayatkan 7 tahun), pada hakikatnya hanyalah akad nikah saja. Pengasuhan ‘Aisyah, yang masih berstatus gadis ingusan (jariyah) kala itu, tetap ditangani oleh kedua orang tuanya sampai ia mencapai pubertas di usia 9 tahun (pasca hijrah ke Madinah). Tidak diragukan, praktik Nabi tersebut telah menjadi tradisi sosial dalam masyarakat Arab sebelumnya, yang diamini oleh utusan Allah itu. Seandainya hanya Nabi SAW seorang yang mempraktikkannya, tentu setidaknya kita akan mendengar riwayat yang memberitakan pertanyaan sahabat mengenai persoalan tersebut.
Begitulah, praktik tersebut merupakan tradisi hidup (living tradition) yang lazim terjadi dalam masyarakat Arab saat itu. Ketika seorang wanita telah siap secara seksual untuk bereproduksi (hamil, melahirkan, dan menyusui), maka ia akan dinikahkan di usia yang dini. Al-Bukhari sendiri mendukung pendapat yang menyatakan bahwa tolok ukur dari kebolehan seorang gadis kecil (jariyah) untuk dinikahkan adalah “kesiapan ragawi”-nya untuk berhubungan seksual yang ditandai dengan tibanya usia pubertas (bulugh).
Sandaran lain dari konklusi ini adalah kisah Umm Ruman (ibu ‘Aishah) yang kerapkali memberikan kepada puterinya buah ketimun untuk mempercepat proses pematangan fisiknya (agar segera dapat hidup serumah dengan Nabi SAW), seperti diungkapkan sendiri oleh ‘Aishah berikut ini: “Ibu selalu memperhatikan diriku karena ingin agar aku segera dewasa. Tujuannya, agar aku segera dapat hidup serumah dengan Nabi SAW. Untuk mewujudkannya, aku sering (diminta ibu) mengonsumsi kurma dan mentimun agar pertumbuhan fisikku menjadi lebih pesat.”
Mungkin muncul bantahan terhadap parameter kebolehan mengawinkan anak perempuan berdasarkan tercapainya usia pubertas (bulugh) dengan menggunakan argumentasi hadis berikut: “Jika seorang bocah mencapai usia 9 tahun, maka ia telah menjadi seorang gadis dewasa (lady).” Hadis tersebut secara eksplisit memang menyatakan bahwa periode transisi perkembangan individu dari kanak-kanak (jariyah) ke dewasa (imra’ah) itu ditandai dengan tercapainya usia 9 tahun. Namun para fuqaha’ menolak hadis tersebut karena di dalam rantai sanad-nya terdapat perawi-perawi yang tidak dikenal (majahil), seperti Abd al-Malik bin Mahran.
C. Praktik Perkawinan Anak di Bawah Umur (Child Marriage/Early Marriage) di Negara-Negara Berpenduduk Mayoritas Muslim: Data dan Statistik
Meskipun definisi pernikahan di bawah umur (child marriage/early marriage) juga diperuntukkan untuk anak lelaki (boys), namun mayoritas anak yang menikah di bawah usia 18 tahun adalah perempuan (girls). Juga, walaupun praktik pernikahan di bawah umur secara global menurun drastis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, namun kasus-kasusnya masih marak terjadi dalam kelompok masyarakat miskin, baik di negara-negara terbelakang maupun berkembang.
Di Asia Selatan, sekitar 48% (kurang lebih 10 juta) gadis dikawinkan sebelum mencapai usia 18 tahun. Di Afrika, diperoleh angka 42%; sedangkan di Amerika Latin dan Karibia, gadis yang dinikahkan sebelum berusia 18 tahun mencapai 29%. Berikut, statistik yang dilansir oleh UNFPA tahun 2004.
Source: Child Marriage: Advocacy Package (UNFPA, 2004)
ICRW pada tahun 2007 merilis rangking negara-negara dengan praktik child marriage tertinggi di seluruh dunia.
Top 20 “Hot Spot” Countries for Child Marriage
Ranking Country Percent Married Younger than 18
1. Niger 76.6
2. Chad 71.5
3. Bangladesh 68.7
4. Mali 65.4
5. Guinea 64.5
6. Central African Republic 57.0
7. Nepal 56.1
8. Mozambique 55.9
9. Uganda 54.1
10. Burkina Faso 51.9
11. India 50.0
12. Ethiopia 49.1
13. Liberia 48.4
14. Yemen 48.4
15. Cameroon 47.2
16. Eritrea 47.0
17. Malawi 46.9
18. Nicaragua 43.3
19. Nigeria 43.3
20. Zambia 42.1
Source: Demographic Health Survey (DHS) Data
Perhatikan pula populasi Muslim dari negara-negara tersebut di atas lewat data fact book di bawah ini.
An Analysis of the World Muslim Population by Country/Region
Dari paparan data di atas dapat disimpulkan bahwa angka praktik pernikahan anak di bawah umur di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sangat tinggi. Memang banyak faktor yang mendorong terjadinya praktik child marriage atau early marriage, mulai dari yang berdimensi sosial, ekonomi hingga budaya.
Namun banyak spekulasi menyebutkan bahwa tingginya angka child marriage (early marriage) di negara-negara Muslim tidak lepas dari faktor teologis—yakni justifikasi doktrin agama atas legalitas praktik tersebut. Dan, dalam konteks ini, pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aishah yang masih “kanak-kanak” dijadikan sebagai model anutan oleh para pemeluk Islam.
D. Resiko dan Bahaya dari Perkawinan Anak di Bawah Umur
Mayoritas negara telah mendeklarasikan bahwa usia perkawinan minimal yang dilegalkan (the minimun legal age of marriage) adalah 18 tahun. Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak yang telah ditetapkan lewat forum Majelis Umum PBB tahun 1989. Meski demikian, diperkirakan lebih dari 100 juta anak akan menikah di bawah umur dalam satu dekade mendatang. Padahal perkawinan di usia dini (early marriage) mendatangkan banyak resiko dan bahaya, seperti kematian di usia muda (dalam proses persalinan), terjangkit problem kesehatan, hidup dalam lingkaran kemiskinan, dan menderita buta aksara (karena tidak mengenyam pendidikan dasar).
1. Kehamilan Prematur (Premature Pregnancy)
Anak-anak, secara definitif, belum dewasa baik fisik maupun emosinya. Karena itu, ibu kecil beresiko melahirkan bayi prematur dengan berat badan di bawah rata-rata. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi tersebut karena meningkatnya resiko kerusakan otak dan mental. Bayi yang lahir dengan berat kurang dari normal mempunyai resiko kematian 20 kali lebih besar pada tahun pertamanya dibanding bayi normal.
2. Kematian Ibu (Maternal Mortality)
Ibu kecil berusia antara 10 – 14 tahun beresiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih besar dari wanita dewasa. Persalinan yang berujung pada kematian merupakan faktor paling dominan dalam kematian gadis antara 15 – 19 tahun di seantero dunia. Di Kamerun, Ethiopia, dan Nigeria, kematian ibu muda berusia di bawah 16 tahun itu 6 kali lebih tinggi dari kematian ibu dewasa berusia antara 20 – 24 tahun.
Child Marriage & Maternal Mortality: Maternal Mortality by Age
3. Tidak Berpendidikan (No Education)
Hampir bisa dipastikan, pengantin kanak-kanak itu adalah generasi putus sekolah. Kesempatan mereka untuk mengenyam level pendidikan yang lebih tinggi menjadi terkebiri bahkan tidak sedikit pula yang tidak menyelesaikan bangku pendidikan dasar (primary education). Akibatnya, banyak di antara mereka yang buta aksara (illiterate).
Sejumlah riset menyimpulkan, ada korelasi erat antara level pendidikan anak gadis dengan usianya saat pertama kali menikah. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuhnya, semakin lambat pula ia menapaki jenjang pernikahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa memasukkan dan menahan anak gadis di bangku sekolah merupakan cara terbaik untuk mencegahnya menikah dini. Berikut, statistik anak antara usia 15 – 19 tahun di sejumlah negara yang mengenyam pendidikan dasar maupun yang tidak.
Source: Early Marriage: A Harmful Traditional Practice
4. Problem Kesehatan (Health Problems)
a. Kerusakan Tulang Panggul
Karena pertumbuhan tulang ibu kecil belum lagi lengkap, resiko kerusakan cepalopelvic (tulang panggul)-nya sangat tinggi. Pasalnya, bayi yang dilahirkan jauh lebih besar dari kemampuan tulang panggulnya. Ini berakibat pada sulit dan lamanya kelahiran, dan mengancam rusaknya organ bayi jika dipaksakan. Kemungkinan, karena nutrisi yang kurang, ibu-ibu muda sering keguguran dan dapat terkena preeclampsia dan penyakit-penyakit lainnya.
Preeclampsia dan bentuk akhirnya, eclampsia, adalah sebuah penyakit yang khusus bagi kehamilan. Preeclampsia dicirikan dengan bertambahnya tekanan darah dan hilangnya protein dalam urine (proteinuria). Preeclampsia yang memburuk akan berkembang menjadi eclampsia, yang menambah serangan-serangan penyakit lain dengan sympton yang lebih kompleks.
b. Hubungan Seksual yang Tidak Aman
Dikarenakan mayoritas pengantin kanak-kanak harus berhenti sekolah lebih awal, mereka pun tidak familiar dengan isu-isu dan layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar (basic reproductive health issues and services), termasuk resiko tertular HIV. Isolasi dan ketidakberdayaan juga turut menambah resiko kesehatan reproduksi mereka—di mana ibu kecil hanya memiliki otonomi diri dan kebebasan bergerak yang sangat terbatas. Tidak jarang, problemnya adalah ketiadaan izin dari pasangannya yang berpikiran sangat tradisional dan konservatif. Lebih memprihatinkan lagi, dalam beberapa kelompok masyarakat, pengantin kanak-kanak “diharapkan” segera memiliki momongan (infant) oleh lingkungannya.
Berikut, proporsi gadis berusia antara 15 – 19 tahun di sejumlah negara yang menggunakan layanan kontrasepsi dan yang tidak menggunakannya.
Source: Early Marriage: A Harmful Traditional Practice
Selain persoalan seputar wawasan kesehatan reproduksi yang rendah, pengantin kanak-kanak juga dihadapkan pada problem hubungan seksual (sex intercourse) yang menggerikan. Menstruasi lazimnya terjadi pada usia sekitar 12 tahun. Resiko kontak seksual sebelum mens, misalnya saja di usia 9 atau 11 tahun, muncul sebagai akibat dari rendahnya kadar hormon estrogen. Resiko yang biasanya muncul adalah trauma vaginal seiring dengan robeknya tisu-tisu di dalamnya. Pasalnya, bagian vulva dan vaginal akan dipaksa melebar tanpa bisa kembali normal seperti pada wanita dewasa. Infeksi pasti akan muncul karena lemahnya jaringan tisu yang belum diperkuat oleh hormon estrogen ini. Kanker Cervic (Leher Rahim) merupakan ancaman terbesar dalam hal ini. Semakin muda si bocah menikah, maka semakin besar pula resikonya.
5. Kekerasan Rumah Tangga (Abuse and Violence)
Gadis-gadis kecil yang dikawinkan di usia dini lazimnya bersuamikan pria yang jauh lebih tua dari dirinya. Akibat margin usia yang sangat lebar inilah hampir selalu muncul problem komunikasi keluarga maupun seksual antara kedua belah pihak. Riset di 16 negara sub Sahara Afrika memperoleh data bahwa selisih usia pengantin perempuan yang masih kanak-kanak dengan pasangannya itu rata-rata terpaut minimal 10 tahun lebih tua.
The younger the bride, the larger the spousal age difference
Model pernikahan dengan selisih usia terpaut jauh itu pada gilirannya sering menghadirkan “mimpi buruk” bagi pengantin perempuan—di mana mereka mengalami kekerasan (abuse and violence) dalam kehidupan rumah tangganya. Ironisnya, tindak kekerasan suami itu seringkali dijustifikasi secara normatif oleh tradisi (baca: agama). India merupakan negara dengan kekerasan domestik (baca: KDRT) tertinggi terhadap perempuan yang menikah di usia kisaran 18 tahun. Berikut, hasil riset yang dilansir oleh UNICEF.
Proportion of women married by the exact age of 18, by experience of violence
6. Trauma Psikologis
Gadis kecil yang melahirkan bayi merupakan suatu hal yang telah lama dielakkan oleh dunia kedokteran. Situasi ini sangat traumatik bagi sang ibu muda karena mencabut masa kanak-kanaknya. Sebelum ia belajar mengenai hidup dan bereaksi secara tepat terhadap dirinya sendiri, ia harus mengasuh dan membesarkan bayi. Pendeknya, ia disegerakan untuk menjadi dewasa secara tidak wajar. Rasa marah dan penolakan adalah sikap yang umum terjadi dan lazimnya berlangsung dalam jangka waktu yang lama (bahkan tidak tertutup kemungkinan seumur hidup). Inilah yang kemudian memuncul trauma psikologis yang berkepanjangan.
E. Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Islam
Seperti dikemukakan di awal tulisan ini, masalah perkawinan anak di bawah umur di Indonesia mendadak menghangat akhir-akhir ini, khususnya setelah heboh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeikh Puji dengan Lutviana Ulfa, seorang gadis yang ditengarai masih berusia di bawah umur (12 tahun dan versi lain 15 tahun). Padahal kasus pernikahan di bawah umur bukanlah persoalan baru di Indonesia. Praktik ini sudah berlangsung lama dengan begitu banyak pelaku—tidak hanya di kota besar namun juga di pedalaman. Penyebabnya pun bervariasi, mulai dari faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, dangkalnya pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu hingga hamil terlebih dahulu (yang populer dengan istilah married by accident), dan lain-lain.
Selain menimbulkan masalah sosial, psikologis, dan kesehatan, perkawinan di bawah umur juga menimbulkan persoalan hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa, misalnya, membuka ruang kontroversi antara hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional, karena masing-masing memiliki sudut pandang yuridis yang berbeda. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain. Kedua, tantangan atas legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.
Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2). Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orang tua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991, memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.” Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.
Hukum Islam, dalam hal ini al-Qur`an dan hadis, tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Begitu pula halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tidak tertulis yang tidak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya. Dan, ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.
Instrumen Hak Asasi Manusia—apakah yang bersifat internasional (International Human Rights Law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI—tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga, setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.
Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak—sebagai instrumen HAM—juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta-merta dapat ditindak. Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama 8 tahun, dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama 12 tahun.
Pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa seperti menampar wajah pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari ribuan kasus lainnya yang mengendap dan membeku di bawah permukaan laksana gunung es. Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia nyaris seperti hukum yang “tidak bergigi”, karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.
Memang, urusan perkawinan adalah urusan keperdataan. Urusan pribadi warga negara. Hal mana membuat banyak pihak mempertanyakan, kenapa masalah perkawinan harus diatur oleh negara, bukankah perkawinan berada dalam ranah privat? Mengapa pernikahan Syekh Puji dan Ulfa harus dipersoalkan, bukankah kedua mempelai dan keluarganya tak keberatan?
Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan. Namun peristiwa tersebut adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan hak-hak kewajiban para pihak. Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah mencoba mengatur dengan mengunifikasi hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum adat diakomodasi dalam UU tersebut, di samping hukum perdata Barat. Sungguh ini bukan perkara yang mudah, karena selamanya unifikasi di wilayah hukum pribadi dan hukum keluarga adalah sesuatu yang sulit. Indonesia adalah negara yang kaya dengan pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya.
Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara, maka akan berpotensi lahirnya ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dan, akhirnya akan merembet pada keluarga luas, lingkungan, masyarakat, hingga akhirnya menjadi problem negara juga. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 lahir antara lain karena maraknya fenomena kekerasan dalam perkawinan.
Namun apabila negara mengatur terlalu banyak, dapat juga berpotensi pemaksaan hukum dan sentralisasi hukum negara. Perlu ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, mana masalah perkawinanan yang perlu diatur hukum negara dan mana yang tidak agar tidak mencederai hak-hak sipil warga negara.
Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan keadilan? Kemudian, mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengharmonisasi perbedaan klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?
Merevisi UU No. 1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu ambisius. Namun juga bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum perkawinan.
F. Epilog: Upaya Pencegahan Child Marriage (Early Marriage)
Pertanyaannya sekarang, apa yang bisa kita lakukan untuk mereduksi praktik pernikahan anak di bawah umur? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, gadis dengan pendidikan yang cukup (apalagi tinggi) memiliki probabilitas 6 kali lebih kecil untuk menikah dini dibanding gadis-gadis yang hanya mengenyam pendidikan rendah, terlebih lagi tanpa pendidikan di bangku sekolah sama sekali. Itu artinya, pendidikan dapat berperan menunda waktu pernikahan sampai pada usia yang cukup. Selain itu melalui pendidikan, gadis-gadis muda dapat memperoleh alternatif kesempatan sekaligus mengembangkan potensi dirinya. Dan, pada gilirannya, diharapkan dapat mengangkat status sosial-ekonominya ke level yang lebih baik.
Kedua, negara-negara miskin di dunia, berdasarkan sejumlah riset, memiliki tingkat praktik pernikahan di bawah umur yang sangat tinggi. Keluarga-keluarga di sana menikahkan anaknya sedini mungkin agar dapat segera bebas dari beban pembiayaan atas diri anak-anak gadisnya. Hal itu dilakukan dengan diiringi harapan agar anak-anaknya segera mengalami perbaikan ekonomi pasca pernikahan. Meski pada kenyataannya, mereka tetap berada dalam lingkaran kemiskinan (the circle of poverty)—bahkan lebih buruk dan tragis lagi.
Praktik child marriage di mayoritas negara di sub Sahara Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Utara terekam sangat tinggi—di mana gadis-gadis muda dikawinkan tidak lama setelah mereka mencapai pubertas bahkan ada pula yang dinikahkan sebelum itu. Berikut, sebarannya dalam statistik.
Global and regional trends in child marriage
Jika salah satu penyebab tingginya praktik child marriage—seperti dikemukakan di atas—adalah faktor kemiskinan, maka solusi pencegahan dan pemecahan tentunya adalah dengan mendorong akselerasi perbaikan ekonomi dan kesejahteraan lewat penyediaan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai. Bukti konkretnya adalah negara-negara yang sering disebut sebagai The East Asian Miracles (Taiwan, Korea Selatan, dan Thailand)—di mana negara-negara tersebut secara umum sukses meminimalisir praktik pernikahan di bawah umur berkat pertumbuhan ekonominya yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad ibn Husain ibn ‘Ali ibn Abd Allah. al-Sunan al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.
Al-Bukhari, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju\`fi. Sahih al-Bukhari. Kairo: Dar al-Hadits, 2004.
Al-Jassas, Abu Bakr. Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1405 H.
Al-Sarkhasy, Syams al-Din. al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H.
Al-Syafi’i, Abu Abd Allah Muhammad ibn Idrisal-Umm. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H.
Al-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad. Nail al-Authar. Beirut: Dar al-Jail, 1973.
Al-‘Uqaili. al-Dhu’afa’ al-‘Uqayli. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Al-Qarari, Sulaiman. “Tazwij al-Banat li Tis’ Sinin bayn al-Nafy wa al-Itsbat.” Dalam www.ahlalhdeeth.com/vb/attachment.php?attachmentid=60364&d= 1224443807.
Al-Qusyairi, Abu Husayn Muslim bin al-Hajjaj. Sahih Muslim. Damaskus: Isa Babi al-Halabi, t.t.
Hanafi, Yusuf. Benarkah Nabi Menikahi Gadis di Bawah Umur? www.islamlib.com (11/11/2008)
Ibn Qudamah, Abu Muhammad ‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad al-Dimasyqi. al-Mughni. Beirut: Hajr, 1986.
----------------------------------------. al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1408 H.
Ibn ‘Abd al-Barr, Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn Muhammad. al-Kafi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H.
----------------------------------------. al-Tamhid. Maroko: Wizarat al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1387 H.
Ibn Hazm al-Zahiri. al-Mahalli. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.
Ibn Hanbal, Ahmad ibn Muhammad al-Baghdadi. Musnad Ahmad. Beirut: Dar al-Jayl, t.t.
Jenson, R. & Thornton, R. “Early Female Marriage in the Developing World.” Dalam Gender and Development, Vol. 11, No. 2. New York: Gender and Development, 2003.
Mathu, S., Greene, M. & Malhotra, A. Too Young to Wed: The Lives, Rights and Health of Young Married Girls. Washington, DC: ICRW, 2003.
Mensch, B. “Trends in the Timing of First Marriage.” Presentation at the WHO/UNFPA/ Population Council Technical Consultation on Married Adolescents, Geneva, 9–12 December 2003. New York: UNFPA, 2004.
The Population Council. “Adolescent and Youth Sexual and Reproductive Health: Charting Directions for a Second Generation of Programming.” A Report on a Workshop of the UNFPA in Collaboration with the Population Council, 1–3 May 2002. New York: The Population Council, 2002.
UNICEF Website on Married Adolescents. 2004. Child Marriage Advocacy Programme: Fact Sheet on Child Marriage and Early Union. New York: UNFPA.
UNICEF. Early Marriage: A Harmful Traditional Practice. New York: United Nations, 2005.
UNICEF Innocenti Research Centre. Early Marriage: Child Spouses. No. 7, March dalam www.unicef-icdc.org/publications/pdf/digest7e.pdf. Florence: UNICEF, 2001.
UU Nomer 23, Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).
UU Perkawinan (UUP) Nomer 1, Tahun 1974.