FATWA AGAMA YANG SEHARUSNYA DIHINDARI
Luthfi Bashori
Di era digital yang serba canggih ini, di saat media sosial semakin mendekati hampir semua kalangan, maka tak dapat dihindari ramai pula bermunculan fatwa-fatwa keagamaan yang beredar di kalangan netizen.
Bak jamur di musim hujan, bahkan hampir setiap tulisan yang berupa fatwa keagamaan, akan bakal beredar begitu saja mengelilingi jagat dumay, ibarat air yang mengalir ke segala arah.
Bahkan sering kali fatwa-fatwa tersebut tidak jelas dari mana asal usulnya. Jangankan mengetahui sumber kitab yang dijadikan rujukan, Lha nama penulisnya saja seringkali tidak dicantumkan, hingga tidak banyak yang tahu siapa yagg telah mengeluarkan fatwa tersebut... !!??
Keberadaan fatwa-fatwa yang tidak jelas dari mana sumbernya atau dari siapa asal usulnya, maka kualitas fatwa-fatwa tersebut menjadi bias, bahkan kebenarannya pun diragukan serta masih perlu diteliti ulang.
Melakukan penelitian yang seperti ini, hakikatnya sudah menjadi keharusan bagi umat Islam, agar tidak salah dalam menjalankan ajaran agamanya, hanya karena berdasarkan fatwa yang tidak benar.
Seorang Tabiin, Imam Ibnu Sirin mengatakan Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa engkau pelajari agamamu (Riwayat Imam Muslim).
Imam Ahmad bin Hanbal juga menegaskan, Seseorang itu tidak boleh menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan kepadanya.
Maksudnya, di samping memiliki ilmu agama yang cukup mumpuni dan mendalam, maka seseorang itu jika tidak memahami satu perkara, ia tidak boleh memaksakan diri berfatwa menjawab pertanyaan yang diarahkan kepadanya, karena rawan mengarang jawaban dengan pikirannya sendiri padahal tidak sesuai ajaran syariat yang sesungguhnya.
Beliau juga mengatakan, Manusia tidak boleh memberanikan diri untuk berfatwa hingga ia memiliki lima hal:
Pertama, ia harus mempunyai niat yang ikhlas karena Allah SWT, dan dengan fatwa-fatwanya itu tidak bertujuan menjabat kepimimpinan tertentu. Jika tidak mempunyai niat yang baik, maka dirinya tidak mempunyai cahaya dan fatwanya tidak mempunyai cahaya (petunjuk, alias tidak manfaat).
Kedua, ia harus bijaksana, berwibawa dan memiliki ketenangan. Kalau tidak, ia tidak akan mampu melakukan tugasnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat.
Ketiga, ia harus kuat dalam menjalankan tugasnya dan pengetahuannya. Kalau tidak, ia pun telah membiarkan dirinya menghadapi bahaya besar (di akhirat).
Keempat, memiliki keadaan ekonomi yang cukup. Kalau tidak, ia akan dibenci banyak orang, karena rawan mentarget upah tertentu dari harta masyarakat sehingga mereka terganggu oleh ulahnya.
Kelima, mengenali keadaan masyarakat, dengan cara berusaha memahami tipu daya kalangan tertentu agar bisa berhati-hati terhadap makar mereka, sehingga tidak menjerumuskan dirinya dalam bahaya.