KH. Ma’ruf Amin: “Yang Keluar Dari Sunni Itu Sedang ‘Kesurupan’”
Ernaz Siswanto.
“Lisanu Ahlissunnah wal Jama’ah, Penyambung Lidah Ahlussunnah wal Jama’ah.” Demikian DR. HM. Baharun menyebut sosok KH Ma\`ruf Amin, dalam kesempatan “duet” pada Dialog Ahlusunnah wal Jama’ah beberapa waktu lalu. Betapa tidak, dalam setiap kemunculan sosok Kiai Ma’ruf di televisi maupun media cetak beliau tetap istiqamah menyuarakan kebenaran dan pembelaan terhadap Ahlusunnah ‘ala qadri istita’atih. Secara de facto beliau adalah Lisanu Ahlissunnah wal Jama’ah. Sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, ia termasuk tokoh yang berada di balik fatwa MUI yang memberi sertifikat sesat paham “Sipilis” (Sekulerisme-Pluralisme-Liberalisme).
Pada acara dialog yang merupakan rangkaian kegiatan memperingati Harlah NU ke 82 di PCNU Sumenep itu, Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) itu adalah manhajul fikr, harakatu ishlah dan fitrah. Sebagai manhajul fikr (cara berfikir), NU lahir dari upaya untuk menyelamatkan umat dari cara-cara berfikir destruktif. Dan manhaj fikir inilah yang kemudian dirumuskan oleh sesepuh NU sebagai manhaj fikr NU, yaitu maa ana ‘alaih wa ashabih. Atau manhaj fikr ahlussunnah wal jama’ah maa ana ‘alaih wa ashabih.
“Karena itu, NU yang tidak berfikir menurut manhaj fikri-nya NU, menurut saya, itu adalah NU ‘kesurupan’,” tutur kiai yang juga Mustasyar PBNU itu.
NU sebagai organisasi merupakan sebuah organisasi pergerakan ulama untuk mengadakan perbaikan agama dan kemasyarakatan, dengan meneladani para pendirinya dari segi perkataan, perbuatan dan mu’amalah.
“Oleh karena itu apabila NU tidak bergerak, itu namanya NU mabniyyun alas sukun (diam di tempat atau statis.red)”, kata Kiai Ma’ruf. Fikrah NU mengacu pada jiwa ketulusan dan kemurnian. Implementasinya, di dalam masalah kepemimpinan kiai saling mendorong dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam perjalanan Fikrah Nahdliyah, NU menghadapi dua tantangan, yaitu internal dan eksternal. Bentuk tantangan internal, menurut Kiai Ma’ruf adalah kecenderungan sebagian kalangan Ahlussunnah yang menjadi konservatif atau mengarah pada jumud. Tidak dinamis. Padahal ulama mengatakan bahwa jumud di dalam teks-teks saja merupakan kesesatan dalam beragama dan satu kebodohan terhadap apa yang dikehendaki oleh ulama-ulama terdahulu. Sedangkan bentuk tantangan luar NU adalah Sekularisme, Liberalisasi, dan Pluralisasi. Sedangkan NU itu sendiri menurutnya, adalah moderat tidak liberalis dan tidak fundamentalis.
Isu-isu yang dibangun oleh kaum Liberalis untuk menarik kalangan Ahlussunnah dan warga Nahdliyin khususnya, adalah seputar permasalahan HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan kemanusiaan tanpa batas. Kecenderungan dari Sekularisme mengajak umat Islam berpikir keluar dari agama.
“Buat mereka (kaum Liberalis), orang sesat dan murtad itu bagian dari kebebasan, hak asasi. Mereka mengajak supaya agama jangan masuk menjadi hukum ketatanegaraan menjadi undang-undang dengan alasan itu sejalan dengan kemajemukan,” ungkap Kiai asal Banten tersebut.
Nahdatul Ulama’, sebagaimana yang diperjuangkan oleh para pendahulunya, memperjuangkan penerapan syari’at Islam dalam masyarakat dan konteks Undang-Undang (UU). Karena itu kita menyikapi UU itu minimal tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan menjadi kewajiban para ulama untuk mengawalnya.
“Ajaran Islam harus terus kita perjuangkan untuk bisa menjadi undang-undang. Sepanjang tidak dilakukan dengan cara pemaksaan, tapi dengan cara konstitusional dan demokratis. Kita sudah berhasil melahirkan undang-undang perkawinan, undang-undang ekonomi syari’ah, dan berhasil menerbitkan Surat Berharga Syariat Negara. Saya menyebutnya ini bagian dari kemajemukan, sepanjang pihak lain tidak keberatan,” jelas Kiai yang juga menjadi anggota penasihat kepresidenan bidang keagamaan ini.
Dalam setiap langkah gerak perjuangan Islam, kelompok Sekuler pasti akan selalu menahan itu. Mereka mencegah agar jangan sampai ada ajaran agama masuk dalam konstitusi negara.
Belum lama ini ada Maklumat Keindonesiaan yang terdiri dari 17 orang. Salah satunya mencegah jangan sampai salah satu agama mendominasi. Mereka berusaha untuk men-sekulerkan Nation State Religius Indonesia. Mereka ingin menghapus akar keberagamaan umat Islam yang sudah berlangsung semenjak 500 tahun lalu, dan telah menjadi bagian dari sistem perilaku cara kehidupan bangsa Indonesia ini. Dari golongan ekstrem Sekuler berusaha untuk menjadikan Indonesia negara kebangsaan sekuler.
NU menurut Kiai Ma’ruf, harus tetap menjadi kekuatan yang menengahi antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri dalam kehidupan berbangsa ini. NU harus menjadi organisasi yang tawasut dan tasamuh, tidak fundamentalis dan tidak sekuleris.
”Ini merupakan persoalan kebangsaan kita bersama. Bukan berarti kita tidak mengerti bahwa kita harus memperjuangkan Islam dengan sepenuh tenaga. Akan tetapi di sini kita telah memiliki kesepakatan dalam kehidupan berbangsa ini. Nah! Sebagai umat Islam kesepakatan itu kita pegang. Karena almuslimuna ala syurutihim, orang Islam itu harus memenuhi perjanjiannya,” ujarnya.
Meskipun begitu, Kiai Ma’ruf menambahkan bahwa para ulama berusaha menjadikan Islam sebagai solusi yang harus memberikan arahan, kaidah, dan penuntun di dalam kehidupan berbangsa. Di sinilah konsekwensi yang dihadapi memang berat sekali.