MARAH TERHADAP PELECEHAN AGAMA
Luthfi Bashori
Di antara musibah yang terbesar bagi seseorang adalah musibah dalam agamanya. Musibah ini adalah musibah dunia akhirat yang terbesar, kerugiannya sangat besar, sedikit pun tidak ada keuntungannya sama sekali.
Apa itu musibah agama?
Yaitu hilangnya keimanan kepada Allah atau sesatnya keyakinan dan lunturnya semangat keislaman.
Imam Ibnu Abi Dunya menerangkan bahwa Syeikh Syuraih berkata, Terkadang aku terkena musibah, dan ketika aku tertimpa musibah itu aku bersyukur kepada Allah empat kali:
* Pertama aku bersyukur, demi mendapatkan pahala, padahal Allah mampu menimpakan musibah yang lebih besar.
* Kedua, aku bersyukur karena aku diberi oleh Allah kesabaran.
* Ketiga, aku diilhami oleh Allah bisa mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun sehingga dapat tambahan pahala.
* Keempat, aku bersyukur kepada Allah karena musibahnya bukan dalam urusan agama dan keyakinan.
Imam Syafii berkata:
من استغضب فلم يغضب فهو حمار ومن استرضى فلم يرضى فهو شيطان
Siapa yang dibuat marah tapi dia tidak marah maka dia adalah keledai dan siapa yang diminta keridhaannya dan dia tidak mau ridha maka dia adalah setan (Imam Syafii sebagaimana dikutip dalam Ihya Ulumiddin Juz 2/34, Hilyatul Auliya Juz 4/112, Qutul Qulub 2/194, Az-Zawajir an Iqtirafil Kabair 1/144, Bariqatun Mahmudiyatun fiy syarhi thariqatin 1/388, 1/409)
Sebuah syair menyatakan:
أَبُنَيَّ إنَّ مِنْ الرِّجَالِ بَهِيمَةً * فِي صُورَةِ الرَّجُلِ السَّمِيعِ الْمُبْصِر
فَطِنٌ بِكُلِّ مُصِيبَةٍ فِي مَالِهِ * وَإِذَا يُصَابُ بِدِينِهِ لَمْ يَشْعُر
Wahai anakku, sesungguhnya ada orang yang seperti hewan ternak dalam rupa orang yang bisa mendengar dan melihat. Dia cerdik/cekata jika ada musibah menimpa hartanya. Namun, di saat ada musibah menimpa agamanya dia acuh tidak mau peduli. (Adabu dunya waddin 1/126, karya Imam al-Mawardi asy-Syafi`i, Qutul Qulub 1/227, al-Madkhal 1/492).
Diriwayatkan, bahwa raut wajah Nabi Muhammad S.A.W dapat berubah memerah karena marah, seperti ketika ada shahabat yang meminta dispensasi hukum, yaitu agar Nabi S.A.W tidak memotong tangan seorang wanita yang tertangkap mencuri. Alasan mereka, bahwa wanita itu termasuk terpandang dari kalangan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah? (HR. al-Bukhari dan Muslim.
Saat marah, Nabi S.A.W sendiri tidak pernah bermain tangan atau menyakiti fisik. Sebagaimana dalam kesaksian Sayyidah Aisyah istri tercintanya, bahwa Nabi tidak pernah sekalipun memukul wanita atau pembantu. Bahkan, ia tak pernah memukul apapun, kecuali jika sedang berjihad. (HR. Muslim)
Aisyah menambahkan, Nabi S.A.W tidak pernah membalas dendam pada hal yang ditujukan pada pribadinya, namun akan marah besar jika melihat ada kehormatan hukum Allah yang dilanggar.
Untuk urusan pribadi yang dilecehkan, maka Nabi S.A.W tidah pernah menanggapinya dengan serius, namun sangat berbeda jika menyangkut urusan agama. Demikian pula saat beliau S.A.W melihat para shahabat yang marah ketika mereka benar-benar membela kehormatan agama, maka Nabi S.A.W tidak memarahi mereka.
Bahkan Nabi S.A.W membenarkan kemarahan shahabat Saad bin Ubadah yanga akan memenggal leher seseorang yang kepergok menodai istrinya tanpa harus menunggu empat orang saksi. Ada banyak hadis yang menjelaskan bagaimana Nabi akan marah jika ada hukum dan aturan Allah yang dilanggar atau dihinakan.
Berkata Imam An-Nawawi:
الْحَدِيث فِيهِ الْغَضَب لِمَا يُنْكَر مِنْ أُمُور الدِّين وَالْغَضَب فِي الْمَوْعِظَة
"Dalam hadits ini terdapat (petunjuk tentang bolehnya) marah terhadap kemungkaran dalam perkara agama dan marah dalam memberikan peringatan. " (Syarh Shahih Muslim juz 2 hal. 215 Maktabah Syamilah).
Kemarahan atas dasar agama yang disalurkan pada batas-batas yang yang dibenarkan oleh syariat, serta norma-norma keislaman maupun kenegaraan, adalah sesuatu yang sangat mulia di sisi Allah, dan termasuk sunnah Nabi S.A.W yang tentunya mendapatkan pahala dari Allah.
Sebailknya, bersabar terhadap pelecehan yang ditujukan kepada pribadi, yang tidak terkait dengan urusan agama, juga termasuk sunnah Nabi S.A.W dan akan mendapat pahala dari Allah.
Suatu saat, Nabi Muhammad S.A.W duduk di majelis yang penuh barakah, beliau S.A.W dikelilingi oleh para sahabat. Tiba-tiba datang seorang Arab Pedalaman. Ia meminta bantuan kepada Nabi S.A.W untuk membayar kewajiban denda tanggungannya. Setelah Nabi S.A.W memberinya sejumlah uang, dengan lembut Nabi S.A.W bertanya, Apakah aku sudah berbuat baik padamu?
Tidak, kamu masih belum berbuat baik, jawab pria itu. Kamu belum berbuat baik, tambah dia sekali lagi, seolah memancing kemarahan Nabi.
Mendengar itu, para shahabat mulai menampakkah kemarahanm karena melihat pria itu tidak menghormati Nabi S.W.A. Namun dengan tenang Nabi S.A.W memberi isyarat agar para shahabat menahan diri. Selanjutnya Nabi S.A.W mengajak pria itu masuk ke rumah beliau yang terletak di samping masjid, lantas beliau memberi tambahan pemberian, lantas Nabi S.A.W bertanya, Apakah aku sudah berbuat baik padamu?
Pria itupun menjawab, Ya, semoga Allah membalasmu, keluarga, dan kerabatmu dengan kebaikan.
Nabi SAW lantas merasa kagum dengan ucapan terakhir pria itu yang menyimbulkan kerelaanhatinya. Tapi beliau S.A.W khawatir dalam hati para shahabatnya masih tersisa ganjalan.
Tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka melihat orang ini di jalan atau di pasar, dalam kondisi masih menyimpan dendam. Karena itu, beliau S.A.W berpesan kepada pria itu, Dalam hati para shahabatku, tentu ada sesuatu karena kejadian tadi. Jadi, jika engkau datang kembali, maka katakan di depan mereka ucapan seperti yang engkau katakan padaku barusan. Sehingga shahabatku tak marah lagi.
Jadi, Nabi S.A.W mengambil tindakan yang tepat dengan cara mengajari umatnya yang belum mengerti adab sopan dalam beragama, namun beliau S.A.W juga tidak menyalahkan para pejuang Islam dari kalangan para shahabat yang membela kehormatan simbul Islam, yang dalam peristiwa di atas ini adalah kurang adanya adab sopan santun si pria desa itu kepada Nabi S.A.W.