Membingkai Pancasila Dengan Islam
(Kasus Piagam Jakarta)
Kholili Hasib
(Peserta Kaderisasi Ulama\` ISID Gontor Ponorogo)
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia termasuk sebagian umat Islam memperingati hari kelahiran Pancasila dengan cukup semarak dan khidmat. Namun, tanggal 22 Juni seakan dilupakan. Pada tanggal tersebut tahun 1945 ditetapkan Piagam Jakarta, hasil kesepakatan bersama antara berbagai elemen bangsa. Dengan Piagam itulah mestinya umat Islam Indonesia dapat menjalankan syari\`at Islam. Akan tetapi gagal karena pengkhianatan pihak nasionalis-sekuler, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Sedari awal tokoh-tokoh Islam yang diwakili KH. Wachid Hasyim dan KH.Agus Salim menginginkan Islam sebagai dasar negara Indonesa. Setelah melalui perdebatan hebat termasuk kengototan pihak sekuler menolak Islam sebagai dasar Negara akhirnya disepakatilah Piagam Jakarta dan oleh wakil-wakil Islam kesepakatan itu merupakan hasil usaha maksimal. Mereka pun berusaha agar Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa tidak menjadikan umat Islam Indonesia tersekulerkan. Untuk itu maka, dimasukkanlah unsur-unsur Islam di dalamnya. Pertanyaannya, bagaimana sekarang Pancasila malah justru terwarnai oleh sekulerisme? Saat ini, Pancasila dipegang kaum pluralis-sekularis. Maka Pancasila pun ditafsir dan dibingkai dengan aroma pluralisme dan sekularisme.
Bagaimana umat Islam menyikapinya? Untuk menyikapi ideologi Pancasila seperti sekarang, pernyataan M. Natsir cukup menarik. \"Pancasila mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukan berarti Islam\" kata Natsir. Menurut beliau bukan berarti Pancasila sudah mewakili seluruh ajaran Islam, ia hanya sebagian kecil dari sekian banyak ajaran Islam. Sejak dihapuskannya tujuh kata dalam sila pertama, Pancasila telah kehilangan ruh Islamnya, disebabkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya telah diganti. Maka, menurut Dr. Adian Husaini, sudah saatnya Pancasila itu kita ambil dan dimaknai secara Islami. Hal ini bukan berarti kita commited dengan ideologi Pancasila. Tetapi, dalam rangka memasukkan ruh Islam dalam bernegara. Jika disimpulkan, pendapat M. Natsir dan Dr. Adian tersebut semata-mata hanya salah satu strategi islamisasi peradaban.
Bagi sebagian kalangan, ideologi Pancasila adalah suatu keniscayaan, apalagi ancaman disintegrasi sering mencuat paska reformasi. Bagi pendukung Pancasila, ideologi ini dapat menjadi ideologi pemersatu bangsa yang beraneka ragam suku, kepercayaan dan agama. Dalam konteks ber-Indonesia, lahirnya landasan negara (Pancasila) yang diperingati pada setiap 1 Juni adalah medium penghantar lahirnya semangat baru untuk selalu berintegrasi. Roeslan Abdulgani (1976), salah seorang perumus Pancasila, pernah mengatakan bahwa secara politis Pancasila merupakan lambang rekonsiliasi nasional. Sedangkan arus sentral rekonsiliasi itu menurut Roeslan adalah nasionalisme. Lima asas (dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan last but not least terakhir tetapi bukan tidak penting ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, kata Roeslan.
Ideologi Pancasila, pasca reformasi, kembali memancing pro-kontra dalam internal umat Islam. Bagi parpol-parpol Islam, Pancasila sebagai asas bernegara dan berbangsa sulit untuk ditolak meski secara i\`tiqadiy tidak sepakat. Arief Mudatsir Mandan, fungsionaris PPP, pada tahun 2006 kepada ANTARA News (28/062006) pernah mengeluarkan pernyataan berbau pluralis, bahwa sila-sila dalam Pancasila menurutnya sudah mencerminkan keanekaragaman atau pluralisme. Jika yang dimaksud pluralisme itu adalah paham yang menyamakan semua agama, maka ia sejalan dengan pemahaman Jaringan Islam Liberal (JIL). Gus Dur dalam acara Talk Show di Antv (02/06/2008) menegaskan bahwa nilai-nilai Kebhinekaan, toleransi dan pluralisme adalah esensi dari Pancasila. Tapi bila pluralisme itu dimaksudkan Mudatsir itu adalah fenomena keaneka ragaman, maka ia sebenarnya salah mendefinisikan, sebab keanekaragaman itu bukan pluralisme tapi pluralitas dimana hal itu tidak masalah bagi Islam.
Bagi aktivis Islam Liberal, Pancasila memang dapat dimaknai sebagai pintu masuk ide-ide sekularisme dan pluralisme. Sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa secara filosofis mengandung kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu tidak terkait dengan campur tangan Negara (Moh. Shofan dalam Esai-Esai Pemikiran Moh.Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis, hlm.180).
Dalam pandangan Shofan, sila-sila Pancasila secara eksplisit melihat agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan Negara. Tugas Negara hanya memfasilitasi pemeluk agama dan memberi jaminan keamanan menjalankan agama. Jelas tampak bahwa pemikiran Shofan akan menggiring agama kepada ruang yang lebih sempit yaitu ruang privat, nilai-nilai agama boleh saja masuk ruang publik, namun dengan syarat nilai moral religi yang sudah menjadi kesepakatan umum
Semangat mengegolkan nilai-nilai sekularisme ini sebenarnya tidak hanya diaktivkan pada saat sekarang, pada awal-awal penetapan Pancasila sebagai asas Negara juga terjadi perdebatan hebat antara nasionalis-sekuler dengan Islam. Kegagalan memasukkan tujuh kata dalam sila pertama, merupakan awal kesuksesan kaum sekuler di Indonesia. Pada saat persiapan kemerdekaan, terjadi perdebatan hebat antara nasionalis-sekuler dangan Islam tentang asas negara. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pada 22 Juni 1945 semua pihak sepakat terhadap Dasar Negara Indonesia yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Poin penting bagi umat Islam dalam Piagam Jakarta tersebut adalah sila pertama Pancasila yang berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Usai kesepakatan Soekarno mengatakan \"Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama\".
Namun, meski telah disepakati, Lathuharhary tokoh dari pihak Kristen mengkritik sila pertama tersebut dan mengusulkan agar diganti karena akan merugikan pihak Kristen dan kaum adat. KH. Wachid Hasjim, tokoh NU, dan KH. Agus Salim membantah bahwa tidak akan ada yang dirugikan karena syariat itu hanya untuk umat Islam saja. Bahkan Soekarno, yang Nasionalis saja, menanggapi bahwa Piagam Jakarta tersebut adalah hasil jerih payah semua pihak untuk menghilangkan perselisihan faham.
Akan tetapi, Piagam Jakarta yang telah menjadi kesepakatan antara golongan nasionalis-sekuler dengan Islam tidak berumur panjang. Secara mendadak Bung Hatta mengusulkan tujuh kata (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus karena ada ancaman dari pihak Kristen bahwa Indonesia Timur akan melepaskan diri dari NKRI jika tujuh kata itu ditetapkan. Akhirnya pada 18 Agustus tujuh kata tersdbut dihapus dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di sini jelas pihak Islam dikhianati. Dan belakangan diketahui bahwa cerita Bung Hatta tentang ancaman disintegrasi dari Indonesia Timur tersebut tidak dapat dibuktikan dalam sejarah. Peneliti muslim mencurigai bahwa semua itu adalah konspirasi Belanda untuk menekan kekuatan Islam di Indonsia. Apakah pihak Kristen-Sekuler berhenti sampai di sini? ternyata tidak. M. Natsir memperingatkan bahwa meski tujuh kata dalam sila pertama digugurkan, kaum Kristen-Sekuler tidak puas. Setelah pemilu pertama (1955) bidang Legislatif, kaum Kristen berusaha keras menggagalkan setiap usaha pengesahan undang-undang yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran agama Islam.
Kegagalan pihak Islam tersebut membuka peluang kaum sekuler untuk memasukkan ide-idenya dalam negara Indonesia. Imbasnya dapat dirasakan oleh umat Islam pada saat ini. Pada zaman Orde Baru, mantan Presiden Soeharto, mencanangkan asas tunggal Pancasila bagi setiap ormas dan organisasi partai politik. Pancasila dengan penafsiran yang sekularis sebagai satu-satunya ideologi dan pandangan hidup seperti dipaksakan kepada rakyat Indonesia. Umat Islam pada masa itu tertekan, kasus Jilbab dan pembantaian umat Islam terjadi pada zaman tersebut. Sementara pihak Kristen-Sekuler terus membayangi pemerintahan.
Oleh karena itu yang bisa dilakukan umat Islam saat ini adalah mengislamkan Pancasila. Tidak ada yang salah jika tujuh kata itu dimasukkan kembali dalam Pancasila. Sebab, Piagam Jakarta yang didalamnya memuat tujuh kata memiliki landasan historis. Disamping pengembalian Piagam Jakarta, Pancasila sudah saatnya ditafsir secara Islami. Hingga saat ini otoritas penafsiran Pancasila datang dari kelompok-kelompok negarawan sekuler. Akibatnya, Pancasila menjadi tersekulerkan. Padahal yang diinginkan para perumus dari kelompok Islam (KH.Agus Salim dan KH.Wachid Hasyim) tidak bermaksud merumuskan konsep Pancasila yang sekuler, namun beliau ingin membentengi Pancasila dari interfensi nilai-nilai sekularisme. Wajar sekali bila kita teliti ternyata KH.Agus Salim dan KH.Wachid Hasyim berusaha sekuat tenaga di tengah perdebatan hebat dengan kelompok sekuler, memasukkan nilai-nilai Islam dalam Pancasila. Setelah gagal menjadikan Islam sebagai dasar negara, maka jalan satu-satunya bagi KH. Agus Salim dan KH. Wachid Hasyim adalah mengemas Pancasila dengan kemasan yang bermuatan nilai-nilai Islam.
Kenyataannya memang, hanya Islam yang bisa menafsir Pancasila dengan baik. Sila satu misalnya yang berbunyi \"Ketuhanan Yang Maha Esa\". Untuk mengetahui Tuhan yang mana dalam sila satu tersebut, dapat dirujuk pada pembukaan UUD \`45 yang berbunyi \"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.....\". Maka Tuhan yang dimaksud dalam sila satu tersebut adalah Allah. Begitu pula sila-sila selanjutnya, jika diteliti terdapat kalimat/kata yang berasal dari konsep Islam. Contohnya kata \"adil dan beradab\" (sila ke-2), kata adab adalah konsep Islam. Dalam agama-agama lain tidak mempunyai konsep \`adalah dan \`adab. Contoh lain sila ke-4 terdapat kata musyawarah. Bila diamati sila ke-4 ini tampak bertolak belakang dengan demokrasi. Sebab jelas-jelas sila tersebut menyebut musyawarah (dalam Islam disebut syuro) bukan demokrasi. Demokrasi jelas beda dengan syuro, itu artinya Demokrasi sebenarnya tidak Pancasilais. Jika kita mau jujur mestinya yang diterapkan adalah syuro bukan Demokrasi. Memang para perumus Pancasila yang diantaranya terdiri dari beberapa Kyai ingin dasar negara Indonesia lebih Islami tidak tercampur dengan ide-ide sekuler seperti sekarang ini. Maka tugas kita, dalam posisi umat Islam seperti sekarang mengembalikan Piagam Jakarta dan menafsir Pancasila dengan baik serta membuang penafsiran yang sekuler. (KH).