BLUE MOSQUE
Luthfi Bashori
Blue Mosque, atau Masjid Biru adalah masjid Jamik (Camii, dalam bahasa Turki) yang di bangun oleh Sultan Ahmed berada di tengah-tengah kota Istanbul. Dinamakan Masjid Biru karena pada sekeliling dinding bagian luar dan dalam masjid ditempel berbagai jenis keramik dan batuan permata yang dominan berwana biru. Kaca-kaca cendela dan kaca ventilasi juga berwana biru.
Di saat siang hari sinar matahari menembus ke dalam masjid, maka warna biru semakin tampak gemerlapan dari dalam masjid. Sedangkan di saat malam hari, tatkala lampu-lampu masjid yang berupa lampu dop dan diletakkan pada gantungan lampu dominan berwarna biru, maka sorotan warna kuning lampu dengan background gantungan berwarna biru menambah kesan megah dan indah.
Karena daya tarik yang sangat mengagumkan itulah, hampir semua turis yang masuk kota Istanbul tidak akan menyia-nyiakan untuk menengok Masjid Biru.
Bagi kita penganut madzhab Sunni Syafi`i, permasalah menjadi muncul, karena madzhab kita mengatakan bahwa kaum kafir dilarang masuk masjid. Adapaun alasannya antara lain kaum kafir termasuk dihukumi najis. Jangankan kaum kafir, umat Islam ahli ibadah saja tatkala sedang berjunub atau muslimah yang sedang haid yang belum bersesuci, maka hukumnya haram masuk masjid karena dihukumi najis, demi kehormatan masjid itu sendiri, apalagi kaum kafir yang berkali-kali junub serta haid dan tidak pernah bersesuci, tentu pelarangannya terhadap mereka lebih kuat lagi.
Ayat Alquran mengatakan innamal musyrikuuna najasun (sesungguhnya orang-orang musyrik itu termasuk najis) tentunya secara hukum, bukan kasat mata. Maksudnya, jika kita bersentuhan dengan kaum kafir, maka kulit kita tetap suci sebagaimana saat kita bersentuhan dengan muslim yang sedang junub, dan tidak perlu dicuci. Tetapi Baik kaum kafir maupun orang yang junub tetap dilarang masuk masjid karena dihukumi najis hukmiy.
Permasalahannya, bahwa para penguasa Turki saat ini justru didominasi oleh penganut sekuler liberal, mereka adalah pengikut pemahaman mendiang Kemal Attaturk. Jadi mereka tidak pernah menggunakan standar syariat dalam menjalankan roda kehidupan, termasuk dalam merawat peninggalan para ulama dan kesultanan Islam. Dengan demikian, Masjid Biru pun dinilai sebagai musium yang boleh dikunungi oleh semua orang, termasuk kaum kafir dari segala penjuru dunia.
Pemandangan tak sedap pun akhirnya bermunculan, minimal dalam pandangan kami. Di dalam Masjid Biru bagian belakang, banyak turis lelaki dan perempuan yang datang untuk mengambil gambar photo masjid yang sangat unik ini, dan mereka masuk dengan pakaian khas mereka yang sedikit seronok untuk ukuran pakaian di dalam masjid.
Untunglah takmir masjid di bagian wanita, menyediakan semacam kerudung lebar, dan setiap turis wanita yang menggunakan pakaian minim diharuskan menutupinya dengan kerudung tersebut. Namun tetap saja dalam pandangan kami, peminjaman kerudung itu tidak dapat menyelesaikan masalah syariat, selain ucapan: `Yaa, lumayanlah dari pada tidak ditutupi sama sekali...!`. Karena pada prakteknya, kerudung itu mereka tutupkan di atas rambutnya, sedangkan bagian ketiak dan kaki, tetap saja nyaris terbuka lebar-lebar.
Di masjid bagian belakang, diberi pembatas pagar kayu. Bagi yang akan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid maka dipersilahkan maju untuk mencari tempat di bagian depan atau di tengah masjid. Kami mengambil air wudlu terlebih dahulu lantas masuk ke dalam Masjid Biru untuk melaksanakan shalat sunnah, sekaligus shalat jamak dan qashar untuk Dhuhur dan Ashar.