Kunci Sukses Berpuasa Ramadhan
Khalili
Menjalani ibadah di bulan suci, diharuskan berhati-hati. Dalam arti harus merawat dan melestarikan ibadah itu sebaik-baiknya setelah Ramadhan berakhir. Sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulullah, bahwa banyak hamba yang gagal dalam berpuasa. Karena kelengahannya, tidak ada yang didapat kecuali rasa lapar dan dahaga. Orang yang bakal sukses, akan berpuasa secara total. Dan Allah tidak segan memberi gelar mu’min muttaqi (mukmin yang sempurna iman dan takwanya) – gelar yang diidam-idamkan oleh orang yang sadar beragama. Nah, bagaimana agar kita sukses berpuasa dan ibadah tidak sia-sia? Tentunya kita harus mencontoh salaf-salaf (pendahulu) kita dalam beribadah. Mereka manfaatkan waktu dan tempat seefektif mungkin – disertai penataan hati yang sempurna.
Pada bulan Ramadhan inilah momen yang paling tepat untuk menyucikan jiwa (tazkiyatu al-nafs) – setelah selama setahun kita taburi hati dengan kotoran – sebagai jalan untuk meraih kemenangan hakiki dan merengkuh derajat mu’min muttaqi, karena inilah kesuksesan hidup yang sebenarnya.
Memang tidaklah mudah seorang hamba Allah Subhanahu wa ta’ala mencapai derajat mu’min muttaqi. Seorang muslim harus peras keringat – atau biasa disebut riyadhah dalam istilah tasawuf – untuk meraih gelar yang mulia itu. Berbagai macam ibadah dan tahapan harus dilakukan untuk mencapainya. Bagi seorang yang sadar beragama, menjadi mu’min muttaqi adalah cita-cita yang ia idam-idamkan. Dan setiap muslim hendaknya mempunyai ambisi untuk meraih gelar mulia itu.
Mendapat ridha Allah azza wa jalla dan masuk surga adalah kemenangan hidup yang hakiki. Kemenangan bukanlah berarti mendapat kebebasan, kemakmuran, harta melimpah dan jabatan tinggi. Ini adalah kemenangan semu. Bagi seorang mu’min, kemenangan mempunyai arti tersendiri, yaitu mendapat ridha Ilahi dan merengguk kenikmatan surgawi.
Di bulan puasa, seorang mukmin ditraining untuk menjadi hamba yang bertakwa dengan benar. Di bulan ini kita dilatih bersabar, menahan nafsu, jujur, banyak istighfar, dan peduli sosial. Dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan karakter orang yang bertakwa :
“Yaitu orang berdo’a Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka, (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar yang tetap ta’at yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur (QS. Ali Imran: 16-17). Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya :
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-oang yang betakwa, (yaitu) orang-oang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui “ (QS. Ali Imran: 133-135).
Dengan berpijak pada ayat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar seorang hamba sukses menjalani ibadah puasa, yaitu pertama, selalu meminta ampun kepada Allah siang dan malam (membaca istighfar sebanyak-banyaknya) dengan perasaan takut (khauf) terhadap adzab-Nya. Orang bertakwa akan selalu mengakui kesalahannya dan bersegera untuk meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ia tidak perlu menunda-nunda taubat. Setiap muslim mempunyai kewajiban untuk bertaubat. Taubat bukanlah harus dilakukan saat umur tua, taubat bukanlah kewajiban orang fasik atau ahli maksiat saja. Namun, orang yang sudah tua, muda, fasik, santri, ustadz, atupun kyai semuanya mempunyai kewajiban bertaubat. Manusia adalah makhluk yang tidak telepas dari dosa.
Kecuali Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang terjaga dari perbuatan dosa (ma’shum). Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum saja membaca istighfar sebanyak tujuh puluh kali tiap malam. Kedua, selalu sabar dalam menjalankan perintah-Nya. Saat puasa, selama sehari menahan lapar, tapi saat itu pula beragam aktivitas ibadah harus dijalani baik wajib maupun sunnah. Di sini, seorang hamba diuji kesabarannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam menjalankan ibadah. Di bulan suci itu, Allah Subhanahu wa ta’ala mengobral pahalanya, dan membuka pintu selebar-lebarnya ruang ibadah dan ampunan. Seorang hamba logikanya merasa bosan menjalani beragam ibadah wajib dan sunnah. Tapi bagi seorang calon mu’min muttaqi hal itu dilakukan secara total dan istiqomah. Seakan tiada rsa beban berat dalam beribadah.Rasa lapar tidak menguarangi semangatnya menjalankan aktivitas. Ketiga, jujur (shiddiq) baik perkataan atau perbuatan. Apa yang diucapkan, sesuai dengan perbuatannya. Segala amanah yang diembannya selalu dilaksanakan dengan benar, baik ketika menjadi seorang rakyat biasa atau menjadi seorang pemimpin negara. Ia merasa apa yang ia kerjakan selalu diawasi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Keempat, mempunyai kepedulian social yang tinggi. Mengeluarkan sedekah sebanyak-banyaknya menurut kemampuan dengan penuh keikhlasan. Dalam keadaan lapang atau dalam keadaan sempit ia mengulurkan tangannya membantu para dhuafa.
Beraneka ragam ibadah sangat dianjurkan. Anjuran-anjuan tersbut tidak boleh terlewatkan. Misalnya sedekah, membaca al-Qur’an, berdzikir dan lain sebagainya. Sesibuk apapun seseorang – baik itu seorang direktur, dokter, dosen, wartawan atau pedagang – tidak ada alas an untuk tidak berdzikir kepada Allah. Membaca shalawat, istighfar, atau dzikir lainnya dapat dibaca ketika dalam kendaraan menuju tempat kerja. Tidak ada salahnya kita berkomat-kamit menyebut asma Allah di dalam kendaraan. Di saat rehat dikantorpun kita juga bisa membaca al-Qur’an walau selembar dua lembar. Waktu luang yang biasa kita gunakan untuk membaca koran sambil minum kopi kita ganti dengan tilawatul Qur’an. Wal hasil, semua tempat dan waktu dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Lisan juga harus dijaga dari segala ucapan dusta, kotor, keji dan ghibah. Karena ucapan-ucapan tersebut dapat meleburkan pahala puasa. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka sedikitpun Allah tidak sudi menerima puasanya meskipun ia tidak makan dan tidak minum” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, agar kita mendapat predikat muttaqi, hendaknya kita manfaatkan bulan yang datangnya setahun sekali ini dengan sebaik-baiknya. Kita siapkan lahir dan batin untuk memperbanyak amal, meningkatkan kualitas ibadah, mengekang hawa nafsu, banyak istighfar dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Segala amal perbuatan tahun lalu yang tidak baik hendaknya dijauhi dan dihindari. Selanjutnya bersiap-siap memulai babak baru yang harus diwarnai dengan perilaku yang baik serta terpuji.
Hendaknya seorang mukmin selalu mengadakan introspeksi diri serta mengevaluasi semua perbuatan yang telah berlalu untuk diperbaiki pada tahap berikutnya. Sehingga semakin tua umur, semakin baik dan sempurna amal dan keimanan seseorang. Begitulah tujuan hidup dari tahun ke tahun, diberi umur panjang dengan disertai amal baik. Dalam hadisnya Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dn bagus amalnya” (HR. Tirmidzi). Bila semua itu kita lakukan dengan baik, niscaya dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan predikat mu’min muttaqi pun dapat kita raih.
Akan tetapi, untuk meraih kemenangan yang hakiki itu, predikat mu’min muttaqi harus kita pertahankan setelah Ramadhan berakhir. Artinya kita harus melestaikan ibadah-ibadah yang tlah kita lakukan dengan giat di bulan Ramadhan. Allah takkan segan-segan mencabut gelar itu, bila kita kembali pada perbuatan semula – kembali giat melakukan maksiat. Bahkan kita malah bisa mendapat gelar muslim ‘ashi (muslim yang ahli maksiat) bila kita tidak istiqamah melestarikan ibadah yang kita lakukan di bulan puasa.