CIREBON KOTA 1000 KENANGAN BERSAMA AYIB MUH, JAGASATRU
Luthfi Bashori
Bagi saya pribadi, begitulah cara saya mengingat dan mengapresiasi kota Cirebon sebagai kota 1000 kenangan, tentunya karena penduduknya yang sangat ramah dan sangat bersahabat.
Saya katakan demikian, karena saya sudah sering keluar masuk kota Cirebon, dan saya juga sempat beberapa kali diminta oleh masyarakat Cirebon untuk berceramah di tengah-tengah mereka.
Menyebut nama kota Cirebon, jadi teringat saat saya berkeinginan melamar seorang wanita asal Indramayu untuk saya jadikan istri, sang pendamping hidup.
Unik memang saat itu, karena segala proses mulai dari lamaran hingga pernikahannya tidak lepas dari campur tangan masyarakat Cirebon, kota 1000 kenangan yang terkenal warganya itu baik hati dan sangat dermawan.
Tersebutlah seorang ulama kharismatik bernama Alhabib Muhammad bin Yahya yang akrab dipanggil oleh masyarakat dengan panggilan Ayib Muh atau Kang Ayib, beliau adalah pengasuh Pesantren Jagasatru Cirebon.
Beliau pula yang mewakili ayah saya untuk mengatur segala keperluan secara lengkap mulai dari pra pernikahan hingga dilaksanakan pernikahan secara resmi, bahkan seakan-akan beliau itu akan menikahkan putranya sendiri
Jauh sebelumnya, cucu menantu Ayib Muh yang bernama Alhabib Miqdad bin Qasim Baharun, menawarkan kepada saya seorang wanita, yang barangkali saya cocok dan mau menikahinya.
Lantas sebagaimana ajaran sunnah Rasulullah SAW, maka saya sambung tawaran tersebut hingga saya mendapat hasil dari shalat istikharah yang benar-benar meyakinkan untuk saya persunting.
Secara ringkas, saat itupun ayah saya langsung menelpun Ayib Muh dan menyatakan pasrah sepenuhnya kepada beliau tentang rencana lamaran hingga prosesi pernikahan saya.
Maka, dari mulai merencanakan tanggal lamaran, hingga negosiasi tanggal pernikahannya, semuanya Ayib Muh yang mengaturnya.
Ayah saya dan seluruh keluarga pun hanya pasrah dan menghormati semua keputusan Ayib Muh.
Ada cerita unik. Setelah prosesi pernikahan, dan saya bermalam di rumah istri selama kurang lebih satu minggu, tiba-tiba Alhabib Miqdad Baharun menelpun saya, dan mengkhabarkan jika saya beserta istri dipanggil oleh Ayib Muh, karena ada sesuatu yang penting untuk disampaikan.
Maka kami berdua bergegas berangkat dari Indramayu menuju Cirebon, dan kami saling bertanya, kira-kira ada apa gerangan hingga Ayib Muh memanggil kami?
Setelah sampai di rumah Ayib Muh, ternyata beliau meminta agar kami berdua bermalam di Cirebon minimal tiga hari, karena beliau sudah menyiapkan kamar khusus Kemanten Baru, di salah satu rumah milik beliau di Jagasatru.
Kami berdua pun hanya bisa menyatakan sam`an wa tha`atan.
Alhamdulillah berkat campur tangan Ayib Muh dan keluarga besar Jagasatru itu, saat ini kami sudah memiliki empat orang anak.
Betapa banyak kenangan indah di kota Cirebon, hingga hati saya sering kali merindukan kota Cirebon, khususnya jika teringat situasi di masa Ayib Muh masih sehat.
Beliau sebagai orang tua yang penuh wibawah dan sangat kharismatik, dengan jutaan warga Cirebon yang sangat memuliakan serta menghormatinya, ternyata beliau juga senang mengajak saya yang saat itu masih muda belia, untuk berbincang panjang lebar, khususnya membahas seputar keumatan, baik tentang keadaan di lokal Cirebon maupun kondisi umat Islam secara nasional.
Saya tahu pasti, bahwa beliau itu ulama sepuh yang sangat senang jika bertemu para pemuda Islam yang ikut berjuang dan giat berdakwah di jalan Allah menyampaikan kebenaran syariat, khususnya di saat mayoritas umat Islam sedang dalam keadaan terlena oleh godaan dan gemerlapnya kehidupan dunia.
Saya jadi teringat, jika saya sedang berada di rumah Ayib Muh, maka beliau sering kali mengajak saya duduk berjam-jam untuk berbincang-bincang, apalagi beliau sudah menganggap saya dan istri saya itu seperti anaknya sendiri.
Terkadang saya merasa letih dan lelah saat duduk lama di hadapan beliau, namun tidak berani untuk ijin beristirahat, karena saya juga merasa malu saat melihat semangat beliau yang mengggebu-gebu, padahal usianya saat itu sudah sangat lanjut, sedangkan saya masih usia muda.
Saya juga sering memberikan hadiah kepada beliau berupa karya tulis saya, mulai dari catatan kecil semacam foto copy dari satu artikel keislaman, atau buku-buku saku karya saya semisal buku KONSEP NU & KRISIS PENEGAKAN SYARIAT, atau karya saya yang lainnya seperti buku saya yang pernah diterbitkan oleh GIP dan dipasarkan di toko buku umum seperti Gramedia dan sebagainya, yang saya beri judul MUSUH BESAR UMAT ISLAM.
Buku saya ini berisi seputar pentingnya kewaspadaan terhadap pergerakan non muslim hingga bahaya Liberalisme yang mengadopsi pemikiran kaum orientalis Barat (Zionis dan Salibis).
Dalam buku ini, saya sebut pula pemikiran sesat Ulil Abshar Abdala dan cs-nya, alias para pengusung Liberalisme.
Alhamdulillah, Ayib Muh selalu menyukai hadiah-hadiah dari saya itu, dan selalu bertanya jika saya sedang sowan kepada beliau di berikut harinya, apa ada karya saya yang terbaru?
Semoga Ayib Muh senantiasa diberi kelapangan hidup di alam kubur hingga dapat berjumpa dan berkumpul dengan kakek beliau, Rasulullah SAW, dan selalu bersama hingga kelak di akhirat nanti.
Semoga kota Cirebon akan tetap dalam kedamaian dan kesejahteraan bagi warganya, saat mereka hidup bersama para ulama pengganti Alhabib Muhammad bin Yahya (Ayib Muh), yang selalu istiqamah nan lurus dan ikhlas berjuang karena Allah, semisal keberadaan Alhabib Miqdad bin Qasim Baharun dan adiknya, Alhabib Quraisy bin Qasim Baharub.
Demikian juga dengan keberadaan Alhabib Hasanain putra Ayib Muh, maupun keberadaan Buya Yahya ulama muda kharismatik yang juga seperti saya sangat dekat hubungannya dengan keluarga Ayib Muh, serta para ulama muda penerus perjuangan ulama sepuh Ahlus Sunnah wal Jamaah di kota Cirebon, khususnya penerus perjuangan Sunan Gunung Jati Waliyullah.
Saya jadi rindu kepada Alhabib Ali bin Yahya yang sering saya sebut dengan panggilan Ammy Ali, beliau adalah anak menantu Ayib Muh yang sangat sabar jika menemani saya duduk berbincang berjam-jam lamanya.
Saya juga rindu kepada Alhabib Hasan Aljufri, menantu cucu dari Ayib Muh yang selalu menghibur hati saya setiap kali berjumpa.
Saya rindu keluarga besar Ayib Muh dan para jamaahnya yang sering berkomunikasi dengan saya. Semoga Allah memberi keberkahan hidup bagi mereka semua.
"Saya cinta Cirebon. Saya rindu Cirebon. Ana uhibbu Cirebon. I love Cirebon".
(Ungkapan hati ini saya tulis di kota Pineng Malaysia, pada pukul 04.00 waktu se tempat, pada hari Jumat, 16 Agustus 2016)