BEBERAPA MASALAH PENTING
TENTANG
HAJI DAN UMRAH
YANG BANYAK DIPERTANYAKAN
Oleh :
H.M. BASORI ALWI
Pertama : Ihram haji atau umrah adalah rukun. Haji/ umrah tidak sah tanpa ihram. Orang yang berihram haji/ umrah sah saja berpakaian biasa namun terkena dam menyembeleh kambing, karena berpakaian ihram itu termasuk wajibnya haji sedang niat adalah rukun.
Kedua : Berihram wajib dimulai dari salah satu miqat (Bir ‘Ali, Rabigh/ Juhfah, Yalam-lam, Qornul Manazil dan Dzatu ‘Irq) bagi orang-orang Afaqi (di luar tanah haram Mekah). Adapun penduduk Mekah ia berihram haji dari Mekah. Bila berihram umrah bagi penduduk Mekah tidak sah kecuali dari Tan’im, Ji’ranah atau Hudaibiyah.
Ketiga : Wanita yang haid sah berihram dan boleh melakukan apa saja yang dilakukan orang yang berhaji selain thawaf. Jadi sah wukuf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah dan melempar jamrah-jamrah. Apabila telah suci dari haidnya dia boleh thawaf dan sa’i, sedang hajinya sah dan tak terkena dam.
Keempat : Orang yang masuk Mekah tanpa ihram sedang ia bermaksud haji, ia boleh memilih: Kembali ke miqat lantas ihram darinya dan tak terkena dam, atau ihram di Mekah dan terkena dam.
Kelima: Thawaf disyaratkan suci dari hadats kecil dan besar, suci diri, pakaian dan tempatnya dari najis seperti shalat. Lain halnya sa’i, ia tidak disyaratkan suci.
Keenam : Orang yang tidak melempar jamrah aqabah tanggal 10 terkena dan satu. Dan tidak melontar jamrah hari-hari tasyriq seluruhnya (Ula/ Wustha/ ‘Aqabah), untuk satu kerikil terkena fidyah 1 mud (6 Ons) beras, 2 kerikil 2 mud (12 Ons) beras dan untuk 3 ke atas hingga seluruh kerikil terkena dam satu (seekor kambing).
Ketujuh : Barangsiapa melanggar sesuatu dari larangan ihram seperti : Berwangi-wangian, berpakaian biasa bagi laki-laki, memotong rambut, memotong kuku, menutup kepala dan lain-lain, maka untuk masing-masing pelanggar-an tersebut ia wajib membayar satu dam.
Kedelapan : Tidak boleh melakukan sa’i kecuali sesudah thawaf. Maka apabila orang melakukan sa’i kemudian thawaf qudum atau thawaf ifadhah, wajiblah ia mengulang sa’inya. Kalau tidak mengulang, tidak sahlah sa’inya. Menurut madzhab Hanafi, karena sa’i itu wajib bukan rukun maka ia wajib bayar dam kambing dan hajinya sah.
Kesembilan : Orang yang berihram tidak boleh tahallul kecuali dengan mencukur atau memotong rambut. Jika berpakaian ia berpakaian biasa atau berwangi-wangian sebelum cukur/ potong rambut maka ia terkena dam.
Kesepuluh : seluruh dam apapun harus disembelih di tanah haram. Lain halnya kurban, boleh disembelih dimanapun.
Kesebelas : Jima’ yang dilakukan sebelum wukuf di ‘Arafah, membatalkan haji, wajib dam onta, tidak boleh memperbaharui ihram, wajib qadha’ pada tahun berikutnya dan harus menuntaskan hajinya yang rusak itu. Kalau tidak, ia tetap berstatus ihram dan tak bias tahallul selam-lamanya. Adapun jima’ yang dilakukan sesudah wukuf di ‘Arafah dan sebelum tahallul awal maka sah hajinya tetapi terkena dam onta.
Kedua belas : Melontar jamrah pertama (jamrah aqabah) pada hari raya Nahr, waktunya mulai terbit matahari sampai malam. Boleh mendahulukannya mulai pertengahan malam hari raya bagi orang-orang yang lemah dari laki-laki, anak-anak dan perempuan, karena Rasulullah s.a.w. memberi keringanan kepada sebagian wanita dalam hal tersebut.
Ketiga belas : Sa’i wajib dimulai dari Shafa menuju Marwah dan diakhiri di Marwah. Kalau dibalik yakni dimulai dari Marwah maka tidak sahlah yang pertama. Sedang yang kedua yang dari Shafa, sah dan dihitung pertama. Jika telah disempurnakan tujuh kali maka sahlah sa’i tersebut. Jika tidak , maka wajib mengulanginya.
Keempat belas : Pada hari raya Nahr ada 4 hal yang dilakukan : Pelontaran jamrah, penyem-belihan kurban, cukur rambut dan thawaf. Tertib ini wajib menurut Imam Syafi’i.
Menurut Imam Abu Hanifah : Tertib antara pelontaran jamrah, penyembelihan dan cukur rambut adalah wajib. Maka tertib ini ditinggalkan, wajib membayar dam. Adapun thawaf maka tidak wajib ditertibkan dengan sesuatu.
Kelima belas: Mabit (bermalam) di Mina pada malam-malam Tasyrik (malam 11,12 dan 13) adalah wajib menurut Jumhur (mayoritas Ulama’) dan sunnah menurut Imam Abi Hanifah. Yang wajib dalam mabit adalah sebagian besar malam. Yakni lebih dari setengah malam sekalipun beberapa menit.
Keenam belas : bagi pelontaran jamrah-jamrah di hari-hari tasyriq ada 3 waktu :
1. Waktu Fadhilah (utama) yaitu : dari tergelincirnya matahari di waktu dhuhur.
2. Waktu Ikhtiyar, yaitu : Hingga matahari tenggelam tiap hari.
3. Waktu Jawaz, yaitu : Hingga akhir hari tasyriq.
Menurut Imam Syafi’I : Boleh mengakhirkan semua pelontaran hingga pada hari ketiga dari hari-hari tasyriq. Lantas melontar jamrah ‘Aqabah saja (milik tanggal 10), kemudian melontar jamrah Ula, Wustha, ‘Aqabah (milik tanggal 11), kemudian melontar jamrah Ula, Wustha, ‘Aqabah (milik tanggal 13). Menurut beliau, ini semuanya adalah ada’ bukan qadha’.
Ketujuh belas : Jika seorang yang berihram terpaksa mencukur rambut kepala atau berpakaian yang meliput atau pelanggaran lain-lainnya selain jima’ dikarenakan sakit atau banyaknya kutu rambut maka ia boleh memilih mengenai dam :
1. Puasa 3 hari.
2. Memberi makan 6 orang miskin.
3. Menyembelih kambing.
Kedelapan belas : orang yang berhaji tamattu’ yang tak bias menyembelih kambing karena faqir, sahlah baginya puasa 3 hari (dalam keadaan ia berihram) sebelum wukuf di ‘Arafah, dan 7 hari apabila sudah kembali dan berada di negerinya sendiri.
Kesembilan belas : Sa’i tidak disyaratkan muwalat (terus menerus) Jika sakit atau payah atau dikumandangkan iqamah shalat jama’ah maka bolehlah sa’i dihentikan dulu untuk shalat. Bila shalat telah selesai sa’i bisa dilanjutkan hingga sempurna.
Kedua puluh : Sebagaimana tidak disyaratkan muwalat antara thawaf dan sa’i, bolehlah juga beristirahat di antara keduanya.
Imam Ahmad (Hambali) berkata : Tidak mengapa orang menunda sa’i hingga bisa istirahat atau hingga sore hari. Dan Imam Al Hasan berpendapat : Tidak Mengapa orang thawaf di pagi hari dan menunda sa’i hingga waktu sore.
Kedua puluh satu : Ihramnya wanita adalah membuka wajahnya dan kedua telapak tangannya karena sabda Nabi s.a.w. yang artinya : “Janganlah seorang wanita menutup wajahnya (dalam ihram) dan jangan berkaos tangan”. (diriwayatkan Imam Bukhari). Jika perlu menutup wajahnya karena bertemu orang laki-laki tidak mengapalah ia menutup wajah dengan syarat membukanya kembali jika orang-orang laki-laki tersebut telah melewatinya, disebabkan Siti ‘Aisyah dan istri-istri para sahabat telah berbuat demikian, sebagaimana apa yang diriwayatkan Abi Daud.
Kedua puluh dua : Wanita sewaktu ihram harus menjauhi semua apa yang dijauhi oleh orang-orang pria, kecuali dalam hal pakaian dan memakai khuf, maka baginya diperbolehkan hal itu demi menutup auratnya.
Kedua puluh tiga : Wanita tidak benar mengeraskan suaranya dengan talbiyah. Ia bertalbiyah sekedar ia dengar sendiri atau didengar teman dekatnya. Ia haram mengeras-kan suara seperti para pria.
Kedua puluh empat : Orang yang sedang ihram tidak sah nikah atau menikahkan orang lain karena dilarang oleh Nabi s.a.w.. kalau ia nikah maka batallah nikahnya menurut jumhur (mayoritas Ulama’)
Kedua puluh lima : Orang yang sedang ihram boleh membunuh hewan yang mengganggu/ bahaya seperti ular, kalajengking, anjing gila, tikus dan segala hewan yang memusihi orang atau mengganggunya. Pembunuhnya tak dikenai fidyah/dam.
Kedua puluh enam : Jika orang yang sedang muhrim terhalang menyempurnakan hajinya karena sakit atau musuh yang menghadang atau tidak aman jalannya, maka ia boleh tahallul dan ia terkena dam.
Kedua puluh tujuh : Jika muhsor (orang yang terhalang) tersebut tak mampu membayar dam atau tak punya uang seharganya maka ia boleh puasa 10 hari kemudian bertahallul menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Sedang Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat : tak bisa diganti, karena hal itu tak disebut di dalam Al Quran. Pendapat yang pertama (Syafi’i dan Ahmad) adalah lebih benar karena dikiaskan dengan orang yang berhaji tamattu’ tidak bisa mebayar dam.
Kedua puluh delapan : Orang yang telah berihram haji tidak boleh pindah ke haji tamattu’ dengan umrah menurut jumhur, karena firman Allah s.w.t. yang artinya :” Dan sempurnakanlah haji dan umrah oleh kalian karena Allah”. Dan perintah Rasulullah s.a.w. kepada para sahabatnya untuk merubah haji kepada umrah adalah bersifat khusus bagi para sahabat dengan dalil hadits riwayat Imam Muslim dari Abi Dzar Al Ghifari bahwasannya ia berkata : Men-Tamattu’-kan haji adalah untuk para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. khusus (H.R. Muslim). Sedang Imam Ahmad membolehkan mengubah haji ke umrah, karena Rasulullah memerintahkannya kepada para sahabatnya. Pendapat jumhur lebih kuat dan lebih menang. Wallahu a’lam.
Kedua puluh Sembilan : Orang yang sedang ihram boleh membasuh kepala dan badannya (waktu mandi) dan menggosok tubuhnya tapi dengan pelan-pelan, agar tidak rontok rambutnya karena perkataan Siti ‘Aisyah r.a. : “Gosoklah dan berhati - hatilah dalam meng-gosok”.
Ketiga puluh : Di dalam hadits asy Syarif diterangkan : “ Haji yang mabrur tiada pahalanya kecuali surga”. H.R. Bukhari-Muslim). Tanda haji mabrur, bahwa seorang haji pulang menjadi lebih baik dari pada sebelumnya. Amat senang taat dan menjauhi maksiat, menghadap Tuhannya dengan hati yang semata kembali kepada-Nya, dengan amal terpuji serta kecintaannya semata-mata akhirat.
“Rabanaj ‘alnaa hajjan mabrura, wa sa’yan masykura, wa dzanban maghfura, ya arhama ar Rahimin. Wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin, wa al Hamdulillahi rabbi al ‘Aalamin”.
Pedoman :
1. Al Fiqh asy Syar’i al Muyassar Ahkamul Hajji wal Umrah, karangan : Asy Syekh Ali As Shobuni.
2. Al Mughni fi Fiqh al Hajji wal Umrah. Karangan : Sa’id bin Abdul Qodir Baa Syinfar.