AL-MANHAL AL-LATHIF (IMAM AHLUS SUNNAH ABAD 21)
Metodologi Ulama
dalam Mengkritik Hadis
Akhir-akhir ini, umat Islam disuguhkan oleh tulisan-tulisan atau pikiran yang secara berani melakukan kritik terhadap hadis Nabi. Baik dari sisi matan (konten, isi), ataupun dari sisi perawi. Metodologi yang datang terkahir ini disinyalir adalah upaya pengkaburan terhadap ajaran Islam yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang benci terhadap Islam (Islamophobia).
Yang ironis lagi, kritik terhadap hadis tidak melulu datang dari orang di luar Islam, tetapi dari internal umat Islam sendiri kerapkali muncul pernyataan-pernyataan yang mengkritik hadis Nabi, mengkritik para sahabat Nabi, Imam Bukhari, dan beberapa imam Muhaddis lainnya.
Ada beberapa indikasi yang bisa kita tangkap dibalik semaraknya upaya mengkritik para sahabat ataupun imam Muhaddis. Di antaranya adalah karena mereka telah terkontaminasi oleh pemikiran orang luar Islam (kafir Barat) yang memang sengaja memperalat generasi Muslim agar meragukan ajarannya sendiri. Atau bisa jadi, mereka lemah di bidang ilmu hadis, sebagaimana yang telah dirumuskan para ahli hadis sejak beberapa abad yang lalu. Dan masih banyak inidikasi lain yang menjadi penyebab mengapa mereka getol mengkritik hadis.
Sebenarnya dalam disiplin ilmu hadis (Mushtahalahul Hadits), ada istilah yang disebut dengan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Yaitu metodologi arif yang dilakuakan untuk memproteksi (menjaga kemurnian) sebuah hadis. Atau bisa juga disebut dengan Ilmu Kritik Hadis. Mengkritik hadis yang dimaksudkan adalah untuk menentukan keshahihan atau derajat suatu hadis.
Kajian kritik hadis bermula ketika pada abad kedua hijriyah banyak ditemukan hadis-hadis palsu. Para sarjana ilmu hadis kemudian mengembangkan metodologi untuk menyaring dan melestarikan sunnah. Metodologi ini sudah dibakukan dan menjadi kesepakatan bersama para ulama ahli hadis.
Namun sayangnya, banyak ilmuan melakukan kesalahan dalam melakukan kritik (naqd). Kesalahan metode ini ada yang disengaja dan ada yang memang salah memahami metodologi kritik hadis. Kritik yang dimaksud bukan lagi disemangati oleh keingingan meneliti kebenaran riwayat, akan tetapi berubah menjadi kritik meruntuhkan yang didominasi oleh motivasi negatif. Akibat dari kesalahan metode ini tercipta produk hukum yang syadz (menyalahi aturan).
Satu bidang yang dikaji dalam kritik hadis adalah kritik sanad dan matan. Telah menjadi konsesus (ijma’) ulama Ahussunnah wal Jamaah, bahwa seorang rawi (orang yang meriwayatkan hadis) haruslah ’adil (kompeten), dhabith (teliti), tsiqqah (cermat), tidak mudallis (berbohong), dan memiliki kemampuan menghafal yang kuat.
Berbohong satu kali saja, akan mengurangi bobot kesahihan suatu hadis. Yang dimaksud \`adil adalah sang perawi berakidah benar, melaksanakan apa yang diperintah syariat dan menjauhi semua larangan. Bersikap wara\`, bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia. Sedang dhabit adalah mempunyai kesempurnaan berpikir, tidak pelupa dan cerdas serta tangkas. Hafalannya kuat dan mudah mengerti apa yang diterima.
Mengambil hadis dari para pendusta, orang fasik dan ahlu bid’ah atau ahlul ahwa’ (pengikut aliran sesat) jelas tidak boleh. Bisa saja mengambil hadis dari orang-orang dengan kategori di atas, akan tetapi disertai syarat-syarat khusus. Seorang ahli bid’ah misalnya bisa diambil riwayatnya, apabila bid’ahnya tidak menyebabkan kufur, tidak menghalalkan dusta dan tidak menyeru kepada madzhabnya untuk melakukan kesesatan dan kedustaan.
Selain itu sanad hadis harus ittishal (berkesinambungan) dari rawi pertama sampai rawi yang terakhir. Setiap rawi harus mendengar hadis yang ia riwayatkan itu dari perawi di atasnya. Imam Bukhari dalam hal ini menentukan syarat yang lebih ketat di banding ulama hadis lainnya. Menurut al-Bukhari, yang dimaksud hadis bersambung (muttashil) adalah bila seorang perawi tidak saja mendengar hadis yang ia riwayatkan itu dari perawi di atasnya dan hidup sezaman saja, tetapi harus bertemu langsung. Syarat harus bertemu langsung inilah yang menambah bobot dan kualitas keshahihan hadis Bukhari.
Adapun dari segi matan, para ulama telah menyebut istilah-istilah dan kaidah untuk mengetahui hadis yang shahih, hasan, do’if dan maudhu’.
Suatu hadis, bisa langsung ditolak apabila hadis itu terbukti benar-benar palsu. Untuk mengetahui riwayat itu palsu atau tidak, ada beberapa kriteria yang telah dirumuskan oleh para ulama:
1. Pengakuan tegas dan terang dari si pemalsu sendiri bahwa ia telah memalsukan suatu riwayat.
2. Kelemahan lafadz hadis sehingga ahli bahasa dapat mengetahui bahwa perkataan itu tidak mungkin keluar dari orang yang fasih bahasanya.
3. Kelemahan makna, meskipun lafalnya tidak lemah. Misalnya makna itu bertentangan dengan akal dan tidak mungkin ditakwilkan pada asalnya. Karena syariat tidak mungkin bertentangan dengan akal yang sehat. Ibnu Jauzi mengatakan, “Setiap hadis yang anda melihatnya bertentangan dengan akal dan ushul, maka ketahuilah bahwa hadis itu maudhu’.“
4. Bila hadis itu tertolak oleh persaksian dan perasaan.
5. Bilamana bertentangan dengan al-Qur’an atau Sunnah yang mutawatir atau ijma’ di samping tidak bisa ditakwilkan.
6. Bila hadis itu berisi ancaman yang keras terhadap perkara yang kecil atau janji pahala besar atas perbuatan yang remeh.
7. Bila perawinya adalah seorang Rafidhah (Syi’ah) terutama berisi tentang keutaman ahlul bait. Sebab, kelompok Rafidhah terkenal dengan kaum pandai berdusta dan membuat hadis-hadis palsu.
Demikianlah kriteria-kriteria mengkritik hadis yang telah menjadi pisau analisa untuk mnyeleksi hadis-hadis shahih dan melindungi dari riwayat-riwayat yang palsu.
Setiap kritikus hadis mesti harus dibarengai dengan niat yang ikhlas, keimanan yang murni dan berpedoman pada rambu-rambu yang telah ditetapkan. Jika tidak, hadis-hadis yang shahih dilemahkan atau hadis palsu dishahihkan. Khalili