MENJAUHI KEMURTADAN UNTUK MENEGUK MANISNYA IMAN
Luthfi Bashori
Sy. Anas RA menginformasikan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada tiga perkara apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia akan merasa betapa manisnya iman:
1.   Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain.
2.   Mencintai orang lain semata-mata karena Allah.
3.   Benci menjadi kafir kembali setelah Allah melepaskannya dari kekafiran itu, sebagaimana bencinya akan dilempar ke neraka,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mencintai Allah dan Rasulnya melebihi yang lain, maksudnya dalam menjalani kehidupannya itu selalu merujuk kepada ajaran agama Islam secara benar, khususnya dalam menentukan sikap. Baik itu yang berurusan dengan peribadatannya maupun yang terkait dengan urusan kemasyarakatan, hingga tidak lebih mendahulukan rasio otaknya maupun nafsu duniawiyahnya semata.
Mencintai orang lain semata-mata karena Allah, tiada lain haruslah pandai pandai memilih teman. Seseorang akan merasakan kenikmatan imam, jika selalu berkumpul dengan orang-orang shaleh. Karena berkumpul dengan orang-orang shaleh itulah yang dapat mengingatkan dirinya untuk selalu ingat kepada Allah dan Rasul-nya.
 Sebaliknya, siapapun yang yang lebih senang memilih pergaulan dengan kalangan orang-orang jahat dalam perangai, orang-orang fasiq ahli maksiat dalam beragama, orang-orang yang liberal menyepelekan ajaran syariat dalam berpikir, apalagi orang-orang kafir karena menolak masuk Islam, maka hatinya akan keras membatu. Sekalipun lisannya selalu mengaku beriman misalnya, namun jika salah dalam memilih pergaulan, hakikatnya hatinya itu jauh dari keimanan kepada Allah, lantas bagaimana ia akan menikmati manisnya iman ?
Benci menjadi kafir, maksudnya adalah membenci kekafiran, baik itu yang dikhawatirkan terjadi pada dirinya sendiri, atau kekafiran yang terjadi pada orang lain, misalnya kafir karena akibat pengingkaran terhadap syariat Islam, atau kafir karena kemurtadannya akibat keluar dari Islam, atau kafir karena kesyirikan akibat menyekutukan Allah, bahkan kafir karena menolak masuk agama Islam.
Jika orang yang beriman kepada Allah itu sudah mampu membenci kekafiran seperti tersebut di atas, tentu dirinya akan mudah untuk merasakan manisnya iman.   Â
Sy. Abu Hurairah RA menceritakan, suatu hari para shahabat menghadap Rasulullah SAW, lantas mereka berkonsultasi , “Ya Nabiyallah, kami merasa di hati kami ada sesuatu perasaan was-was (takut menjadi murtad) yang amat berat bagi kami untuk menghalaunya.”Â
Nabi S.A.W bertanya, “Benarkah itu?”
Mereka menjawab, “Ya, Sungguh.”
Nabi S.A.W menerangkan, “Yang demikian itu adalah tanda suatu iman yan sempurna.” (HR. Muslim).
Hadits ini menerangkan, bahwa memiliki perasaan was-was yang takut terjerumus kepada kemurtadan itu adalah pertanda sebagai kesempurnaan iman. Sebaliknya keteledoran seseorang hingga mudah terbawa arus perilaku yang dapat menyebabkan kemurtadan, adalah sangat membahayakan keimanannya.
Karena itu sifat kehati-hatian dalam berkata, berpendapat, berperilaku, dan berpemahaman agar tidak mendekati hal-hal yang dapat menyebabkan kemurtadan, kesyirikan maupun kekafiran itu sangatlah dibutuhkan bagi mereka yang merindukan manisnya iman.