URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 8 users
Total Hari Ini: 60 users
Total Pengunjung: 6224161 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
MASKAWIN (MAHAR) 
Penulis: Pejuang Islam [ 13/9/2016 ]
 
MASKAWIN  (MAHAR)

Luthfi Bashori


Pernikahan adalah salah satu ritual suci bagi umat Islam. Di antara syarat sahnya nikah adalah membayar makawin atau mahar kepada istri yang dinikahinya. Pembayaran mahar ini adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri. Sekalipun dalam pernikahan yang sah, namun  sebelum sang suami membayar maskawin sesuai kesepakatan, maka istri boleh dan berhak untuk menolak hasrat seksual sang suami.

Sy. Ibnu Abbas RA mengemukakan, sesungguhnya Sy. Ali RA ketika sudah menikah dengan Sy. Fathimah, beliau bermaksud akan mulai bercampur. Namun, Rasulullah SAW melarangnya sebelum ia memberi sesuatu.

“Saya tidak punya apa-apa,” jawab Sy. Ali

Rasulullah SAW bertanya, “ Dimanakah baju besimu untuk berperang?”

Lalu Sy. Ali menyerahkan baju besinya, kemudian mendekatinya Fatimah. (HR. Abu Dawud).

Menyebutkan  jumlah maskawin itu hukumnya sunnah, dan demikian ini yang berlaku di tengah masyarakat dari dulu hingga sekarang.

Sy. Uqbah Ibnu Amir RA mengungkapkan, Nabi Muhammad SAW bertanya kepada seorang laki-laki, “Maukah engkau jika kunikahkan dengan si Fulanah (sebutan buat wanita)?”

“Mau,” jawab laki-laki itu.

Nabi SAW juga bertanya kepada wanita yang dimaksud, “Sukakah engkau jika kunikahkan dengan si Fulan (sebutan buat laki-laki)?”

Wanita itu pun menyetujuinya. lantas Rasulullah SAW sendiri yang menikahkan keduanya. Lalu mereka hidup menjalani kehidupan sebagai suami-istri, padahal si laki-laki tidak menentukan maharnya dan belum memberinya maskawin apapun.

Laki-laki tersebut termasuk orang yang hadir perjanjian Hudaibiyah. Dan setiap orang yang turut hadir di Hudaibiyah memperoleh bagian dari tanah Khaibar. Menjelang meninggal dunia, laki-laki itu berwasiat, “Sungguh Rasulullah SAW telah menikahkan aku dengan Fulanah, namun aku tidak menentukan maharnya, dan belum memberinya suatu pun maskawin. Sekarang aku nyatakan di hadapan kalian, bahwa bagianku dari tanah Khaibar kuberikan kepadanya sebagai ganti dari maskawinnya.”

Lalu wanita itu mengambil tanah yang menjadi bagian suaminya dan menjualnya. (HR. Abu Dawud)

Sedangkan hukum membayar maskawin itu sendiri adalah suatu kewajiban.

Sy. Ibnu Mas’ud RA pernah ditanya soal seorang  laki-laki yang telah menikahi seorang wanita. Laki-laki itu tidak menentukan maskawinnya dan belum mengumpulinya hingga ia meninggal dunia:

“Wanita itu harus memperoleh maskawin yang setara dengan maskawin yang biasa diterima oleh kalangan keluarganya. Tidak boleh kurang, dan tidak boleh lebih. Ia juga berhak memperoleh warisan dari suaminya, dan harus melakukan iddah,” jawab Ibnu Mas’ud.

Sy. Ma’qil Ibnu Sinan Al-Asyja’i berkomentar, “Rasulullah SAW telah memutuskan terhadap Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah engkau putuskan itu.”

Sy. Ibnu Mas’ud merasa gembira dengan kesaksian tersebut. (HR. Ash-Habus Sunan).

Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar adalah suatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Hal ini bukan berarti bahwa kehormatan seorang perempuan dinilai atau sebanding dengan nilai materi dari mahar yang ia inginkan. Karena fungsi mahar itu adalah untuk menghalalkan seorang istri terhadap suaminya.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam