Zakat Produktif: Efektifkah Untuk Menanggulangi Kemiskinan?
Ahmad Haydar
Setiap tahun, yakni setiap menjelang Ramadhan kita dihadapkan pada kesibukan baru: distribusi zakat. Sampai kini kita masih dihadapkan pada isu klasik pembangian zakat, apakah harus dibiarkan zakat dibagikan secara konsumtif ataukah kini saatnya beralih ke pembangian yang produktif? Di kalangan Islam, sebenarnya sudah agak lama timbul ide untuk lebih mendaya-gunakan dana dari zakat ke arah yang lebih produktif. Misalnya seperti yang pernah dilontarkan (konon mula pertama0 oleh KH. Taufiqurrahman adalah Ketua Ikatan Masjid Indonesia itu.
\"Pelaksanaan zakat yang hanya bersifat anjuran atau suka rela sebenarnya belum cukup\" katanya. \"Mengingat Indonesia ini mayoritas beragama Islam sebaiknya pengumpulan dan pembagian zakat dilakukan secara teratur\" tuturnya. Dengan demikian maka, "Zakat bisa dijadikan alat pemecahan problem sosial dan lingkungan\" tambahnya saat itu.
Ide itu pun bergaung. Lantas banyak bermunculan Baziz (Badan Amil Zakat) di daerah-daerah. Namun cukup efektifkah? Tanda atanya ini memang masih memerlukan pembutian. Untuk lingkungan misalanya Jawa Timur, tidak kurang dari pejabat sendiri yang punya ide (kala itu) untuk lebih mendayagunkan dana zakat ini ke arah yang tidak konsumtif akan tetapi produktif. \"Untuk Jawa Timur saja setiap tahun pernah terkumpul minimal uang sebesar Rp 10 Milyar (tahun 1982) dari zakat\". \"Kita kan bisa bikin apa saja dengan uang Rp 10 Milyar setahun\" katanya suatu ketika tatkala dicanagkan mula pertama pengumpulan zakat..
Untuk merintis idenya itu, gubernur Jatim (waktu itu Sunandar Priyosudarmo) memang belum membuat langkah pelaksanaannya, tetapi \"masih akan konsultasi dahulu dengan Majelis Ulama (MU)\", katanya. Konsultasi itu sampai sekarang memang belum diadakan, tapi tentu MU tidak keberatan dengan ide itu asal benar-benar untuk dana pembangunan ummat.
Membelokkan kebiasaan yang sudah mendarah daging (membagikan secara konsumtif) begitu memang tidak mudah. Tetapi, bisa di ambil jalan tengah. Untuk sementara, biarlah zakat fitrah tetap berlangsung seperti selama ini, tetapi zakat maal dikoordinasi. Sebab untuk zakat fitrah memang harus segera dibagikan kepada yang berhak sebelum shalat `Id berlangsung\".
Seandainya pun sekarang ide untuk lebih memproduktifkan zakat itu belum bisa diterima, lama-lama akhirnya orang akan menerima juga. Sebab, meskipun jumlah dana yang terkumpul dari zakat semakin besar dan dibagikan habis kepada yang berhak, hasilnya kurang dirasakan secara langsung.
Dana dari zakat produktif sesungguhnya bisa mengangkat kehidupan ekonomi umat, untuk menolong dengan memberi modal atau pinjaman dari uang zakat tersebut. Tentunya dengan control dan pembinaan agar bisnis yang dilakukan dapat berjalan efektif. Yang unik, modal itu tidak diberikan secara cuma-cuma begitu saja., tetapi mereka disertai syarat harus memberi shadaqoh sedikit demi sedikit sehingga mencapai sebesar modal yang diterima.
Dari hasil shadaqoh ini akhirnya bisa digunakan untuk memberi modal kepada yang lain lagi atau memperbesar modal pengelola. Kalau mereka diberi secara cuma-cuma begitu saja, dari segi pendidikan kewiraswastaan memang kurang cocok. Dengan adanya kewajiban shadaqoh atau bahkan nanti zakat juga, mereka tidak ceroboh dalam memutar uang tersebut. Dan ankan mengerti batas hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya.
Di tingkat pusat, sebenarnya tidak kurang dari Presiden Suharto sendiri pernah punya gagasan yang menarik. Itu terjadi pada tahun 1968 ketika Presiden Suharto melakukan kunjungan kerja ke Sumatra. Presiden, sepulangnya dari Sumatra memanggil Mintareja (waktu itu Menteri perhubungan DPR/MPR-pemerintah) apakah zakat tidak dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modal pembangunan. Nah, dari situ kemudian muncul gagasalan penguimpulan secara nasional, hingga terbentuknya BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang kemudian berkembang di daerah-daerah sampai sekarang.
Inilah bedanya zakat konsumtif dengan zakat produktif: yang agaknya ke depan yang produktif inilah yang akan menjadi tantangan kita ke depan. Terutama di tengah keterpurukan ekonomi yang mendera bangsa dan umat kita saat ini. Tidak ada alternative lain keuali kita harus memberi \"umpan\" dank ail pada mereka, bukan terus-menerus memberi ikan. Menurut hemat kita, sangat produktif cukup efektif untuk menanggulangi kemiskinan nasional dewasa ini.