BELAJAR KEPADA SY. ALI BIN ABI THALIB & ST. FATHIMAH, RA.
Luthfi Bashori
Salah satu cara kita meninjau standar ketawakkalan dan kepasrahan diri kita kepada Allah, antara lain dengan banyak membaca riwayat orang-orang shaleh, yang terkenal memiliki ketawakkalan dan kepasrahan diri kepada Allah dengan standar di atas rata-rata.
Dengan demikian, diharap akan dapat membangun jiwa ketawakkalan dan kepasrahan kepada Allah dalam diri kita itu semakin meningkat.
Tertulis dalam buku Penyejuk Hati, karangan Muhibburrahman Abu Zafirah kisah tentang bagaimana bentuk ketawakkalan dan kepasrahan Sy. Ali bi Abi Thalib dan sang istri, St, Fathimah kepada Allah dengan standar tingkat tinggi, barangkali sangat sulit dicari bandingannya.
Coba tengok kisah berikut, dan mari kita belajar dari apa yang dipraktekkan oleh dua orang suami-istri yang sangat mulia di sisi Allah, SWT dan Rasul-Nya, SAW ini.
Tidak seperti biasanya, hari itu Sy. Ali bin Abi Thalib pulang lebih awal menjelang Ashar. St. Fathimah putri Rasulullah menyambut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Sy. Ali membawa uang lebih banyak karena keperluan di rumah makin besar.
Sesudah melepas lelah, Sy. Ali berkata kepada Fathimah. Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepersenpun.
St. Fathimah menyahut sambil tersenyum, Memang yang mengatur rezeki itu bukan orang yang duduk di pasar bukan? Allah SWT lah yang mengatur rezeki.
Terima Kasih, jawab Sy. Ali.
Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakkal. Padahal, keperluan dapur sudah habis sama sekali. Meskipun demikian, St. Fathimah tidak menunjukkan sikap kecewa atau sedih.
Sy. Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah.
Sepulang dari shalat, ia dihentikan oleh seorang tua di jalan, Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?
Sy. Ali menjawab dengan heran, Ya betul, ada apa, Tuan?
Orang tua itu lalu merogoh kantung seraya berkata, Dahulu ayahmu pernah aku suruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar upahnya. Ayahmu sudah meninggal jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.
Dengan gembira Sy. Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.
Tentu saja St. Fathimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Sy. Ali menceritakan kejadian itu.
Kemudian St. Fathimah memintanya agar uang itu dibelanjakan semua hingga tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari.
Sy. Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, Siapakah yang mau menghutangkan hartanya karena Allah.
Bersedekahlah kepada saya, karena saya ini seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.
Tanpa berfikir panjang Sy. Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.
Pada waktu ia pulang dan St. Fathimah keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Sy. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya.
St. Fathimah tetap tersenyum, berkata, Keputusan kakanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta karena Allah daripada bersifat bakhil yang bisa menyebabkan murka Allah dan menutup pintu surga untuk kita.