ASWAJA vs WAHHABI
Luthfi Bashori
Perbedaan aqidah ketauhidan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) dengan Wahhabi, sangatlah nyata bagi siapa saja yang jeli dalam mempelajari kitab-kitab yang membahas tentang aqidah ketauhidan.
Sekilas yang dimaksud golongan Wahhabi adalah para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (wafat 20 Juli 1792, di negara Saudi Arabiah Pertama).
Muhammad bin Abdul Wahhab (perintis gerakan Wahhabiyyah) adalah seorang yang tidak diakui keilmuannya oleh para ulama di jamannya. Bahkan kakak kandung Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang tergolong tokoh Aswaja, telah menulis dua buku bantahan terhadap adiknya. Bantahan pertama berjudul ash-Shawaiq al Ilahiyyah dan yang kedua berjudul Fashl al Khitab fi ar- Raddi ala Muhammad bin Abdil Wahhab.
Lebih dari itu, Syeikh Abdul Wahhab, sang ayah dari Muhammad bin Abdul Wahhab, sangat marah terhadap kesesatan Muhammad (anaknya), dan selalu memperingatkan agar umat Islam menjauh dari ajaran yang disebarkan oleh anaknya itu, sebagai mana beliau berkata:Kalian akan melihat kejahatan yang akan dilakukan oleh Muhammad.
Seorang tokoh Aswaja, Syeikh Muhammad bin Humaid (wafat sekitar 80 tahun setelah masa Muhammad bin Abdul Wahhab) berkomentar: Muhammad bin Abdul Wahhab telah membuat agama baru yang diajarkan kepada pengikutnya. Dasar ajarannya itu adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, dan meyakini bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Dengan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdul Wahhab telah menyalahi firman Allah yang artinya: Dia (Allah) tidak menyerupai segala sesuatu dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya (QS. asy-Syura: 11).
Demikian pula Syeikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbali an-Najdi salah satu tokoh Aswaja, pengarang kitab Ad-Durar as-Saniyah, pada jilid 10 halaman 51 beliau menyebutkan beberapa kesesatan Muhamad bin Abdul Wahhab, yang secara nyata mengingkari keimanan dan keislaman para ulama Salaf dan umat Islam yang hidup sebelum dirinya:
Dahulu, aku (Muhammad bin Abdul Wahhab) tidak memahami arti dari ungkapan Laa ilaaha illallah. Kala itu, aku juga tidak memahami apa itu agama Islam. (Semua itu terjkadi) sebelum datangnya anugerah kebaikan (pemahaman) yang Allah berikan (kepadaku). Begitu pula para guru (ku) tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Atas dasar itu, setiap ulama al-Aridh yang mengaku memahami arti Laa ilaaha illallah atau mengerti makna agama Islam sebelum masa-(ku) ini, atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahui hal tersebut, maka ia telah melakukan KEBOHONGAN dan PENIPUAN, dan ia telah mengecoh masyarakat, serta memuji diri sendiri yang tidak layak bagi dirinya....
Dengan pengakuan ini, menjadi jelaslah bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab merasa hanya dirinyalah yang paling memahami makna kalimat Laailaaha illallah dan hanya dirinya piula yang mengenal Islam dengan sempurna. Khususnya yang berkaitan dengan konsep Ketauhidan maupun penerapan ajaran syariat Islam di kalangan umat Islam.
Dengan pengakuan ini pula, Muhammad bin Abdul Wahhab mengingkari pemahaman aqidah ketauhidan dari ulama manapun, termasuk aqidah ketauhidan para gurunya, serta aqidah ketauhidan para ulama Salaf yang hidup jauh sebelum dia lahir, bahkan aqidah ketauhidan para ulama yang hidup di jaman Imam Empat Madzhab, di jaman para Tabiin, juga di jaman para Shahabat RA.
CATATAN:
Muhammad bin Abdul Wahhab Annajdi berkata: Barang siapa yang masuk dalam dakwah kita maka ia mendapatkan hak sebagaimana hak-hak kita dan memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban kita, dan barang siapa yang tidak masuk (dalam dakwah kita) maka ia kafir dan halal darahnya.