KEHIDUPAN ORANG MUSLIM vs KEHIDUPAN ORANG KAFIR
Luthfi Bashori
Kondisi umat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia termasuk sudah sangat memprihatinkan. Kadar keimanan serta perilaku mereka juga tampak semakin lama semakin menipis. Ini terbukti bagaimana tingkat kepedulian mereka terhadap kelestarian syariat yang semakin luntur.
Ukuran hidup mereka saat ini, kebanyakan hanya berstandar materi atau sesuatu yang kasat mata, padaha urusan agama adalah keyakinan dalam hati yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra. Karena itu tak heran jika umat Islam sudah semakin jauh dari ajaran agamanya.
Sebagai contoh kongkrit adalah, betapa banyaknya umat Islam yang tidak lagi mengukur ‘keislaman’ sebagai kiblat kehidupan sehari-hari, seperti saat mereka ramai-ramai mengatakan bahwa untuk memilih sahabat karib, atau mencari mitra hidup, atau memilih pemimpin itu tidak harus dari kalangan umat Islam, dan boleh saja menjadikan orang kafir itu sebagai pemimpin.
Tentunya pernyataan mereka semacam ini sudah tidak lagi berkiblat kepada firman Allah sebagai standar beragama, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian (yaitu orang-orang kafir) menjadi teman-teman setia, yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita rahasia Muhammad), karena (berdasarkan) belas kasih dan sayang (kalian kepada mereka); padahal sesungguhnya mereka itu telah ingkar kepada kebenaran (ajaran Islam) yang datang kepada kalian, mereka (juga) mengusir Rasululllah (dari Makkah) dan (mengusir) kalian (kaum muhajirin, dengan alasan) karena kalian beriman kepada Allah, Tuhan kalain.
Jika kalian benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (maka janganlah kalian berbuat seperti itu). Kalian membuka rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, dengan alasan belas kasih dan sayang (kalian kepada orang-orang kafir itu). Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. Dan barangsiapa di antara kalian melakukan hal itu, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Almumtahanah, 1)
Keadaan umat Islam yang seperti ini, hakikatnya telah digambarkan oleh Rasulullah SAW.
Sy. Abu Hurairah RA menyampaikan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Islam itu pada mulanya (terdengar) asing (di telinga kaum Arab Quraisy), dan (suatu saat) akan kembali menjadi asing (di kalangan umat manusia dan kembali) seperti pertama kali (datang). Maka berbahagialah kiranya (orang yang berpegang teguh ajaran Islam) hingga terasingkan (dari pergaulan).”(HR. Muslim).
Dalam bermasyarakat, khususnya saat mengais rejeki yang halal, memang seharusnya umat Islam itu tidak terlalu kaku dalam memilih lingkungan hidupnya, namun bukan berarti boleh serampangan dalam melepaskan keyakinannya terhadap ajaran Islam, apalagi jika hanya karena pertimbangan duniawi semata.
Artinya, umat Islam boleh hidup di mana saja dan bertemu dengan siapa saja, namun harus tetap mempertahankan keyakinan terhadap Islam, serta tidak melanggar ajaran syariat apapun yang terjadi. Hal ini sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dari Sy. Ka’ab bin Malik RA berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perumpamaan hidup orang mukmin (seharusnya) bagaikan pohon yang lentur, ditiup angin ke kanan dan ke kiri. Suatu saat ia terbanting membungkuk (saat bergaul secara umum dengan masyarakat seperti saat mencari rejeki), namun pada saat yang lain dia (harus) tegak lurus kembali (mempertahankan aqidahnya saat diperlukan). Demikianlah keadaannya (dalam bertahan hidup) hingga pohon itu mati (perlahan secara wajar).
Sebaliknya, perumpamaan hidup orang kafir (dan munafiq) itu seperti pohon yang keras berdiri di atas pokoknya, (yang umumnya) tidak (mudah) terombang-ambingkan oleh angin. Namun sekali ia tumbang, maka habis sudah riwayatnya (secara tragis).” (HR. Muslim)