SETIAP MANUSIA BERUSAHA UNTUK DIRINYA
Luthfi Bashori
Nabi Muhammad SAW pernah menjabarkan dalam sebuah hadits: Setiap pagi, manusia itu selalu berusaha untuk dirinya sendiri, adakalanya ia berusaha memerdekakan dirinya atau justru akan membinasanakannya. (HR. Muslim).
Setiap orang itu pasti akan selalu berusaha menghidupkan hari-harinya. Ada di antara mereka yang sengaja berniaga menjual dirinya kepada Allah demi mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, ini sama halnya ia telah memerdekakan diri dari ancaman neraka, tetapi ada juga yang sengaja menjual dirinya kepada tuhan-tuhan selain Allah, maka hakikatnya ia telah membinaskan diri serta menjerumuskannya ke dalam api neraka.
Jadi setiap manusia itu selalu berusaha untuk dirinya sendiri. Ada yang menghidupkan hari-harinya itu selalu mencari keridhaaan Allah dengan cara mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan- Nya, berusaha selalu berbuat baik dan positif, yang sekira dapat menunjang kebaikan hidupnya, apapun yang terjadi, tanpa harus tepengaruh oleh keburukan lingkungan yang mengelilinginya misalnya, maka ia tetap beristiqamah mempertahankan nilai-nilai kebaikan syariat yang diyakininya.
Sedangkan di antara mereka ada yang menjual dirinya kepada sesembahan selain Allah, entah itu berupa setan atau hawa nafsu, atau ha-hal lain yang ditandai dengan banyaknya melakukan dosa-dosa kemaksiatan, entah itu maksiat dhahir semisal minum arak, atau maksiat bathin seperti mengikuti paham sesat, maka golongan ini sesungghunya telah membinasakan kehidupannya serta menyiapkan dirinya sendiri untuk masuk ke dalam Neraka .
Tentang perbuatan dosa, ada seorang ulama yang menerangkan makna sabda Nabi SAW, Dosa itu adalah sesuatu yang mengganggu hatimu dan engkau tidak ingin orang lain mengetahuinya. Hadist itu menunjukkan bahwa manusia selalu merujuk kepada hatinya apabila ia ingin melakukan satu perbuatan.
Imam Al-Ghazali berkata, Badan manusia itu ibarat jaring tehadap dirinya sendiri, adakalanya dapat menghasilkan amal-amal saleh dengan jaringnya tersebut. Jika jaringnya itu menghasilkan kebaikan kemudian ia meninggal duninya, maka itu sudah cukup baginya dan ia tidak memerlukan jaring alias badannya itu sesudah kematianya.
Tidaklah diragukan lagi jika seseoranmg itu telah meninggal dunia, maka terputuslah nafsu syahwatnya terhadap kehidupan dunia, sedanngkan jiwanya akan selalu menyukai amal shaleh yang pernah diperbuatnya semasa hidup, karena amal shalehnya itu akan menjadi bekal dirinya di alam kubur.
Namun jika amal yang menyertai kepergiannya itu ternyata keburukan perilakunya, serasa ia akan minta kembali hidup di dunia sekalipun hanya sekejap, agar bisa beramal baik, sebagai bekal untuk menemaninya di alam kubur.
Sayangnya hal ini terjadi setelah jaring amalnya alias badannya itu telah diambil, hingga dikatakan kepadanya: Mustahil, mustahil... waktunya telah lewat...! Maka ia pun hanya dapat menyesali atas kelalaiannya itu.