JABAT TANGAN TRADISI YANG DILEGALKAN DALAM ISLAM
Luthfi Bashori
Islam tidak menolak tradisi baik dari suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran syariat. Hal ini dapat dibuktikan bahwa amalan berjabat tangan itu konon sebelum datang Islam, adalah menjadi tradisi masyarakat Yaman.
Padahal masyarakat Yaman sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai sorang rasul, ada di antara mereka yang menganut Yahudi seperti raja Dzu Nuwas beserta kaumnya, dan ada pula yang menganut Nasrani, seperti kaum Najran.
Sy. Anas RA menceritakan, ketika orang-orang dari negeri Yaman datang, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kini telah datang penduduk kota Yaman. Mereka orang-orang yang pertama kali datang dengan berjabat tangan.” (HR. Abu Dawud).
Jadi asli kebiasaan jabat tangan itu bukanlah ajaran Islam, namun karena jabat tangan itu adalah tradisi yang baik, maka dilegalkan oleh Rasulullah SAW dalam Islam.
Sy. Abu Qatadah RA bertanya kepada Sy. Anas RA, “Apakah para shahabat Rasulullah SAW biasa berjabat tangan?”
“Ya” tegas Sy. Anas RA. (HR. Bukhari)
Setelah melegalkan tradisi jabat tangan dalam Islam, maka Rasulullah SAW pun menjadikan jabat tangan ini sebagai salah satu amalan sunnah dalam syariat.
Rasulullah SAW bersabda, “Dua orang Islam yang bertemu kemudian mereka berjabat tangan, maka dosa kedua orang itu diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR. Abu Dawud).
Nabi SAW bersabda, “Apabila dua orang muslim bertemu lalu mereka berjabat tangan, maka Allah mengampuni dosa keduanya selama tangan mereka belum terlepas, dan Allah mengabulkan doa mereka berdua.” (HR. Ahmad dan Bazar)
Demikianlah kebijakan Rasulullah SAW dalam menyikapi tradisi baik yang berasal dari masyarakat, sekalipun tradisi tersebut dulunya berasal dari kalangan non muslim. Namun, jika tradisi itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diamalkan dan dipertahankan.
Contoh lain, ada sebagian masyarakat Indonesia yang setiap menjelang datang bulan suci Ramadhan, mereka mengadakan ‘megengan’. Prakteknya, mereka memasak makanan dengan menu khusus, misalnya nasi kuning, lantas mengundang tetangga kanan kirinya untuk ikut makan bersama di rumahnya, atau mereka saling mengirimkan masakan tersebut kepada tetangga kanan kiri, agar silaturrahim di antara mereka semakin solid. Melestarikan megengan semacam ini hukumnya boleh dan tidak dilarang dalam Islam.